Kelima

Dering ponsel yang membuat Adrian menghentikan tawa itu. Lelaki itu merogoh saku celananya, lalu meraih ponsel pintar dari sana. Ada nama Mayang di sana, memanggil. Adrian lekas mengangkat panggilan itu.

“Halo, Mbak Mayang…” sapa Adrian menyapa.

“Iya, halo,” sahut wanita di seberang sana. “Gimana keadaan di sana, Dri?”

“Deny pingsan di sekolah, Mbak. Tapi sekarang sudah mendingan.” Adrian melirik Deny yang masih tiduran. Remaja itu hanya membalas dengan tatapan malas. Adrian menjauhkan ponselnya sejenak saat membisikkan kata, “mamamu yang nelpon.”

“Kok bisa pingsan? Kenapa sakit masih ke sekolah?” Mayang terdengar sangat cemas saat menanyakan keadaan Deny.

“Demam. Dia nggak bisa dilarang pergi ke sekolah. Oh ya, dan dia juga kurang nutrisi. Dia makan sekenanya sudah berapa lama?”

Di seberang sana Mayang mengurut kening, ia baru ingat bahwa bi Halimah sudah tidak ada lagi, belakangan ini pasti Deny hanya makan junk food. “Harusnya aku pulang sekarang.”

“Iya. Berhenti berbisnis. Suamimu bisa menghidupi kalian, Mbak,” saran Adrian.

“Aku akan pulang, tapi nggak sekarang. Aku minta tolong, carikan pembantu buat Deny, ya. Carikan yang jago masak,” jelas Mayang. Adrian sontak mengurut kening. Kakak sepupunya itu apa-apaan? Ia sempat berpikir kalau Mayang masih punya nurani keibuan, tapi sepertinya ia salah.

“Astaga, aku kira mbak serius mau pulang.” Adrian mendengus sebal.

“Nggak sekarang. Ya sudah, aku harus lanjut kerjaan.” Sambungan terputus. Adrian geleng-geleng dengan sikap sepupunya.

“Mama nggak akan peduli, apalagi papa.” Dan di mata Adrian, Deny sudah mati rasa soal ini. Mungkin Deny sudah terbiasa. Tapi bukan berarti ia rela dengan perlakuan kedua orang tuanya selama ini. Sendiri itu tetap menyakitkan.

“Nggak juga sih, buktinya mama kamu nelpon. Malah nyari pembantu baru buat kamu.”

Deny mengabaikan pembelaan dari dokter Adrian untuk orang tuanya. Remaja itu meraih selimut dan menariknya hingga menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah. “Aku mau tidur.”

“Oke. Selamat tidur. Om keluar dulu.”

Deny mendengar suara langkah kaki dokter Adrian yang makin menjauh. Remaja itu menghempaskan napas lelah, lantas membuka selimut dan bangkit dari posisi tidur. Ia melangkah menuju balkon kamarnya.

“Hidup macam apa ini?” Deny mencengkeram besi pembatas balkon. Pandangannya jatuh, menatap jalanan yang mulai senggang. Tatapannya kosong, namun sejak melihat sesosok gadis yang menenteng boneka kayu di tangan kanannya, perhatian Deny terpusat pada gadis itu. Deny mengernyit saat menyadari siapa gadis itu. Sosok berambut panjang dengan kulit pucat.

Gadis itu lebih mirip mayat hidup. Dan, apa sebenarnya yang dibawa gadis itu? Seperti boneka kayu, tapi besar sekali.

Didorong rasa penasaran, Deny berlari keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya dibawa oleh gadis itu. Tapi sayangnya, sesampainya di bawah, Deny tidak menemukan siapapun di sana. Gadis itu sudah tidak ada. Bahkan ketika Deny mengedarkan pandang ke sekeliling, tidak ada siapapun yang dilihatnya.

“Cepat sekali dia,” gumam Deny.

“Kamu ngapain?”

Deny terlonjak kaget. Ia memutar tubuh dan mendapati dokter Adrian yang baru kembali—entah dari mana.

“Bikin kaget aja.” Deny sewot.

Dokter Adrian menunjukkan dua kantong plastik di tangannya. “Untuk makan malam. Om belikan capcay. Ayo cepat masuk, anginnya dingin sekali.”

“Aku memang sudah lapar.” Deny mengusap perut.

“Kamu suka makan sayur?” Om Adrian merangkul bahu Deny saat masuk ke rumah. Bahkan papa tidak pernah melakukan ini padanya. Andai papa bisa seperti dokter Adrian. Padahal ia hanya adik sepupu mama.

“Aku suka segala jenis sayur kecuali yang mentah”

Dan Adrian dibuat tergelak dengan jawaban singkat itu. “Setelah ini om cari asisten rumah tangga yang bisa mengolah banyak jenis sayur.”

***

Pagi yang terasa berbeda. Dokter Adrian yang mendadak menggedor pintu, padahal biasanya lelaki itu selalu membiarkan Deny bangun di jam berapa pun. Deny terpaksa bangun, dan melangkah berat untuk membukakan pintu.

“Om, ini masih jam enam pagi.” Deny mengucek matanya ketika pintu kamarnya sudah terbuka. Adrian berdecak dan menarik Deny keluar. Memaksa remaja itu mengikuti langkahnya menuruni anak tangga.

“Om sudah berkemas, hari ini Om pulang.”

“Oh,” hanya itu respon yang bisa Deny berikan. Ia pasrah, tak mungkin menahan pria itu di rumahnya lebih lama lagi.

“Sebelum pulang, Om ingin mengenalkan seseorang sama kamu.” Adrian telah sampai di lantai dasar lebih dulu, lalu disusul oleh Deny. Pria yang lebih tua itu menunjuk ke arah ruang tamu, dan Deny mengikuti arah yang ditunjuk. Terlihat sosok wanita tua dengan daster berwarna usang dan kebesaran, dan seseorang yang duduk di sebelah wanita itu membuat Deny tercekat. Deny membelalakkan mata saat mendapati gadis dengan rambut yang tergerai panjang hingga menutupi sebagian wajahnya.

“Selamat pagi, Mas. Nama saya Aini, mulai sekarang bekerja di sini.” Wanita tua itu berdiri dari duduknya, lalu sedikit membungkukkan badan. Ia mencolek gadis yang duduk di sebelahnya. “Kasih salam juga.”

Gadis seram itu ikut berdiri, namun tidak memperkenalkan diri. Hanya membungkuk singkat. Aini merasa tingkah anaknya itu kurang sopan, ia hanya bisa meminta maaf dan mengatakan, “ini anak saya, namanya Maila.”

Adrian menyadari ada getaran pada tubuh Deny saat matanya menatap sosok Maila. Dengan tenang, Adrian menyentuh bahu Deny, lalu berbisik, “jangan tidak sopan begitu. Dia bukan hantu. Dia manusia seperti kita.”

Deny sontak menatap Adrian, lalu menelan ludah. Pria yang lebih tua tersenyum kemudan menjelaskan, “Bi Aini ini yang akan memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ada anaknya juga, jadi kamu tidak akan kesepian.”

Deny mengangguk pada Aini. “Namaku Deny Darmawan.”

“Bagus, sekarang Om bisa ninggal kamu dengan tenang.” Adrian menghempaskan napas lega, lalu tersenyum pada Deny. Remaja itu tak membalas senyum tipis itu, malah mengerutkan alisnya.

“Om mau mati?” tanya Deny polos.

“Anak sial!!! Kamu nyumpahin Om?”

Deny hanya nyengir.

***

Bi Aini langsung bekerja ketika Adrian sudah kembali pulang. Deny terkesan melihat pembantu barunya yang begitu rajin. Ia menyiapkan sarapan sederhana, cah kangkung dengan udang dengan lauk tempe goreng. Meski sederhana, tapi Deny menyukainya. Rasanya lebih baik daripada memesan junk food.

“Semoga masakan bibi cocok di lidah mas Deny ya,” tutur Aini, saat Deny mulai menyantap sarapan paginya. Ada nasi hangat yang baru matang dari rice cooker, Deny tak perlu menunggu hingga nasinya dingin. Remaja itu langsung melahap masakan Aini.

“Enak banget, Bi…” Deny tersenyum, memberikan kedua jempolnya untuk Aini. Wanita ramah itu tersenyum lega. “Syukurlah.”

“Maila mana?”

“Membereskan gudang, Mas.”

“Kenapa gudang dibereskan segala? Nggak usah serepot itu. Isinya juga cuma barang bekas, sampah semua.”

“Justru itu, bibi tadi udah bilang, tapi Maila suka di belakang sana. Dia mau menjadikan itu kamarnya,” terang Aini. Deny mengerutkan kening. Di rumahnya, sangat banyak kamar. Di lantai bawah ada empat kamar kosong, sedangkan di lantai atas juga ada empat kamar, termasuk kamar yang ia tempati. Kenapa Maila malah memilih gudang?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!