Kesepuluh

“Kamu pulang sendirian?” Aini bertanya ketika Maila datang tanpa Deny. Biasanya, kedua remaja itu pulang bersama. Tapi hari ini Aini tidak melihat Deny, motornya juga tidak ada.

“Iya. Aku nggak tau Deny di mana. Hanya ada motornya di tempat parkir, tapi pemiliknya nggak keliatan,” jawab Maila, lalu melepas sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu dekat dapur.

Aini mendesah. “Kenapa nggak nungguin dia?”

Dan Maila merasa ibunya terlalu perhatian pada anak majikan itu. Maila tidak menyukai hal itu, tapi ia tidak bisa melakukan apapun.

“Aku tunggu. Sekitar setengah jam sebelum aku putuskan pulang duluan,” sahut Maila malas. Padahal perutnya tengah berkoar saat ini, namun sepertinya ibunya tidak menyadari hal itu. Sangat menyebalkan.

Suara bel pintu terdengar. Aini dengan cekatan membuka pintu. Mungkinkah itu Deny? Maila melangkah hanya untuk memastikan si manja itu sudah pulang, agar ibunya tidak terus menerus merasa khawatir.

Saat pintu terbuka, saat yang sama tubuh Deny limbung, jatuh menghantam lantai keramik. Aini menjerit melihat sekujur tubuh Deny yang penuh luka. “Astaga! Apa yang terjadi?”

Maila terbelalak, namun dengan sigap ia membantu ibunya membawa tubuh Deny dan mendudukkannya di sofa. Pemuda tanggung itu membuka matanya lagi ketika sudah duduk di sofa.

“Kenapa bisa sampai gini, Mas?” Aini nyaris menangis saat melihat Deny terluka di mana-mana. Ia tidak tega.

“Ini sudah  biasa,  Bi. Aku dikeroyok temen.” Deny mengusap wajahnya, seluruh badannya terasa sakit. Sangat sakit. Sebelum hal ini terjadi, Deny masih ingat Ragiel, Dimas dan Fredy lagi-lagi menggeretnya menuju kamar mandi dan menghajarnya di sana.

Aini membekap bibirnya. “Kenapa mereka tega sekali?”

“Aku juga nggak tahu kenapa mereka selalu tega melakukan ini,”

Maila hanya diam. Ia memang pernah mendengar dari Deny, bahwa ia juga korban bully, tapi Maila tidak peduli karena menyangka jika penindasan itu tak sampai separah ini.

***

Maila membuka pintu kamar Deny perlahan. Di tangan kanannya membawa baskom kecil berisi sapu tangan dan air hangat. Dan ajaibnya, ia melakukan hal ini atas kesadaran diri, tanda diperintah oleh ibunya. Ia memasuki kamar Deny perlahan. Melihat pemilik kamar itu tertidur, Maila meletakkan baskomnya di meja dengan perlahan.

Deny membuka mata, dan itu membuat Maila gelagapan, lalu mengatakan, ”aku cuma mau mengobati lukamu.”

“Bi Aini sudah melakukannya,” sahut Deny, kemudian mendesis karena merasakan perih pada sudut bibirnya sat berbicara.

“Oh, ya sudah...” Maila baru akan keluar dari kamar ketika Deny menahannya.

“Tunggu...”

Ini sangat memalukan, pikir Maila. Ia belum pernah masuk kamar laki-laki. Ini kali pertama dan di kamar anak majikan pula. Sungguh sangat sembrono. Deny tidak marah-marah saja sudah ajaib.

“Tapi sepertinya aku masih perlu diobati. Memarku masih nyeri.” Deny menunjuk beberapa bagian wajahnya yang membiru. “Kamu bisa lihat memarnya, kan?"

Sial, Maila merasakan wajahnya memanas. Sangat malu. Tapi ia tidak punya pilihan kecuali menurut, Maila sendiri yang mengendap masuk tadi.

Memeras saputangan, Maila duduk di sisi ranjang Deny dan mengusapkan saputangan itu pada bagian wajah Deny dan, “Aah,” Deny mengaduh. Maila buru-buru menarik tangannya, “maaf,” katanya.

“Pelankan sedikit.”

Maila mengangguk.

“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau mereka sangat keterlaluan?”

“Aku sudah bilang kemarin,” sahut Deny dengan nada dongkol. “Tapi kamu nggak percaya.”

Maila merasa tidak enak atas sikapnya kemarin. Yang baru ia sadari, Deny adalah satu-satunya orang yang tak segan bicara dengannya, selain ibunya pastinya.

“Kenapa kamu diam saja?” Maila kembali mencelupkan saputangannya pada air hangat, kemudian memeras-merasnya.

“Aku balas. Tapi tidak bisa sebanding. Memar mereka mungkin hanya sebatas di hidung atau pelipis, sedangkan aku seluruh wajah, bahkan seluruh tubuh.” Deny mendengus kesal. Emosinya membuncah. “Itu karena mereka main keroyokan.”

Maila pun merasa marah, hingga tanpa sadar menekan luka Deny dengan cukup keras, hingga membuat pemuda tanggung itu mengaduh kontan. Maila sekali lagi meminta maaf.

“Hati-hati. Ini sangat sakit,” pinta Deny, sambil menjauhkan tangan Maila dari wajahnya.

“Kayaknya cukup, mukaku bisa makin bonyok nanti.”

Maila mengangguk, lalu bangkit berdiri sebelum keluar kamar. Namun lagi-lagi Deny menahannya. “Tunggu.”

Maila menoleh, kembali menatap Deny. “Apa?"

“Apa kamu berubah pikiran?”

Mendengar pertanyaan itu Maila menggigit bibir bawahnya, namun tak mengatakan apa-apa. Ia tidak mengacuhkan pertanyaan Deny melainkan membalik badannya lagi dan keluar begitu saja.

***

Maila duduk menghadap Salima. Boneka itu belum selesai ia kerjakan. Pahatannya masih berantakan. Ia mengambil kembali alat mepahat dan merapikan wajah boneka Salima. Di tengah-tengah kegiatan memahat, mendadak tangan Maila terhenti, wajah lebam Deny terbayang di pelupuk mata. Ia mencengkeram alat pahatnya, kemudian menggeram. Dengan gerakan cepat, ia nggoreskan sisi tajam alat pemahan pada telapak tangannya hingga mengeluarkan darah. Ia merapal beberapa mantra sembari mengusapkan darah segar yang mengalir itu pada wajah boneka Salima.

“Beri pelajaran pada mereka. Mereka yang membuat Deny babak belur.”

Boneka haus darah itu tersenyum mengerikan saat aroma darah mengelilingi wajahnya. Tangannya terangkat, menyentuh telapak tangan Maila dan mendekatkannya ke mulut, menyesap darah yang masih mengalir di sana. Maila membiarkan Salima menjilat-jilat telapak tangannya hingga puas, meski begitu perih saat Salima melakukan itu. Puas menyesap darah Maila, Salima baru bersedia berangkat, mengerjakan apa yang diperintahkan.

***

Tengah malam di kamar Ragiel, masih begitu ramai dengan suara-suara tawa Dimas dan Fredy. Kedua pemuda tanggung itu tengah seru bermain PS, sementara Ragiel hanya menonton dan memberi semangat.

“Ah, Dim. Kau selalu kalah dari tadi.” Ragiel meledek Dimas yang tak pernah bisa mengalahkan Fredy di games soccer.

“Setelah ini yang kalah harus nraktir makan di kantin besok.”

“Enak aja.” Dimas tidak terima. “Aku pasti kalah, jadi yang menang aja yang nraktir. Anggap aja perayaan.”

“Huuu...” Ragiel dan Fredy langsung bersorak. Saat mereka tertawa-tawa, mendadak suara mereka teredam oleh ketukan di jendela yang menghubungkan kamar dengan balkon. Ragiel terpaku. Siapa yang mengetuk kamarnya? Bukankah kamarnya ada di lantai 2? Siapa yang berani memanjat? Dan bagaimana caranya?

“Sttt... tunggu sebentar.” Ragiel meminta kedua temannya itu diam, sementara ia melangkah untuk membuka jendela. Berselang sekian detik setelah Ragiel membuka jendela kamar, ia dibuat berteriak karena shock dengan sosok yang berdiri di depan jendela.

“Hai,” sapa Salima dengan melambaikan tangan kakunya pelan. Ragiel tercekat hingga ia tak sanggup menanyakan bagaimana caranya menaiki lantai dua tanpa tangga. Ragiel juga tak sanggup bertanya, makhluk apakah yang kini dilihatnya, tengah menyeringai dengan dengan mulut penuh darah. Sosok di depannya seperti boneka kayu, namun ia bergerak. Ini seperti mimpi, apalagi saat sosok itu melangkah mendekatinya dengan kedua tangan yang terarah pada lehernya.

“Aaarrrhhh...”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!