Kesebelas

Fredy dan Dimas sontak berdiri saat mendengar teriakan Ragiel. Keduanya berlari menuju arah jendela dan mendapati Ragiel bersama dengan boneka seram yang wajahnya dipenuhi darah. Tangan boneka itu melingkar di leher Ragiel, mencekiknya.

“To-long…” Suara Ragiel tersendat karena lehernya terjerat. Tangan kanannya menggapai-gapai kedua temannya, berharap keduanya bersedia menolong. Namun di luar dugaan, Fredy dan Dimas pun ketakutan. Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Ragiel yang nyaris kehabisan napas.

Ragiel mengira dirinya akan mati ketika Fredy dan Dimas pergi. Tubuhnya melemas, namun ia masih berusaha melawan dengan mendaratkan kepalan tangannya pada kepala si boneka dengan sekuat tenaga.

Gludak!

Kepala kayu itu terlepas dari tubuhnya, menggelundung di lantai balkon. Meski demikian, ringis di wajahnya tidak hilang. Kepala itu justru tertawa-tawa saat korbannya melakukan perlawanan.

Ragiel mengambil kesempatan ini untuk melarikan diri. Sebelum kepala itu bersatu dengan tubuhnya, Ragiel berlari keluar dari kamar. Ia berlari mengejar Fredy dan Dimas yang telah lebih dulu kabur. Namun rupanya kedua sohibnya itu belum jauh.

“Hei kalian, dasar pengecut!” teriak Ragiel saat mengejar Fredy dan Dimas di anak tangga. Kedua temannya masih ada di anak tangga tengah, keduanya sempat terhenti dengan napas terengah.

Salima keluar dari kamar Ragiel. Dengan langkah kakinya yang kaku namun begitu cepat. Ragiel dan yang lainnya ketakutan, sontak berlari menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Mereka saling mendahului, saling desakan, saling tarik menarik dan mendahului. Keributan yang justru membuat Fredy terjatuh karena tersandung kaki sendiri dan tubuhnya roboh menimpa Ragiel, dan seperti domino, tubuh Ragiel pun membentur tubuh Dimas dan ketiganya berakhir dengan menggelinding, membentur anak tangga demi anak tangga hingga lantai dasar.

***

“Haaahhh…” Deny terbangun dari tidurnya. Peluhnya membanjir. Ia terduduk dan tersengal. Saat melihat meja sisi ranjang, tak ada gelas berisi air yang ia butuhkan. Deny mengusap peluh yang membasahi rambutnya. Matanya menerawang, mimpi barusan benar-benar mengerikan.

Deny menyibak selimutnya dan turun dari ranjang. Berniat mengambil segelas air di dapur. Saat keluar kamar, Deny tercekat saat melihat boneka Salima berada di depan kamarnya. Duduk bersandaR sehingga saat Deny menarik knop pintu, boneka itu langsung roboh dan terjatuh.

“Astaga.” Deny memegang dada saking kagetnya. Ia meraih tubuh  boneka itu dan mengangkatnya. “Kenapa boneka ini ada di sini? Nanti kalau Maila tau, dia bisa marah.”

“Aku tidak marah,” sahut Maila yang entah sejak kapan berdiri di balik dinding kamar Deny. Pemuda itu sampai nyaris melompat dari tempat karena shock. “Ngagetin aja.” Boneka Salima sampai terjatuh dari genggaman Deny. Maila langsung memungutnya, lantas menyerahkannya pada Deny.

“Sudah kuputuskan kalau Salima boleh untukmu,” katanya, lalu cepat-cepat memalingkan muka.

Deny terbengong. Nyaris tak percaya dengan kata-kata Maila barusan. “Kamu serius?”

“Tolong jangan bikin aku berubah pikiran.” Maila membalik tubuhnya, membelakangi Deny kemudian pergi. “Jaga Salima baik-baik.”

Deny tersenyum, masih begitu tak percaya. Ia memeluk boneka Salima, lalu menciumnya berkali-kali. “Aku bakal jagain dia. Aku janji.”

Maila tersenyum dan kembali ke kamarnya.

“Oh, baiklah. Sekarang, apa yang musti kulakukan?” gumam Deny saat meletakkan boneka Salima di ranjangnya. Entah apa yang ia rasakan kini, ada perasaan takut dan senang yang bercampur. Seperti sebelumnya, menatap boneka Salima tetap membuatnya bergidik. Tapi mungkin sebentar lagi akan terbiasa. Namun, makin lama Deny menatap Salima, makin berdegup jantungnya, makin berat napas yang ia tarik, seolah-olah udara di sekelilingnya makin menipis. Suasana hening membuat keadaan makin mencekam. Deny tak bisa merasakan apapun kecuali rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.

Brak! Kepala Salima mendadak terlepas dan menggelinding ke lantai. Matanya yang besar dan bulat bergerak-gerak, mulutnya menyeringai. Ada titik-titik darah yang menyembul di sudut bibirnya.

“Hwaaa...” Deny berteriak, saat bersamaan ia membuka mata dan mendapati ia tengah terbaring di kamar. Mimpi? Sulit dipercaya, semua terasa nyata. Saat menoleh ke samping kiri, ia mendapati boneka Salima di sisinya, dengan miring ke arahnya. Deny sontak berdiri, dan kabur keluar kamar.

***

Kenyataan bahwa Ragiel dan kawan-kawannya dirawat di rumah sakit itu membuat Deny shock. Banyak yang bilang bahwa mereka jatuh tangga rumahnya. Aneh sekali, kenapa bisa bersamaan? Atau jangan-jangan...ini perbuatan Salima? Tapi Deny belum memberi perintah apapun!

Maila. Maila pasti tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dengan secepat kilat Deny berlari keluar kelas menuju kelas Maila.

“Aku belum melakukan apapun.” Deny duduk di sebelah Maila saat sampai di kelas gadis itu. Kelas sepi, jam istirahat membuat seluruh siswa-siswi lebih memilih menghuni kantin.

“Kamu ngomongin apa?” tanya Maila. Ia bicara dengan nada biasa, tak lagi datar seperti biasanya. Rasanya, ia mulai bisa menerima Deny sebagai teman, bagian dari kesehariannya.

“Ragiel, Dimas, dan Fredy. Aku tidak melakukan apapun pada mereka,” gumam Deny. Matanya memicing heran. “Bagaimana mereka bisa... maksudku, apa Salima yang melakukannya?”

“Maaf, aku terlalu emosi saat itu.”

Deny terbelalak, apalagi saat Maila mengangguk. “Ya, aku yang ngasih perintah buat Salima. Maila pikir itu pelajaran yang yang sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan.”

Deny terperangah, matanya membulat terarah pada Maila yang mendadak salah tingkah. “Ja-jangan ngeliatin kayak gitu.” Maila memukul puncak kepala Deny.

“Aduh!”

***

Maila yang salah tingkah tadi membuat Deny berpikir bahwa gadis itu tidak seperti biasanya. Bukannya geer, tapi Deny juga melihat sipu merah di kedua belah pipinya. Apa itu yang membuat Maila memberikan boneka Salima untuknya? Padahal tempo hari Maila masih sangat marah saat ia membahas bonekanya. Maila sendiri yang bilang bahwa ia tak pernah menjual apalagi memberikan boneka buatannya pada siapapun. Dan jika kali ini Maila berubah pikiran, Deny rasa ia pantas menerima sesuatu darinya. Emh... baiklah, Deny belum kepikiran hadiah apa yang pantas untuk ia berikan untuk Maila.

Jduak!

“Aduh,” Deny mengaduh saat penghapus papan tulis telak menghantam keningnya. Meringis sembari mengusap keningnya yang memerah, Deny mendapati pak Wahyu melangkah ke arahnya dengan muka marah.

“Kau, beraninya melamun di jam pelajaran saya?”

Deny menelan ludah. Pak Wahyu memang terkenal paling killer di sekolah. Jika selama ini Deny bebas dari hukumannya, itu karena ia selalu bersikap baik. Tapi kali ini, sepertinya Deny tidak akan selamat. Ia menundukkan kepala dan mengatakan, “maaf,” ketika Wahyu sudah berdiri tepat di depan mejanya.

“Siapa namamu?” tanya Wahyu.

“Eh?”

“Namamu, eh? Jawab yang benar! Jangan kayak banci!” Wahyu menggebrak meja hingga Deny tersentak.

“Nama saya Deny, Pak. Deny Darmawan,” sahut Deny gelagapan.

“Deny Darmawan, silakan berdiri di kelas sampai pelajaran saya selesai.” Perintah Wahyu. Deny memebelalakkan mata. “A-apa?”

“Kurang jelas?” Wahyu melebarkan matanya. Deny gugup. Ia lebih memilih diam dan buru-buru menuruti perintah guru mata pelajaran bahasa Indonesia itu sebelum pak Wahyu makin marah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!