Ketiga

Deny nyaris lupa jika tidak ada bi Halimah lagi. Saat membuka tudung di ruang makan, Deny baru sadar jika tak ada makanan apapun di sana. Deny tertunduk, ia sangat lapar. Terpaksa menelpon restoran cepat saji agar mengirim sarapan pagi untuknya.

Tak sampai sepuluh menit, pesanan datang. Setelah melunasi pembayaran, Deny langsung membawa ayam dan nasinya menuju ruang makan. Deny duduk dengan tenang, mengunyah nasinya saat keributan itu lagi-lagi terjadi. Mama dan papanya berdebat meski keduanya beriringan menuruni tangga. Suara keduanya begitu kacau sampai-sampai Deny tidak tahan lagi mendengarnya.

Kedua orang dewasa itu saling menyalahkan, saling mengumpat. Seakan keduanya tidak pernah saling mencintai sebelumnya. Bahkan keduanya masih bertengkar ketika memasuki dapur. Sebenarnya, siapa yang berniat sarapan? Mama dan papa sama sekali tak menghentikan perdebatan meski Deny belum menghabiskan sarapannya saat itu.

Mungkin Deny sudah kehabisan kesabaran saat ia melempar piringnya hingga benda itu pecah berkeping-keping. Nasi dan ayam yang baru disantap sebagian itu tersebar ke penjuru arah. Mayang dan Hardy tersentak.

“Kalau mau ribut, silakan!” Nada suara Deny meninggi. Dadanya bergemuruh oleh amarah. Ia hanya ingin ketenangan. Tapi di rumahnya, tak ada seharipun tanpa pertengkaran kedua orang tuanya.

Tindakan Deny yang terlampau frontal itu telak membuat Hardy naik darah. Ia menghampiri Deny, nyaris menamparnya lagi andai tak dihalangi oleh Mayang.

“Jangan selalu belain anak nggak tau diri ini.” Hardy berteriak saat Mayang terus menahan lengan suaminya agar tak sampai lepas kendali.

“Jangan berani nyentuh Deny!” teriak Mayang. Tangan besar Hardy menghempas, menjauhkannya dari cengkeraman Mayang. Deny masih bergeming. Dan perdebatan lagi-lagi terdengar.

Pagi ini, barangkali bukan cuma Deny yang terganggu dengan pertengkaran orang tuanya, tapi juga para tetangga. Sebenarnya, bukan sekali dua rumahnya didatangi para tetangga yang merasa terganggu dengan keributan ini, tapi dua orang tua itu mungkin sudah tidak tahu malu.

Suara dering ponsel mendadak membuat kedua orang tuanya mendadak menghentikan pertengkarang mereka. Saat itu, Mayang dengan sigap meraih ponsel di saku jasnya dan berdeham. Dari ekspresinya, Deny dapat menyimpulkan bahwa itu pasti dari rekan kerja mamanya.

Deny mendengus, kalau bicara dengan rekan kerja saja bisa sopan dan sangat lembut. Deny memang tidak suka dengan sikap papanya yang kasar, tapi jika mama bisa memulai bersikap baik pada papa, mungkin pria itu tidak akan terus menerus bersikap kasar seperti sekarang.

Sialnya, setelah panggilan dari rekan bisnis mama itu berakhir, keributan itu masih terus berlanjut. Entah apa yang sebenarnya mereka ributkan. Terlalu banyak yang dibahas, sampai hal kecil pun bisa jadi bahasan yang tak ada ujungnya.

Muak dengan keributan itu, Deny kembali meraih gelas di meja, lantas melemparnya ke lantai hingga meninggalkan suara pecahan yang nyaring.

“Mulai kurang ajar kamu, Den!” bentak Hardy.

Deny tersenyum mencibir. “Kalian nggak pernah peduli, kan? Ada atau nggak ada anak, nggak penting bagi kalian.”

Hardy benar-benar murka dibuatnya. Kali ini, tidak ada yang mampu menghalangi tangan kanan Hardy untuk menampar wajah Deny. Suara tamparan itu membuat Mayang menyesak. Ia melihat ada darah yang mengintip di sudut bibir Deny. Pemuda tanggung itu meringis merasakan nyeri di sudut bibirnya, ia mengusap darah itu singkat dan kembali mengangkat wajah untuk menemukan gurat penuh kemarahan pada muka papanya.

Kedua tangan Hardy mencengkeram bahu Deny, lalu mengguncangnya keras. “Untuk siapa lagi kami kerja keras siang malam kalau bukan untuk kamu?” Tatapan mata Hardy begitu marah. Namun ini bukan lagi hal yang mengerikan. Deny sudah terlalu sering melihat papanya mengamuk seperti banteng yang melihat bendera merah.

Deny sama sekali tak mengatakan apapun sebagai respon. Namun napasnya tersengal. Hardy meremas bahunya makin keras, napasnya pun menderu saat mengatakan, “biaya hidup dan sekolahmu itu tidak murah. Bahkan ketika kamu SMP kami terlilit banyak hutang demi membuatmu tetap bertahan hidup. Kalau tahu kamu tidak suka kami seperti ini, baiknya dulu sekalian saja kamu mati.”

“Mas!” Mayang berteriak. “Kamu apa-apaan?”

Deny terbelalak. Kenangan ketika masa lalu itu berputar kembali. Ia memang hanya anak penyakitan dulu—mungkin sampai sekarang. Kalau fisiknya terlalu lemah sampai harus bolak-balik keluar masuk rumah sakit, itu bukan mau Deny. Kalau pun saat itu Deny harus mati, ia tidak keberatan. Sama sekali.

“Aku nggak masalah kalaupun harus mati,” tandas Deny dengan nada datar. Ia menyingkirkan kedua tangan papa yang mencengkeram bahunya, lalu menambahkan, “setidaknya nggak perlu denger kalian ribut tiap hari.”

“Deny—“ Mayang hendak mengatakan sesuatu, namun Deny lebih dulu meninggalkan dapur. Melangkah cepat menuju kamarnya. Ia hanya butuh mandi dan berbenah diri sebelum berangkat ke sekolah. Beberapa kali Mayang mencoba mengajak Deny bicara, tapi Deny enggan mendengar apapun dari wanita itu. Remaja itu membawa motor ninjanya keluar dari gerbang. Saat itu, sosok gadis yang melintas di depan gerbang menarik perhatian Deny. Gadis dengan rambut panjang, sebatas punggung. Gadis itu mengenakan baju yang sama seperti kemarin. Kemeja putih longgar, dan celana jins yang sudah usang. Wajah gadis itu masih sama pucatnya seperti semalam. Dan rasa ngeri yang menjalari Deny, masih sama seperti sebelumnya.

Deny mencoba mengabaikan gadis itu dan melesatkan motornya menuju sekolah. Deny melirik ke arah spion, dari sana remaja itu bisa melihat wajah gadis itu yang sebagian tertutupi oleh rambut panjangnya. Melihat itu, bulu kuduk Deny langsung meremang.

***

Deny urung melanjukan motornya ke sekolah saat melewati kolam pemancingan ‘Randu Alas’. Kolam pemancingan itu ada di sekitar desa Ngrangin, yang mengarah menuju sekolah. Setelah memarkir motornya di parkiran, Deny memasuki pemancingan itu. Dulu, ketika SD Deny sering main ke sini ketika libur sekolah.

Tiap akhir pekan, bersama mama dan papa. Sebelum keduanya punya pekerjaan yang menyita banyak waktu seperti sekarang.

“Nggak bawa pancingan, Nak?” seorang bapak menyapa. Deny menggeleng. Ia memang tidak berniat memancing. Ia datang hanya karena merindukan harinya yang dulu. Ia yang sekarang benar-benar sendiri. Mungkin benar kata papa, harusnya mereka membiarkan Deny mati saja dulu.

Deny tersenyum miris. Mengingat kata-kata papanya itu membuat hatinya seperti disayat. Sangat menyakitkan.

Deny meninggalkan pemancingan sebelum perasaannya makin kacau. Sebelum ke sekolah, ia menyempatkan diri mampir ke apotek. Ia butuh pil tidur. Belakangan ini ia mengalami insomnia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!