Keduapuluh

Maila bergegas menuju kamarnya, menarik semua bonekanya keluar kamar. Adnan permisi untuk membawa boneka-boneka itu ke halaman belakang, dan Mayang mengizinkan dan turut membantu.

Tumpukan boneka kayu di halaman belakang itu membuat Adnan menggeleng heran. “Banyak banget, Mbak?” Pemuda itu menelan ludah, lalu mengamati beberapa boneka yang semuanya masih bagus, sesekali Adnan pun menyentuhnya. Boneka itu memiliki permukaan yang sangat halus, nyaris seperti manekin.

“Iya, ini buatan saya sejak SMP.” Maila masih ingat hobinya membuat boneka kayu memang diturunkan bapaknya dulu. Namun sejak SMP, bapak meninggal dan Maila selalu membuat boneka untuk mengenang bapaknya. Aini mengusap bahu Maila saat ia teringat mendiang suaminya. Ada kepedihan di matanya saat menatap anak tunggalnya, selama ini Maila tumbuh tak seperti anak pada umumnya, mungkin karena ia kurang memerhatikan tumbuh kembangnya.

“Semuanya buatan kamu?” Adnan mengangkat salah satu boneka kayu itu, boneka yang memiliki tinggi sekitar satu meter, mengenakan pakaian layaknya manusia yang mungkin saja memang dibelikan Maila khusus untuk bonekanya.

“Iya, saya membuatnya sendiri.” Meski belakangan ini Maila tak pernah lagi membuat boneka, dan memutuskan untuk berhenti membuatnya. Maila sadar, boneka yang hidup memang mengerikan.

Adnan mengangguk. “Semua boneka ini pernah kamu pakai? Maksudku, untuk bermain dengan bangsa lelembut,” tambah Adnan.

“Iya. Semuanya pernah. Setiap menyelesaikan satu boneka, pasti akan aku fungsikan mereka seperti jelangkung,” jujur Maila, ia melirik pada Deny yang sejak tadi berada di sebelahnya. Ia tak mengatakan apapun, namun Maila tahu, Deny tak tenang saat ini.

“Jadi, sekarang masih mau main jelangkung?” Adnan memandang Maila dan Deny bergantian.

Maila menggeleng tegas. “Tidak mau lagi.”

“Aku juga nggak,” sahut Deny.

“Baguslah.”  Adnan kembali meletakkan boneka pada tumpukan lainnya. “Keberatan kalau semua dibakar?”

“Sama sekali tidak,” jawab Maila meski matanya memandang boneka-bonekanya dengan berat.

“Bisa minta minyak tanah dan korek?”

“Biar saya ambilkan.” Aini bergegas menuju dapur untuk mengambil korek dan minyak tanah, hanya beberapa menit wanita itu sudah kembali dengan sebotol minyak tanah dan korek api. Adnan meraih botol dari Aini dan berterima kasih. Pemuda itu tak butuh waktu lama untuk mengguyur semua boneka kayu itu dengan minyak tanah.

“Saya bakar, ya?” tanya Adnan sekali lagi. Meminta izin, khususnya pada Maila. Melihat gadis itu mengangguk, Adnan menyalakan korek api dan melemparkannya pada boneka-boneka Maila. Seketika, api menyebar, melahap semua boneka itu.

Maila menitikkan air mata, yang langsung disodori sapu tangan oleh Deny. “Mereka bukan temanmu,” katanya. “Temanmu masih ada di sini.”

Maila tersenyum sekaligus terisak. “Makasih.”

***

Yang tersisa hanya abu dan arang-arang kayu. Maila memang merasa ada yang hilang dari bagian hidupnya, namun pada saat yang bersamaan ia pun merasa lega. Tapi tidak dengan Deny, ia masih gelisah. Apalagi saat Adnan pamit pulang setelah membakar boneka-boneka Maila. Hanya sebatas itu, Deny juga bisa membakarnya sendiri.

Deny menahan Adnan yang akan pulang saat itu. Ini masih sangat janggal. Adnan datang hanya untuk membakar boneka Maila, tanpa memberi penjelasan apapun.

“Mas, masalahku gimana?” Deny menunjuk wajahnya, bingung sebab Adnan sepertinya tidak melakukan apapun selain membakar boneka. Ia memaksa Adnan kembali duduk di ruang tamu, Adnan menurut. Deny meminta agar Aini menyiapkan suguhan untuk Adnan, wanita itu mengangguk dan segera ke dapur.

“Masalah apa?” tanya Adnan, terlihat bingung. Deny menggaruk kepalanya dengan gemas. Ada apa dengan orang ini, pikir Deny. Apa Kyai Saleh salah mengirim orang, ya?

“Masalah tentang boneka Salima,” jawab Deny.

“Lho, aku kira bonekamu juga dibakar tadi.” Adnan mengingatkan, ia masih yakin Deny ingat apa yang dibakarnya tadi, dan pasti masih ada gemericik api yang sedikit tersisa di sana.

“Tidak. Boneka Salima sudah hancur sejak lama.” Dan Deny pun tak tahu di mana boneka tersebut berada.

“Jadi masalahnya?” tanya Adnan, heran. Seolah tak ada masalah yang terjadi. Dan itu benar-benar menyebalkan. Deny dibuat geregetan dengan tampang sok bodoh lawan bicaranya. Kalau saja laki-laki yang duduk di hadapan Deny bukan murid yang dikirim Kyai Saleh, mungkin Deny sudah menendang pantatnya.

“Tapi dia masih gentayangan,” jelas Deny.

Adnan tertawa. “Sampai kiamat, namanya makhluk gaib itu nggak akan ada habisnya.”

“Ha?”

“Deny!” suara panggilan Mayang tak membuat Deny menyahut. Pemuda tanggung itu hany termenung di teras rumah setelah Adnan pamit pulang beberapa saat lalu. Mayang menepuk bahu Deny ketika melihat bujangnya itu tak kunjung menyahut. Yang ditepuk sontak tersentak, lantas menoleh ke belakang dengan mengelus dada.

“Mama ngagetin.” Bujang itu memajang muka jengkel, ditanggapi oleh senyum ringan Mayang. “Salah siapa bengong di teras?” pertanyaan Mayang membuat Deny malu sendiri, namun ia mengabaikannya dan memilih nyelonong masuk.

Deny termenung sesaat setelah kembali ke kamarnya. Pikirannya masih sibuk, teringat dengan obrolannya dengan Adnan.

“Mas katanya mau bantuin?” Menghela napas panjang, Deny masih tak mengerti mengapa orang yang dikirim Kyai Saleh justru seperti Adnan yang terlihat sama sekali tidak membantu.

Melipat kedua tangan di depan dada, Deny menatap Adnan sembari bersandar di ambang pintu. Hari memang sudah sore, dan sepertinya Adnan sudah buru-buru ingin pulang, namun Deny masih menahannya.

“Semua ada di tangan kamu sendiri,” kata Adnan. “Saya sudah bantuin bakar bonekanya tadi, cuma itu yang bisa saya lakukan.”

Deny bengong.

“Saya bukan orang pintar, kok.” Adnan nyengir. “Tapi saya yakin, kalau boneka-boneka itu tidak disalahgunakan lagi, pasti kejadian buruk tidak akan menimpa kamu lagi.”

“Tapi, aku udah nggak pernah pakai boneka itu lagi, kok,” protes Deny.

Adnan tersenyum, ia merangkul bahu Deny, kemudian berkata, “Jadi begini, semua tergantung pada diri kita sendiri.”

“Maksudnya?”

“Penampakan, kesurupan, atau semacam teror itu adalah upaya setan dan jin untuk mengganggu manusia,” jelas Adnan. Penjelasan itu sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Deny bayangkan sebelumnya.

“Solusinya?” tanya Deny ragu.

“Jangan terpengaruh. Sholat dan dekatkan diri pada Pencipta. Mintalah perlindungan.”

Jawaban yang membuat Deny tersentak. Ia tercekat.

Sayangnya, Deny dan keluarga bukan termasuk muslim yang taat. Dari kecil, Deny tidak pernah dididik untuk religius. Jadi, ketika Deny diminta untuk mendekatkan diri, ia hanya mengangguk tanpa kepastian apa ia akan melakukannya atau tidak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!