Kelimabelas

“Mama sama papa kapan pulang?” Deny bergabung di ruang makan. Mama pun tersenyum melihat Deny bersedia makan bersama mereka. “Sebenernya masih bulan depan, tapi mama sama papa kangen kamu.” Mama mengambilkan nasi untuk Deny. “Mau lauk yang mana?”

Deny memilih meraih piring di tangan mama dan memilih sendiri menu sarapannya.

“Kenapa nggak nelpon dulu?”

“Coba cek catatan panggilan di ponsel kamu. Berapa kali mama coba telpon? Berapa kali papa coba juga?”

Deny diam, merasa bersalah. Ia menelan makanan paginya dengan hening. Papa pun tumben tak banyak bicara.

Selesai makan, Deny mengusap bibirnya dan menenggak susu coklatnya. “Aku berangkat dulu, Ma.” Deny meraih tangan mama, mencium punggung tangannya. Mama terharu melihat Deny yang bersikap manis. Mungkin ada baiknya juga berbaikan dengan suaminya.

***

Deny merasa kepulangan mama dan papa dari luar kota membuat mereka berubah lebih hangat. Deny merasa punya keluarga yang sebenarnya.

“Mama mau minta maaf, juga mewakili papa yang keras kepala itu.”

Deny tengah bersantai di depan tv ketika Mayang duduk menjajarinya. Sudah larut malam begini, biasanya mama sudah masuk kamar, bergelut dengan laptop atau tertidur pulas. Tumben sekali mama bisa bersantai.

“Untuk?” Deny menaikkan sebelah alisnya ketika bertatap muka dengan mamanya.

“Karena sikap mama selama ini.” Mayang tersenyum tipis, pandangannya sedikit menerawang. “Kepergian mama kemarin, selain untuk bisnis, juga kami pergunakan untuk bulan madu kedua.”

Deny tersedak ludah sendiri. “Aku tidak mau punya adik bayi di umur segini.”

Mama memukul kepala Deny. “Jangan menggoda mama,” sahut Mayang, mukanya memerah. Dan Deny sontak terpingkal. Ini kali pertama Mayang merasa keluarganya begitu hidup, terlebih sikap Deny yang lebih lunak. Kalau begini, Mayang tidak akan menyesal memilih jadi ibu rumah tangga biasa.

“Ya sudah, ini sudah malam. Balik ke kamar gih.”

Deny mengangguk dan mematikan tv. Ia melangkah ke depan, di mana kamar tamu berada. Mama merasa aneh karena Deny tidak kembali ke kamarnya sendiri.

“Loh? Kamar kamu kan di atas?” Mayang menunjuk ke atas, mencoba mengingatkan. Bisa jadi anak bujangnya itu lupa di mana kamarnya.

“Aku pindah ke depan aja, Ma.”

“Kenapa?”

Deny tersenyum dan menggeleng. “Nggak apa-apa, kok.”

Awalnya Deny juga berharap tidak ada apapun yang terjadi. Namun suara-suara aneh yang terdengar dari kamarnya yang lama membuat Mayang sadar jika ada yang tidak beres.

Brak! Brak! Brak!

Suara itu terdengar seperti pintu yang didobrak berkali-kali, atau suara meja yang dipukul. Berasal dari lantai dua, di mana kamar Deny berada.

“Kamar kamu ada yang nempati?”

“Itu…”

“Siapa? Setahu mama bi Halimah dan Maila kamarnya nggak ada yang di atas.”

Mama tak menunggu jawaban Deny, wanita itu berinisiatif mencari tahu sendiri siapa yang menghuni kamar Deny sebenarnya.

“Ma, jangan!” Deny berlari, menghadang langkah mama ketika wanita itu mulai menaiki anak tangga.

Mayang mengernyit, semakin dilarang justru ia makin merasa penasaran. “Mama nggak akan marah, cuma pengen tahu, Nak.”

Deny merasa keringat dingin membanjiri wajahnya. Entah apa yang akan dilihat mamanya nanti. Sosok boneka yang hidup itu, kah? Semoga tidak. Usaha mencegah mama pun tidak berhasil, Deny hanya bisa mengekori mama yang membuka pintu kamarnya.

Wanita itu menemukan kamar Deny gelap gulita. Menatap sekeliling, Deny dan Mayang dibuat heran karena suara-suara aneh tadi tidak mereka dengar lagi. Mayang meraba dinding, mencari saklar lampu dan menekannya. Setelah lampu menyala, seisi ruang terlihat, sewajarnya kamar remaja laki-laki, sangat berantakan. Wanita itu menggeleng sembari tersenyum, melupakan suara-suara aneh sebelumnya. “Ternyata nggak mau tidur di kamar gara-gara berantakan banget, ya?”

Deny tertawa garing.

Mayang melihat boneka Salima yang terbaring di kasur, lalu menghampirinya. “Kamu main boneka?”

“Iya, eh, maksudku, nggak. Itu punya Maila.”

“Kenapa ada di kamar kamu?”

“Udah aku balikin. Tapi balik lagi, secara misterius.”

Mayang terdiam, wajahnya menegang. Deny pun tak tahu harus melanjutkan ceritanya seperti apa. “Ah, kamu ngerjain orang tua.” Mayang tergelak. “Udah, ah. Mama keluar dulu.”

Deny menggerutu saat mamanya pergi begitu saja. Wanita itu tak lupa menutup pintu kamar Deny, dan saat Deny akan membukanya, pintunya mendadak terkunci. Pemuda tanggung itu panik, mencoba membuka pintu berkali-kali.

“Ma… ma… bukain…” teriak Deny sembari memukul-mukul pintu kamarnya. Namun tak ada satupun sahutan yang terdengar.

Lampu kamar makin meredup. Deny tengadah, menatap lampu spiral yang kehilangan pendar. Sial, ada apa dengan lampunya? Tidak mati, juga tidak menyala terang. Pandangan Deny teralih pada boneka Salima yang terbaring di kasur. Ngerinya, posisinya sudah berubah, miring ke kanan, ke arahnya. Deny benar-benar tercekat, ia ingin melarikan diri, namun tak bisa. Tubuhnya seolah membeku, matanya pun tak bisa dipejamkan, sehingga ia terus terbelalak menatap Salima yang perlahan-lahan menggerakkan jari-jarinya. Rambutnya yang panjang jatuh sehelai demi sehelai, hingga banyak sekali rambut panjang yang berserakan ke lantai, namun itu tak membuat rambut Salima habis.

Tak lama, tubuh Salima bergetar. Kemudan sosok boneka kayu itu bangkit dan berjalan mendekati Deny.

“Ke-kenapa kamu bangun tanpa diminta? Aku tidak memanggilmu!” ucap Deny tergagap. Ia begitu ketakutan ketika boneka itu mendekatinya.

“Oleh karena itu, mintalah. Beri perintah…”

“Nggak. Aku nggak pengen nyelakai orang lain lagi.”

“Kalau begitu, kau yang akan celaka!!!” Salima mengangkat tangannya, lalu menghempaskannya ke arah Deny.

Bahkan Deny tak sanggup berteriak ketika Salima mendekatkan wajah ke arahnya, mengendus aroma darah yang mengalir di balik kulit. Deny bergidik, namun masih tak sanggup bergerak. Hanya bisa melihat tubuh Salima yang perlahan mewujud seperti manusia, namun memiliki dua taring yang langsung ia tancapkan pada leher Deny hingga mencucurkan darah. Saat itu Deny baru bisa berteriak, “Aaaarrgh.” Lalu berusaha menjauhkan Salima yang menyesap darah dari lehernya, seperti lintah yang lengket.

Perih menyerang bagian lehernya, apalagi dengan Salima yang terus menyesap darahnya. Seperti kehausan.

Deny berpikir bahwa ia akan mati, andai saja tidak ada yang menghempaskan daun pintu kamarnya dengan brutal.

“Deny!” Maila tersengal-sengal saat memasuki kamar Deny. Namun yang ia lihat saat itu hanya Deny yang sudah terkapar dengan luka di leher.

“Sial,” umpat Maila. “Salima yang melakukannya?” tebak Maila. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling, namun tak menemukan sosok boneka itu di mana pun. Salima menghilang begitu saja ketika ada orang yang mengganggu kesenangannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!