Kesembilan

Rumput di halaman belakang masih basah, bekas terguyur air tadi sore. Maila menginjak rerumputan itu dengan kaki telanjang. Boneka Salima yang berat ia gendong seperti mengendong anak kecil. Ia melihat Deny sudah duduk di taman belakang, di dekat kolam ikan. Sesekali pemuda tanggung itu melempar batu ke dalam kolam, membuat ikan mas di dalamnya berlarian.

“Kamu sudah siap?”

Deny menoleh, menatap Maila dan sahabat bonekanya itu. Bangkit berdiri dengan cepat, Deny mengebaskan bagian belakang celananya. “Aku siap.”

“Kuharap kamu tidak akan pingsan.”

“Jangan menghina…” Deny memutar bola matanya.

Maila mengabaikan Deny dan mendudukkan boneka Salima di rerumputan basah begitu saja. Boneka Salima kini sudah mengenakan baju. Model dress warna hitam. Pakaian yang lebih bagus daripada yang dikenakan Maila.

Gadis itu mengeluarkan pisau kecil bersarung dari balik saku celananya. Deny hanya diam, mengamati gadis itu membuka sarung pisau itu, lalu menyentuh mata pisau dengan jari jempolnya, seperti menguji ketajamannya.

“Jiwa-jiwa yang berkeliaran, bersediakah kalian mengisi tubuh yang telah aku disediakan? Bermainlah denganku, aku berikan darahku sebagai syarat memanggil kalian.” Maila mengiris telapak tangan kanannya dengan pisau tajam itu. Deny tercengang saking ngerinya, apalagi saat Maila mengusapkan darah itu pada wajah Salima hingga wajah boneka kayu itu basah oleh darah Maila.

Beberapa saat, tak ada apapun yang terjadi. Baik Maila dan Deny sama-sama diam, menunggu dan mengamati boneka Salima, hingga pergerakan boneka itu membuat Deny tersentak hingga terjatuh saking kagetnya.

Boneka itu memang bergerak. Mulutnya yang semula kaku karena terbuat dari kayu, kini bisa tersenyum. Terlihat elastis. Tanpa sadar tubuh Deny gemetaran.

“Terima kasih telah bersedia mengisi tubuh Salima, akan kuberikan darahku lagi jika kamu bersedia mengganggu teman sekelasku bernama Andara, dia menghinaku tadi pagi.”

Boneka Salima mengangguk, bibirnya masih menggurat senyum. Perlahan, Salima bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah pasti. Melihat Salima yang melangkah makin menjauh, Deny merasa dadanya menyesak.

“Kubilang kan jangan pingsan.”

Tapi Deny terlanjur lemas.

***

Deny masih gemetaran. Maila sempat mengambilkannya segelas air yang hanya berkurang seteguk. Pemuda tanggung itu masih shock. Boneka Salima itu ternyata Maila gunakan sebagai wadah untuk para hantu atau apalah sebutannya.

“Tolong jangan ceritakan sama ibu.” Maila duduk di sebelah Deny, di batu tepi kolam ikan. Maila memejamkan mata, teringat ibunya. Jika wanita itu sampai tahu, entah bagaimana reaksinya.

“Jadi ibumu nggak tahu?”

Maila rasa Deny sudah tahu, dan entah mengapa pemuda tanggung itu selalu saja berlagak lugu.

“Nggak, ibuku bisa marah kalau tahu aku melakukan hal ini.”

Satu ide terbesit dalam pikiran Deny, ia tersenyum saat memandang Maila. Gadis itu tahu jika Deny pasti punya niat terselubung di balik senyuman itu. “Oke, aku akan jaga rahasia. Tapi dengan satu syarat.”

Dugaan Maila memang tepat.

Maila tidak tertarik, namun tetap menanyakan, “apa?”

“Berikan Salima,” jawab Deny cepat, dan saat itu Maila sontak tercekat. Berani sekali Deny mengatakan itu. Bukankah sebelumnya Maila sudah mengatakan tidak akan memberikan teman-temannya pada orang lain? Lagipula, Maila masih ingat jelas kalau Deny sempat ketakutan melihat Salima yang bergerak.

“Niat banget kamu milikin Salima,” sinis Maila. Deny langsung berpindah posisi, yang awalnya di sebelah Maila, kini di depan gadis itu.

“Aku nggak gampang nyerah. Ajari aku melakukan ritual sepertimu.”

“Jangan mimpi!” tergas Maila. “Aku nggak akan ngasih Salima pada siapapun!”

Setelah mengatakan itu, Maila pergi begitu saja. Deny berusaha mengejar, namun gadis itu buru-buru meneriakkan, “jangan ikuti aku!”

Deny mengangkat kedua tangannya. “Oke-oke!”

***

Deny menahan napas di perut saat sampai di sekolah, Deny mendengar kabar tetang Andara yang katanya hari ini tidak masuk sekolah. Teman-teman dekatnya bilang, Andara mengalami kejadian aneh. Gadis itu bangun dengan keadaan rambut gundul tanpa sebab yang jelas. Deny buru-buru mencari Maila. Gadis itu pasti tengah berada di tempat sepi.

Deny menghampiri semua lokasi sepi di sekitar sekolah. Taman belakang, kamar mandi sampai gudang. Tidak didapatinya Maila di tempat-tempat itu, sampai Deny teringat sesuatu, pohon beringin. Maila yang seperti jelmaan kuntilanak itu pasti ada di sana. Dan benar saja, Maila ada di sana, tengah duduk sendiri. Entah apa yang ia lakukan.

“Ternyata kamu di sini.” Deny duduk di sebelah Maila. Duduk di antara akar-akar beringin yang menyembul ke luar.

“Kamu mau apa?” sinis Maila. Ia masih marah soal kemarin.

“Kejadian yang menimpa Andara itu… pasti ulah Salima.” Deny masih ingat, kemarin Maila memberi perintah pada boneka kayunya.

“Kenapa? Dia pantas menerimanya. Itu hanya peringatan kecil.” Dan Maila pasti akan memberi perintah lebih pada Salima jika teman-teman sekelasnya masih berani menghinanya.

“Iya, aku tahu, harusnya Salima melakukan yang lebih dari itu.” Deny menerawang. Sebenarnya, bukan hanya Andara yang selalu menghina Maila, tapi mungkin Maila hanya memilih yang keterlaluan.

“Ya. Harusnya.”

“Aku mengalami yang lebih buruk lagi,” ungkap Deny.

Maila menaikkan sebelah alisnya.

“Aku pun dibully, aku butuh Salima untuk memberi mereka pelajaran.” Kalau boleh, Deny juga ingin meminta Salima membalas kelakuan Ragiel dan kawan-kawannya.

“Kamu laki-laki, balas mereka sendiri,” cibir Maila. Ia berdiri dari duduknya, lalu mengebaskan rok seragamnya. Deny mengikuti Maila.

“Maila, kamu tahu aku sendiri dan mereka keroyokan.”

“Itu bukan urusanku.” Maila menoleh ke belakang, hanya untuk menemukan wajah Deny yang menurutnya pecundang.

“Kamu nggak peduli padaku?”

Selain pecundang, Deny juga jago akting rupanya, pikir Maila saat melihat wajah memelas Deny.

“Sama sekali nggak!”

***

“Kamu dan si kuntilanak itu ternyata pacaran, ya? Serasi banget,” cibir Ragiel ketika Deny melintas di koridor kelas. Kebetulan Ragiel dan kedua sohibnya melintas ke arah yang berlawanan.

“Siapa yang kau sebut kuntilanak, hah?” bentak Deny. Mood-nya kurang bagus saat ini, dan sulutan kecil macam itu sudah membuatnya emosi.

“Woow… sekarang kau jadi galak, ya.” Ragiel berlagak takut. Ia pura-pura merengek di lengan Fredy. “Aku takut sekali.”

“Dia jadi galak gini kalau ada yang menghina ceweknya, Bro.” Fredy terpingkal bersama Dimas.

“Diam kalian!” bentak Deny, namun tak juga membuat Ragiel dan yang lainnya menghentikan tawa mereka. Kesal melihat gelak tawa itu, Deny mengarahkan tinjunya ke rahang Ragiel hingga teman sekelasnya itu jatuh tersungkur ke lantai. Melihat itu, Dimas langsung membantu Ragiel bangkit sementara Fredy membalas kelakuan Deny dengan menonjok pipi kiri Deny. Pemuda tanggung itu pun sontak jatuh, terpelanting.

Ragiel yang murka segera mengusap darah di bibir bawahnya, ia melangkah mendekati Deny dengan mata yang berkilat marah.

“Beri dia pelajaran!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!