Keenambelas

Maila membantu Deny berdiri, pemuda itu masih lemas karena shock.

“Kenapa jadi gini?” Gemetar, Deny merasa tak sanggup berdiri tegak. Maila reflek mendudukkan tubuh Deny ke sisi ranjang, daripada jatuh ke lantai pada akhirnya.

“Aku juga nggak tahu kalau akhirnya bisa sefatal ini.” Maila menunduk, merasa bersalah. Kalau saja ia tidak memberikan boneka terkutuk itu untuk Deny.

“Sekarang aku harus gimana? Dia terus menerus menerorku.” Deny tertunduk, lalu meremas rambutnya. “Aku terterkan. Tiap hari, yang muncul di mimpiku adalah sosok Salima yang nyeremin itu.”

“Maaf...” Maila pun merasakan beban tersendiri, beban rasa bersalah karena ulahnya.

Deny menggeleng, Maila tak pantas minta maaf. “Bukan salahmu. Aku yang ngotot menginginkan bonekamu pada awalnya.”

“Salima memang berbeda dari boneka lain yang kubuat,” ucap Maila. “Aku memotong batang kayu Meranti keramat, di dekat makam aggrek yang usianya sangat tua, tak bisa kuperkirakan.”

Deny terbelalak, entah kenapa sekujur tubuhnya mendadak merinding. Yang jelas dari situ semua jelas, kenapa Salima berbeda dari boneka kayu lainnya. Karena Salima terbuat dari kayu keramat.

“Baiklah, untuk sementara... aku nemeunin kamu. Tidur di sini.”

“Oh...” Deny mengangguk, namun beberapa detik kemudian ia terbelalak, “Haaa???”

Terkejut, Maila memukul kepala Deny. “Aku tidur di bawah. Jadi, tenang aja, kesucianmu aman.” Maila ngelantur. Dan Deny hanya meresponnya dengan dengusan.

“Masalahnya, apa kata ibumu kalau sampai beliau tahu? Apa pula kata mamaku kalau sampai tahu.”

“Makanya jangan sampai ketahuan.”

“Aku ngerti.”

Malam itu, Deny menggelar karpet beludru di lantai.  Awalnya Maila pikir karpet itu Deny siapkan untuknya, tapi ternyata untuk dirinya sendiri. Sebab, Deny mempersilakan Maila tidur di atas. Maila merasa wajahnya terbakar, untuk pertama kalinya, ia merasa begitu dihargai.

“Hei, kamu nggak perlu tidur di bawah.”

Deny baru menarik selimutnya ketika Maila menatapnya dari atas kasur. Rasanya, tidak enak membiarkan majikan tidur di bawah. Deny memang tak pernah memperlakukan Maila seperti pembantu, tapi itu bukan berarti Maila bisa seenaknya bersikap seolah Deny hanya teman, bukan anak majikan.

“Nggak apa-apa. Aku makasih karena udah ditemenin.” Deny tersenyum, lalu mulai berbaring dan memakai selimut. Matanya terpejam, bahkan Deny tak lagi menyahut ketika Maila berkata, “itu udah jadi tugasku.”

***

Baiklah, ini benar-benar sudah di luar batas. Deny sama sekali tidak bisa fokus di kelas. Awalnya, ketika ia menatap ke depan kelas, saat bu Mutia—guru mata pelajaran matematika tengah menerangkan beberapa rumus, di mata Deny gerakan wanita itu sangat kaku seperti boneka kayu. Deny mencoba mengusap matanya, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada bu Mutia, namun yang ada dalam pandangannya kini sosok bu Mutia memang berubah menjadi boneka kayu.

Deny tersengal, ia berniat memberitahu Alvan—teman sebangkunya, namun di luar dugaan, ternyata yang berada di sebelahnya bukan lagi Alvan yang biasanya, namun boneka kayu. Deny menatap sekeliling, seisi ruang semua berubah menjadi boneka kayu. Menulis, membaca, dan yang mengajar di depan kelas, semuanya boneka kayu.

Denya nyaris kehabisan napas. “Haaaaa….” Deny histeris. Ia frustasi, membentur-benturkan kepalanya ke meja sebelum meninggalkan kelas. Deny terus berlari tanpa tujuan, beberapa kali ia menabrak seseorang, namun sama sekali tak dihiraukan. Ia hanya ingin melarikan diri, namun sepertinya ke manapun Deny pergi, teror itu terus mengintai dirinya.

Sampai di kelas Maila, Deny tak peduli dengan jam pelajaran yang ada di kelas itu. Deny tetap menyerobot masuk, menghampiri Maila, “ikut aku!” Deny meraih pergelangan Maila dan menuntun gadis itu keluar kelas. Di depan, seorang guru mata pelajaran agama berdeham beberapa kali. Tapi sekali lagi, Deny dengan mudahnya tak mengacuhkan hal itu dan keluar dari kelas. Seisi kelas terbengong melihat kelakuan itu.

Di kantin, Deny tak butuh banyak waktu untuk menghabiskan segelas air jeruknya. Ia begitu frustasi hingga kelapanya terasa mendidih. “Aku harus gimana lagi?” Deny meletakkan gelasnya yang sudah kosong. “Aku melihat seisi kelas berubah menjadi boneka kayu.” Deny memejamkan mata, berusaha tenang meski percuma. Beberapa kali ia mengelus dada, namun sia-sia.

“Deny, untuk sementara, kenapa nggak kamu turutin aja permintaan Salima?”

“Ha?”

“Mungkin ini bukan jalan keluar yang terbaik, tapi untuk sementara, bisa dilakukan sembari mencari jalan keluar yang akan mengakhiri semuanya.”

“Tapi—“ Deny tampak tak yakin, tapi ia pun tak punya ide lain.

“Ingat-ingat lagi, apa yang diinginkan Salima sampai dia melakukan hal ini.”

“Dia minta aku tidak meninggalkannya,”

“Kayaknya Salima naksir kamu.”

“Sinting! Bukan itu…” Deny mengacak rambutnya sendiri. “Maksudku, Salima marah karena aku nggak mau bikin perjanjian, dan lebih milih balikin dia ke kamu.”

Maila mulai menarik kesimpulan bahwa Salima memang ingin Deny terus menggunakannya, untuk melakukan hal buruk pada orang lain. Maila manggut-manggut, mulai paham dengan situasinya. “Kalau gitu, turuti dia.”

“Aku nggak mau berhubungan sama Salima lagi!” tolak Deny mentah-mentah. Cukup sekali, dan itu sudah membuat Deny menerima teror bertubi-tubi seperti ini. Deny menggeleng saat Maila menatapnya dengan mata yang seolah memohon.

“Bukan seperti itu, Deny. Coba pikir, kalau kamu terus seperti ini, Salima juga akan terus memberi teror yang nggak bisa diprediksi. Masa iya kamu mau diteror terus?”

Deny membuang muka, namun masih mendengarkan Maila yang mengatakan, “cuma sementara, Deny. Anggap saja buat mengalihkan perhatiannya.”

Deny merasa bahunya disentuh dengan lembut. Pemuda tanggung itu memejamkan mata, kali ini ia mencoba mengalah, ia terima saran dari Maila untuk kembali memanfaatkan Salima meski ia tak ingin.

“Oke. Sepulang sekolah nanti, akan aku coba.”

Maila tersenyum. “Akan aku temani.”

***

Petang di malam Jum'at itu, listrik di rumah Deny padam. Pemuda tanggung itu sudah panik, mondar-mandir tak jelas sampai beberapa kali menabrak meja sampai daun pintu. Senter yang biasanya ada di atas meja pun mendadak lenyap ketika dibutuhkan.

“Jangan panik.”

Deny heran kenapa Maila masih bisa setenang itu. Terdengar suara langkah kaki yang bergerak, sejurus kemudian suara derek pintu.

“Maila!” panggil Deny meski ia tidak bisa melihat lawan bicaranya.

“Jangan pergi ke mana-mana.”

“Aku hanya ambil korek dan lilin di dapur.”

Deny tak menahannya lagi. Maila pun hanya pergi sesaat, ia cepat kembali dengan membawa korek api dan dua batang lilin yang sudah menyala. Maila meletakkan lilin itu di atas meja. Dengan penerangan minim itu, Maila bisa melihat Deny yang meringkuk di atas ranjang.

“Kamu takut?”

“Sangat!”

“Terus terang sekali...” Maila menyeringai, menghina.

“Jadi, gimana bisa aku ngikutin saran kamu sementara boneka Salima nggak ada di sini.”

Deny ingat bahwa kemarin Salima tiba-tiba menghilang.

“Dia ada, di sebelahmu.”

Deny langsung melompat dari tempat tidurnya, gerakannya begitu cepat hingga ia terjatuh ke lantai. Melihat itu Maila tergelak hingga matanya merah. “Kena, deh.”

“Sialan.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!