Ketigabelas

“Minta maaf pada pak Wahyu,” perintah kepala sekolah. Deny jangankan bersedia, hanya menatap wajah Wahyu saja ia tak sudi. Jadi, Deny hanya memajang wajah datar, tanpa rekasi saat kepala sekolah menyudutkannya. “Kamu lebih memilih keluar dari sekolah?”

Deny berdiri, merasa tidak ada ruginya dikeluarkan dari sekolah.

“Tunggu!”

Suara teriakan itu mengalihkan perhatian seisi ruang. Kepala sekolah, Deny dan termasuk Wahyu mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu masuk. Ada Maila yang tersengal-sengal di sana. “Jangan keluarkan Deny,” katanya, lalu menambahkan, “saya mewakili dia, minta maaf pada pak Wahyu. Mohon kemurahan hatinya.” Maila melangkah ke arah Wahyu, kemudian membungkukkan badan berkali-kali. “Mohon maafkan Deny.”

“Siapa kamu?” tanya Wahyu.

“Saya pembantunya, Pak.”

“Pembantu?”

“Tepatnya, ibu saya pembantu rumah tangga di rumah Deny,” jelas Maila, Wahyu meski bertampang kaku masih menghargai usaha Maila.

“Kamu ngapain di sini?” jengkel Deny melihat Maila yang sok-sok'an membelanya.

“Sssttt...” Maila meletakkan telunjuknya di bibir.

***

“Kemarin aku sudah minta Salima untuk ngasih pelajaran buat si tua bangka itu.” Deny meletakkan dua gelas jus di meja kantin. Setelah sedikit paksaan tadi, akhirnya Maila bersedia diajak ke kantin.

“Lalu?”

“Awalnya kukira berhasil. Tapi sepertinya tidak.” Deny duduk, sembari menyesap jus alpulat.

“Kok gitu?”

“Mana kutahu? Makanya sekarang aku tanya kamu.”

“Analogikan perjanjian itu sebagai jual beli. Apa yang kita inginkan juga harus dibayar dengan nilai yang sama,” jelas Maila, yang membuat Deny mengernyit.  “Aku nggak paham.” Deny meringis. Maila lantas meraih kedua tangan Deny, dan menemukan ada luka yang sudah tertutup plester di telapak tangan kiri. “Lukanya kecil. Pasti darahmu tidak memuaskan Salima.” Maila menerawang. Ia tidak bisa memastikan, tapi kemungkinan besar memang Salima memang kurang puas, jadi ia pun melakukan pekerjaan yang tidak memuaskan.

“Begitu ya...”

***

Jawaban Maila itu benar-benar mengganggu pikiran Deny. Jika darah yang ia berikan untuk Salima tadi masih kurang, sebanyak apa yang Salima inginkan? Lama-lama mengerikan juga. Deny bergidik, namun tetap ia dudukkan Salima di sandaran ranjang, ia masih meraih pisau cutter-nya, lalu mendorong mata pisau itu hingga menyembul keluar. Kali ini Deny tidak mengiris telapak tangannya, melainkankan urat nadi. Setelah mengucap perjanjian, Deny menarik napas dan mengumpulkan keberaniannya untuk memotong nadi.

Crash!!! Darah mengalir cepat. Deny bahkan sampai ngeri melihat aliran merah pekat dari pergelangan tangannya. Ia langsung meletakkan tengannya di kepala Salima, membiarkan darahnya membanjiri Salima. Boneka itu langsung terbangun, menyeruput darah segar itu dengan antusias.

“Minum sesukamu dan lakukan tugasmu dengan benar, beri pelajaran tak terlupakan untuk Wahyu.” titah Deny. Salima tak menyahut, namun ia sangat senang dengan persembahan yang melimpah ini. Puas dengan aroma dan rasa darah segar itu, Salima turun dari ranjang dan pergi melaksanakan tugasnya.

Ketika Salima sudah pergi, Deny menyadari luka di pergelangan tangannya masih mengalirkan darah.

“Sial,” umpatnya saat melihat luka cukup lebar di pergelangan tangannya. Ia menutup luka itu dengan menggengamnya. Dengan langkah terburu-buru ia keluar kamar, berusaha menemukan kotak P3K secepatnya. Saat berlari keluar, tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang, Maila. Gadis itu terbelalak saat melihat Deny langsung limbung dan jatuh dengan darah yang masih mengalir deras dari pergelangan tangannya.  “Deny?” Maila buru-buru membantu Deny berdiri. Wajah pemuda itu pucat pasi. “Bodoh, kenapa nadi yang diiris? Kumohon, jangan pingsan. Tidak ada yang ngangkat nanti.” Deny mendengus. “Aku butuh P3K.”

“Akan aku siapkan.”

***

Boneka itu datang lagi. Seluruh tubuh Wahyu melemas saat tangan-tangan boneka itu terlepas dari bagian tubuhnya yang lain. Melayang-layang menghampiri Wahyu yang sudah berusaha melarikan diri.

“Pergi! Pergi!”

Tapi justru tangan itu makin mendekat, lelu mencekik leher Wahyu dengan tangan kaku.

“Aaaarrrgghhh...” Napas Wahyu nyaris habis. Tapi mendadak tangan itu melepaskan lehernya dan mendorong bahunya hingga tubuhnya terhempas ke lantai. Belum sampai ia bangkit, tangan-tangan kayu itu sudah kembali mendekat, mencekik lagi lehernya, sampai napasnya tak tersisa. Dengan kekuatan terakhirnya, Wahyu menghempaskan tangan itu dari lehernya, kemudian berusaha kabur ke manapun asal bisa menjauh dari makhluk aneh itu. Wahyu terbirit dengan tubuh gemetaran, keluar melewati gerbang, sialnya saat menyeberang motor melesat menyerempet tubuhnya hingga tubuh tuanya sempat terseret beberapa meter. Salima terbahak-bahak melihatnya. Ia menyatukan kembali kedua tangannya sebelum kembali ke kamar Deny. Di kamar, Deny terheran karena melihat Salima sudah kembali ke kamarnya. Terbaring di ranjangnya.

***

“Pak Wahyu koma, Deny! Kamu sengaja melakukannya?” Maila tampak begitu marah saat menghampiri kelas Deny di jam istirahat. Teman-teman yang masih ada di kelas sempat terkejut dengan kedatangan Maila yang tidak biasanya itu.

“Boneka kayu yang kubuat itu bukan untuk ngebunuh orang, tapi cuma memberi mereka pelajaran,” tambah Maila. Deny masih tak mengerti.

“Tunggu-tunggu... aku nggak ngerti maksud kamu.” Deny mengangkat tangan, lalu menarik Maila agar duduk di sebelahnya. “Tenang dulu.”

“Gimana aku bisa tenang? Kamu mencoba membunuh orang dengan Salima, Deny! Aku nggak bisa diem gitu aja.” Maila menghempaskan tangan Deny.

“Tunggu, aku sama sekali nggak melakukan hal yang kamu kira,” sangkal Deny.

“Jangan ngelak. Kamu kan yang ngasih perintah buat ngebunuh pak Wahyu.” Maila menggebrak meja, membuat perhatian beberapa teman terarah pada mereka. Deny pun sebenarnya merasa risih dengan pandangan aneh dari teman-temannya, tapi sama sekali tidak terpikir untuk melarang mereka.

“Nggak sama sekali, Maila. Itu nggak bener.” Deny menggeleng, bahkan Deny mengangkat jari piece demi meyakinkan Maila. Tapi tetap saja gadis itu tidak percaya.

“Lalu, kenapa pak Wahyu sekarang koma?”

“Itu... mungkin Salima yang punya inisiatif sendiri,” jawab Deny, asal.

Jawaban yang membuat Maila tertawa hambar. “Konyol.”

“Tapi itu memang benar. Kamu nggak percaya padaku?”

Maila tak menjawab, ada rasa kecewa yang membuatnya enggan bicara pada Deny. Ia keluar begitu saja dari kelas tanpa peduli jika Deny berusaha mengejarnya.

Kenyataan bahwa pak Wahyu mengalami koma membuat Deny cukup shock. Bukan itu yang ia harapkan. Dan Maila sama sekali tidak percaya dengan kata-katanya. Ia menarik napas panjang saat melihat Salima terbaring di ranjangnya. Ia mengangkat boneka itu lalu mendudukkannya.

“Kenapa kamu melakukannya separah ini?” desis Deny, nyaris tak terdengar. Ia melirik pergelangan tangan kirinya, ada balutan perban yang tebal. Maila yang membantu mengobati lukanya kemarin, mungkin setelah ini ia tidak akan menggunakan jasa Salima lagi. Tidak ingin mencelakakan orang lain.

Deny mengangkat tubuh Salima, dan berniat mengembalikannya pada Maila.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!