Keempat

“Mama dan papa harus ke luar kota untuk beberapa hari. Kamu sendiri di rumah nggak apa-apa?”

Deny tengah membaca komik Jepang saat mendadak mamanya duduk di sampingnya. Mendengar pertanyaan mamanya, Deny hanya tertawa hambar. “Mama papa ada atau nggak, itu nggak ada bedanya,” komen Deny. Ia menutup buku komiknya, lalu meletakkannya di meja. Ia kemudian meninggalkan ruang tengah setelah mematikan televisi yang sejak tadi menyala untuk mengisi kesunyian. Deny kesepian. Belakangan ini bahkan ia mogok bicara. Selain merasa kurang enak badan, ia juga malas karena tidak menemukan lawan bicara yang bisa mengerti dirinya.

Hardy memang sempat panik meski tidak menunjukannya, justru ia lebih sering bertengkar dengan Mayang. Keduanya saling menyalahkan. Saling tuding sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Deny. Andai saja dua orang dewasa itu mengerti kalau sebenarnya Deny hanya butuh mereka sebagai orang tua yang peduli.

Tapi sebaliknya, papa dan mama tetap berkemas. Deny melihat keduanya berkemas, menenteng tas besar. Lalu membawanya menuju mobil. Mama sempat melihat Deny saat melintas menuju garasi. Wanita itu menghampiri Deny untuk pamitan sekali lagi.

“Jaga diri selama mama dan papa pergi, ya.”

“Kerjaan apa lagi, Ma?” tanya Deny, dengan suara parau. Tenggorokannya sakit, dan sepertinya ia mulai terserang flu.

“Kamu pucat. Sakit?” tak menjawab pertanyaan Deny, mama justru mengajukan pertanyaan lain. Wanita itu menyentuh kening Deny dengan wajah cemas. Namun cepat-cepat ditepis oleh Deny. “Jangan pergi,” tegas Deny.

“Tapi ini sangat penting. Untuk perluasan bisnis kuliner kita. Akan ada cabang restoran tradisional di kota Surabaya.”

“Tapi aku sakit.”

“Mama telpon dokter Adrian, ya…”

“Aku nggak butuh dokter!” Deny berdecak, lalu kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu rapat. Mama beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil namanya, namun tak digubris juga. Tak lama kemudian, hanya berselang beberapa menit Deny mendengar suara mesin mobil menyala. Deny tertunduk di kamarnya, mama benar-benar pergi. Deny berpikir kalau mereka memang tak peduli lagi.

Meski dokter Adrian yang masih sepupu mama datang untuk memeriksa dan memberikan Deny obat, tapi itu tak membuat Deny lebih baik. Dokter Adrian menyarankan agar Deny tidak masuk sekolah dulu, dan beristirahat. Tapi, Deny tidak sependapat. Kalau tidak ke sekolah, Deny pasti akan benar-benar depresi di rumah.

Dokter Adrian akan menginap di rumah Deny—sesuai permintaan Mayang, hanya bisa geleng-geleng melihat Deny yang keras kepala. Remaja itu itu masih berkeras bangun, kemudian bergegas berbenah diri. Memakai seragam putih abu-abu dan mengenakan dasi sambil berjalan menuju dapur. Ia mengintip lemari kabinet dan menemukan isi lemarinya kosong.

“Mama kamu nggak pernah belanja?” Dokter Adrian terlihat miris melihat remaja itu duduk di ruang makan dengan hampa.

“Sepertinya aku nggak punya mama dan papa,” celetuk Deny.

“Hush.” Dokter Adrian gemas sendiri melihat wajah Deny yang begitu datar saat mengatakan itu. “Mereka kerja buat kamu juga.”

“Mereka kerja buat mereka sendiri.” Deny mendengus, lantas meraih ponselnya yang terselip di saku celana. Pagi ini, sarapan makanan cepat saji lagi. Deny memesan dua burger, untuknya dan dokter Adrian.

***

Deny merasakan kepalanya berdenyut saat sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motor, ia bergegas melangkah menuju kelas. Namun sayangnya, langkahnya dihadang beberapa teman yang dikenalnya sebagai teman sekelas. “Kalian mau apa?” tanya Deny.

“Kamu punya uang, kan? Bagi-bagi, sini.”

Ragiel dan kedua kawannya memang selalu melakukan hal yang sama. Berkali-kali Deny memberikan apa yang mereka mau, tapi tindakan itu justru membuat mereka terus melunjak.

“Kalian terus minta uangku. Emangnya emak kalian nggak punya uang buat ngasih jatah uang jajan?”

“Wah, kurang ajar. Dia menghina kita.” Dimas mengompori. Ragiel langsung naik pitam. “Jadi nggak mau ngasih?”

“Emangnya kenapa aku harus ngasih? Kalian pengemis, ya?” tanya Deny, dengan nada penuh penghinaan. Ia bisa melihat wajah Ragiel langsung berubah merah karena marah. Pun hal yang sama terjadi pada Dimas dan Ferdie. Yang terjadi selanjutnya adalah, tubuh Deny digeret menuju kamar mandi. Di sana, seragam Deny di lucuti, hingga menyisakan celana boxer.

Mereka bertiga secara bersamaan mengguyurkan air ke tubuh Deny. Deny mencoba melawan, tapi mereka bertiga. Terlebih staminanya memang sedang tak bagus hari ini. Deny hanya bisa berontak, namun itu hal yang sia-sia.

Puas ‘memandikan’ Deny, dan meninggalkan beberapa luka di tubuh Deny, kawanan Ragiel pun meninggalkan Deny di kamar mandi dengan melemparkan pakaian seragam Deny ke lantai. Sambil memungut seragamnya yang setengah basah. Ia kembali mengenakan seragamnya dengan bibir menggigil.

Deny bersumpah akan ada akibat yang diterima Ragiel dan kawan-kawannya. Deny bersumpah dengan dada yang bergemuruh, penuh dengan dendam.

Deny diizinkan pulang saat wali kelasnya melihat ia terserang demam, terlebih dengan pakaian basah. Deny memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, ia tidak suka mengadu. Deny akan memikirkan cara agar Ragiel dan kawan-kawannya menyesali perbuatannya tanpa melibatkan guru.

Saat sampai di parkiran, Deny jsutru pingsan karena demam tinggi. Terpaksa dokter Adrian menjemputnya dan ia mengamuk setelah Deny tersadar di kamarnya.

“Om sudah berapa kali bilang kalau kamu harus istirahat?” Adrian melotot, namun Deny hanya menggeliat di kasurnya.

Benar-benar menjengkelkan, pikir dokter Adrian. Ia melangkah, namun kakinya menyandung sesuatu. Botol obat. Ia meraih botol itu, dan menemukan kapsul di dalamnya masih penuh. Deny tidak menyentuh obatnya. Sial.

“Bahkan kamu tidak minum obatmu?” Dokter Adrian menunjukkan botol itu di depan wajah Deny yang terbaring di ranjangnya.

“Aku tidak bisa minum obat, Om,” aku Deny jujur. Kalau diharuskan minum obat, Deny masih membutuhkan pisang untuk membantunya menelan obat.

“Anak sial,” umpat dokter Adrian sembari melempar botol itu ke kasur.

“Aku pusing.” Deny mengurut keningnya. Adrian berpikir harusnya Deny sudah cukup besar untuk mengerti menjaga diri. Tapi sepertinya tidak.

“Makanya minum obatmu.”

“Yang aku maksud, aku pusing denger Om ngomel terus.”

“Bocah tengik!”

Deny meringis. Dokter Adrian memang sangat cerewet, tapi pria itu lebih menyenangkan ketimbang orang tuanya. Dokter Adrian bawel, mirip tingkah ibu pada umumnya, tidak seperti mama.

“Om nggak bisa terus di sini…” Adrian duduk di tepi ranjang. Deny tertunduk, ia mengerti jika dokter Adrian juga memiliki kehidupan sendiri. Deny pikir, jadi anak dokter Adrian pasti sangat menyenangkan.

“Iya, Om. Aku nggak masalah kok sendirian.” Deny menghempaskan tubuhnya, berbaring dengan punggung tangan kanan yang diletakkan di kening. Pandangannya menerawang saat mengatakan, “aku sudah terbiasa sendiri.”

“Papa dan mamamu memang keterlaluan.” Adrian berdecak. “Gimana kalau kamu ikut ke rumah om saja? Sementara, selama mama dan papa kamu pergi.”

Deny menggeleng. “Nggak usah. Nanti rumah ini siapa yang jaga?”

“Hantu,” sahut Adrian. Yang Adrian tahu, setiap malam Deny memang sering menonton film horor seorang diri. Adrian sendiri yang mendengar suara-suara mengerikan saat Deny menatap laptop di kamarnya.

“Ngeselin.” Deny memutar bola matanya, sementara Adrian terpingkal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!