Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Deny. Ia merogoh saku celana dan melihat nama mama di layar ponselnya. Deny tak acuh, ia mengusap layar untuk menolak panggilan itu dan menyimpan kembali ponselnya. Namun belum sampai satu menit, panggilan itu datang lagi. ponselnya menjerit sangat keras sekali, sampai-sampai membuat Deny tidak tahan jika terus mengabaikannya.
“Halo!” sahut Deny pada akhirnya, ketika ia mengangkat panggilan dari mama.
“Kamu di mana?” suara mama terdengar spontan.
“Meskipun di neraka mama nggak bener-bener peduli, kan?” Cibiran itu membuat Mayang geram, andai Hardy mendengarnya, pasti murka sudah.
“Deny!” suara Mayang terdengar meninggi.
“Apa?” sahut Deny tak kalah jutek.
“Pulang.”
“Aku lebih suka di luar, nggak denger kalian bertengkar.”
“Kamu nggak akan tahan lama-lama di luar. Cuaca dingin sekali. Cepat pulang.”
“Aku malas pulang.” Deny hampir mengakhiri sambungan telepon, namun mamanya lebih dulu mengatakan, “mobil mama ada di sebelah alun-alun. Mama sudah lihat kamu.”
Deny sontak mengedarkan pandang, tak berapa lama ia menemukan sedan silver terparkir di tepian jalan. Deny mendengus, jaman sekarang memang serba canggih, mama dengan mudah menemukannya dengan bantuan ponsel pintarnya pasti. Tapi sayangnya, Deny sama sekali tidak berniat pulang dengan mama. Sesekali, Deny ingin melihat orang tuanya benar-benar mengkhawatirkannya.
“Ayo pulang…” Suara mama kembali terdengar. Dengan gerakan cepat, Deny mengusap layar ponselnya untuk mengakhiri sambungan telepon, lantas menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Deny melihat mamanya turun dari mobil, namun percuma saja, Deny tidak ingin pulang bersama mama. Ia bergegas pergi. Dengan langkah setengah berlari, Deny mengabaikan panggilan mama yang berteriak memintanya kembali.
Deny hanya menoleh sekilas ke belakang. Mamanya masih berteriak. Suaranya melengking, membuat Deny mempercepat langkahnya tanpa fokus pada jalanan dan, brak! Tubuhnya terhuyung saat tanpa sengaja menabrak seseorang. Deny menatap seseorang yang ditabraknya, berniat meminta maaf.
“Maaf, aku nggak—“ kalimatnya terhenti saat sosok yang ditabraknya mengangkat kepalanya. Anak-anak rambut yang semula menutupi wajahnya mulai tersibak, menampakkan wajah putih pucat dengan lingkar hitam di sekitar matanya. Deny tanpa sadar berteriak, “Hwaaaa…”
Deny begitu terkejut ketika tatapan mata hazel sosok gadis menyeramkan itu terlempar ke arahnya. Tatapan yang begitu beku, mengalirkan rasa dingin yang menjalar di tubuh Deny, membuat bulu kuduknya berdiri. Dengan ludah yang tertelan berkali-kali, Deny melangkah mundur, namun tumitnya menyandung sesuatu dan membuatnya terjatuh.
“Auh…” keluh Deny, ia mencoba bangkit berdiri. Matanya masih was-was mengamati sosok gadis misterius yang sudah melangkah pergi. Rambut panjangnya bergerak-gerak tertiup angin ketika melangkah. Deny bergidik, bulu-bulu kuduknya masih meremang. “Itu tadi… penampakan atau…”
Teb!
Deny terlonjak ketika bahunya ditepuk. Ia kontan menoleh ke belakang yang melihat mamanya berdiri di dengan wajah lelah. “Ayo pulang,” perintah Mayang.
“Mama ngagetin aja, sih?” Deny mendengus, namun saat bersamaan juga merasa lega.
“Kamu kebanyakan bengong,” balas Mayang, lalu menyampirkan sweater di bahu Deny. “Kamu bisa masuk angin.”
Deny buang muka. Tak peduli andaipun ia benar-benar masuk angin. Setidaknya, Deny merasa diperhatikan ketika sakit.
Menginjakkan kaki di rumah, entah kenapa membuat Deny jengah. Apalagi sambutan papanya yang tak lagi menyenangkan. Pria itu mencibir ketika Deny baru melewati pintu ruang tamu. “Kayak anak kecil aja pake ngambek.”
Deny melirik papanya dengan tatapan sinis, tapi tak mengatakan apapun. Ia melepas sweater-nya, lalu menyampirkannya di bahu dan melangkah menuju tangga. Saat itu papa tersenyum mengejek. “Jangan kabur-kaburan segala, emang bisa apa kamu kalo nggak ada mama sama papa?”
Deny menoleh, matanya memicing kesal. Sweater di bahunya ia tarik, dan melemparkannya sembarangan dengan penuh kekesalan. Setelahnya, ia percepat langkahnya menaiki anak tangga. Saat itu, Deny menangkap sosok tua bi Halimah mengambil langkah yang berlawanan dengannya, yakni menuruni anak tangga dengan menenteng tas besar di tangannya. Pandangan Deny terfokus pada tas besar di tangan bi Halimah.
“Mau ke mana, Bi?” tanya Deny. Baginya, bi Halimah bukanlah sebatas pembantu. Wanita sepuh itu mempunyai peran lebih dari mama. Dari kecil, Deny mengenal bi Halimah sebagai pengasuhnya—pengganti mama. Bahkan bi Halimah yang selalu datang saat mengambil rapor di sekolah.
“Maaf, Aden…” Bi Halimah meletakkan tas besarnya pada lantai anak tangga. Tangan kanannya mengusap bahu Deny yang sering dipanggilnya dengan sebutan, ‘le’ yang berarti anak laki-laki. “Bukan maunya bibi ninggalin Aden, ya. Tapi bibi nggak punya pilihan.”
“Bibi mau ke mana?” tanya Deny. Mulai khawatir jika pengasuhnya sejak kecil itu akan pergi. “Baliknya cepet kan, Bi?” wajah Deny memelas. Di bawah, Mayang mengamati Deny dan bi Halimah. Keakraban mereka kadang membuat Mayang merasa gagal. Ia memalingkan pandangannya pada Hardy yang menyesap kopi. Lelaki itu hanya bergeming saat Mayang menatapnya.
“Mulai sekarang, bibi pindah ke desa, Aden… anak bibi bilang kalau bibi terlalu tua buat kerja.”
“Mulai sekarang bibi nggak perlu kerja. Cuma temenin aku di sini.” Deny menggengam pergelangan tangan bi Halimah, erat. Deny mulai membayangkan hidupnya tanpa bi Halimah, sama saja dengan sendiri. Makan hanya mengandalkan pizza yang dipesan via telepon, lalu termenung sendiri di rumah besar yang tak ada penghuni lain. Toh, mama dan papa lebih sering menghabiskan waktu di kantor.
“Bi Halimah mau pergi, Deny! Jangan paksa buat tinggal,” sahut papa santai. Entah kenapa papa sama sekali tidak menghalangi bi Halimah pergi.
“Bibi kemarin sudah pamitan sama tuan.” Mata bi Halimah menatap Deny dengan iba. Remaja itu sudah seperti anaknya sendiri, begitu berat meninggalkan Deny sebenarnya.
“Sudah, Den. Nanti papa cari pembantu lain.”
Deny tak menyahut. Baginya, tak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi bi Halimah. Jika sekarang Deny hanya bisa membiarkan bi Halimah pergi, itu karena Deny tak ingin egois. Deny pun ingin melihat bi Halimah menentukan pilihannya sendiri.
Deny tak mengantar bi Halimah saat tukang ojek yang menjemput wanita itu sampai di depan rumah. Deny hanya bergegas menuju kamar, menyebalkan juga rasanya kehilangan. Tadi, bi Halimah sempat berpesan agar Deny mendengar apa kata papa dan mama. Jangan sampai membangkang dan jadi anak berbakti.
Deny mengintip dari jendela kamar, ketika motor yang membawa bi Halimah pergi, melewati jalanan perumahan Seville hingga sosoknya tak terlihat lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments