Perjalanan Waktu
Zaragoza, atau akrab disapa Goza, adalah seorang gadis berusia 22 tahun yang hidup di zaman modern dengan segala kecanggihan teknologi yang ada. Di hadapan keluarga, Zaragoza dikenal sebagai wanita ceria, ramah, dan suka usil. Namun, di balik sikap cerianya, ia menyimpan satu rahasia besar yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun, bahkan keluarganya.
"Goza, Papa, Zergio, turun! Sarapan dulu," seru Chaitlin, Ibu Zaragoza, yang sudah menjadi alarm alami keluarga itu setiap pagi.
Zaragoza yang masih nyaman terbungkus selimut tebal, mulai terusik oleh suara sang Ibu.
"Iya, Ma. Bentar," sahutnya malas, entah terdengar atau tidak, yang penting ia sudah menjawab. Prinsip hidup Zaragoza yang penting "respons".
Dengan enggan, Zaragoza pun bangkit dari tempat tidurnya, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan penampilan siap kerja, kemeja putih dipadukan dengan blazer mint, rok span putih yang jatuh lima sentimeter di atas lutut, sepatu hak hitam, dan tas tangan senada. Wajahnya sedikit dipoles make-up, dan rambutnya dibiarkan tergerai, menambah kesan elegan yang khas dari Zaragoza Chadwick.
"Good morning, Ma, Pa, Kak," sapanya ceria pada keluarga di ruang makan.
Zaragoza adalah anak kedua dari pasangan pengusaha kaya di negara Neroga, Ringgo Chadwick dan Chaitlin Wilsh Chadwick. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Zergio Chadwick, yang kini berusia 26 tahun.
"Morning, darling," sahut Ringgo dan Chaitlin kompak.
"Lama banget sih, Za. Kakak udah laper nungguin kamu," protes Zergio dengan nada manja.
"Siapa suruh nungguin Goza?" balas Zaragoza sambil menyenggol bahu kakaknya, yang langsung mendapat sungutan kesal dari pria itu.
"Udah, udah… Kalian ini kayak anak kecil. Kalau deket berantem, nanti kalau jauh malah kangen-kangenan sama Mama," Chaitlin harus turun tangan melerai pertengkaran kecil dua anaknya yang sudah dewasa.
"Ayo makan, Papa hampir telat," Ringgo ikut menengahi, mendorong mereka untuk segera menikmati sarapan.
Suasana sarapan berlangsung penuh canda dan tawa. Keluarga kecil itu tampak sangat harmonis. Namun, tanpa mereka sadari, sesuatu yang akan mengubah hidup mereka sepenuhnya sedang menunggu di depan mata.
"Goza udah selesai, ya. Goza berangkat ke kantor duluan, ada yang harus diselesaikan pagi ini," pamit Zaragoza sambil berdiri.
"Iya, sayang. Hati-hati di jalan," sahut Chaitlin dan Ringgo bersamaan. Zaragoza hanya membalas dengan acungan jempol dan senyum ringan.
...*****...
Zaragoza melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pagi itu jalanan belum terlalu padat, sehingga perjalanan menuju kantor terasa lebih tenang dari biasanya. Setibanya di gedung perusahaan, Zaragoza langsung memarkirkan mobilnya di area khusus untuk para petinggi. Ia turun dari mobil dengan anggun, mengenakan kacamata hitam favoritnya.
Begitu memasuki lobi utama, tatapan para karyawan langsung tertuju padanya, sebagian penuh kekaguman, sebagian lainnya memilih menunduk dalam diam. Di perusahaan ini, Zaragoza dikenal sebagai sosok pimpinan yang tegas, berprinsip kuat, dan tidak pernah mentolerir kesalahan, terutama yang menyangkut reputasi perusahaan maupun harga dirinya.
"Selamat pagi, Nona," sapa para karyawan yang ia lewati. Panggilan "Nona" adalah sapaan formal untuknya di lingkungan kerja. Zaragoza hanya membalas sapaan itu dengan anggukan kepala, dingin namun berwibawa.
"Good morning, my Lady Queen Zarago~" suara ceria menyambutnya saat ia memasuki ruang kerja pribadi. Ternyata Klara, sahabat sekaligus asisten pribadinya, sudah menunggu di sana dengan wajah polos yang kadang menyebalkan.
"Klara, ini kantor, bukan markas. Jaga sikap dan ucapan kamu," ujar Zaragoza sambil berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di kursi empuk, lalu meletakkan tas dan mulai menata dirinya.
"Ih, Gozaa. Tapi itu kan panggilan kebesaran kamu! Lady Queen Zarago," sahut Klara sambil menyilangkan tangan di dada dan manyun ke depan.
Zaragoza hanya bisa geleng kepala, gemas sekaligus kesal melihat ekspresi sahabatnya itu. Tanpa ragu, ia mencubit kedua pipi Klara.
"Aduh, Goza! Sakit tahu!" Klara meringis, berusaha melepaskan tangan Zaragoza dari wajahnya.
"Salah sendiri, udah dibilangin masih ngeyel. Mulut kamu tuh," balas Zaragoza sambil terkekeh kecil.
"Oh iya, ngomong-ngomong soal markas... Sonia tadi bilang kita harus kumpul di sana pas jam makan siang, kan?"
Ya, selain menjadi seorang pimpinan perusahaan, Zaragoza juga adalah pemimpin tertinggi organisasi mafia paling berpengaruh di negara Neroga.
*
*
*
*
Kilas balik.
Saat Zaragoza berusia 17 tahun, ia pernah menemani ayahnya, Ringgo, dalam perjalanan bisnis ke kota Denon. Saat Ringgo sedang sibuk dalam pertemuan dengan klien, Zaragoza memutuskan berjalan-jalan di sekitar pantai yang tenang. Di sela langkahnya, matanya menangkap sosok kakek tua yang tergeletak lemas di balik semak-semak di pinggir pantai.
"Ya Tuhan… siapa itu?" gumamnya kaget, lalu berlari mendekat. Ia memeriksa denyut nadi dan napas sang kakek. Masih hidup.
Tanpa pikir panjang, Zaragoza segera meminta bantuan orang-orang di sekitar untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Kondisi kakek itu kritis, berdarah parah dan kehilangan banyak darah.
Setelah sampai di rumah sakit, Dokter segera mengambil tindakan operasi darurat.
Kini Zaragoza duduk di depan ruang operasi, menanti dengan cemas. Tak lama, seorang dokter keluar.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Zaragoza cepat.
"Apakah Anda keluarganya?" tanya dokter, sedikit ragu, karena dokter tersebut tahu betul siapa pasien yang ia tangani sekarang.
"Bukan. Tapi saya yang membawanya ke sini," jawab Zaragoza dengan ekspresi datar.
"Pasien sudah melewati masa kritis. Keadaannya mulai stabil, tinggal menunggu kesadarannya pulih setelah efek bius hilang. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap."
Dokter itu berlalu, disusul beberapa suster yang mendorong ranjang tempat sang kakek berbaring. Zaragoza mengikuti dengan diam, hatinya terasa berat. Ia belum tahu, pertemuan itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Kakek tua itu dipindahkan ke ruangan VIP, sesuai permintaan Zaragoza, agar beliau bisa menunggu dengan nyaman tanpa gangguan dari siapa pun.
"Kapan dia akan sadar, Sus?" tanya Zaragoza pada suster yang sedang merapikan selimut si kakek.
"Mungkin sebentar lagi, Nona. Kita tunggu saja sampai pasien siuman. Nanti setelah pasien sadar, Anda bisa panggil saya. Ini ada tombol, tinggal ditekan saja ya, Nona," ucap sang suster sambil menunjukkan tombol panggil di samping ranjang.
Zaragoza mengangguk pelan sebagai tanda bahwa ia mengerti.
Saat menunggu si kakek sadar, tiba-tiba ponsel Zaragoza berdering. Ia mengecek layar dan melihat nama ayahnya tertera di sana.
"Halo, Goza? Kamu di mana, Nak? Papa cari di sekitar restoran tempat Papa meeting, tapi kamu nggak ada," suara Ringgo terdengar khawatir. Setelah rapat, ia berniat menemui putrinya, tapi Zaragoza tidak tampak di mana pun.
"Papa, maaf. Goza tadi pergi nggak bilang dulu. Goza ke pantai sebentar, tapi pas di sana Goza lihat seorang kakek yang terluka parah. Jadi Goza bawa ke rumah sakit. Sekarang Goza masih di rumah sakit, kekenya belum siuman, Pa," jelas Zaragoza sambil menepuk jidat, lupa memberi tahu papanya soal kejadian itu.
"Ya ampun... Gimana keadaannya sekarang? Apa papa perlu ke sana buat temani kamu, Sayang?"
"Nggak usah, Pa. Ini tinggal nunggu dia siuman aja. Kalau sudah sadar, Goza bakal balik ke hotel. Papa pulang dulu aja, istirahat ya."
"Ya sudah, kalau begitu. Hati-hati di sana ya, Sayang. Jaga diri baik-baik."
"Siap, Papa-ku."
Setelah menutup telepon, Zaragoza kembali ke sisi ranjang si kakek. Ia terkejut saat mendapati kakek itu sudah membuka mata.
"Anda sudah siuman?" tanya Zaragoza spontan, lalu dengan sigap menekan tombol panggil seperti arahan dari suster tadi.
"Bagaimana kondisi Anda, Kek?" tanyanya cemas.
Belum sempat si kakek menjawab, suster dan dokter masuk ke ruangan untuk memeriksa kondisinya.
"Setelah saya cek, kondisi pasien sudah membaik dan tidak perlu dikhawatirkan." ucap dokter menghadap kepada Zaragoza. Lalu berbalik menghadap ke pasiennya"Kau cepat sembuh ya, Zo. Nona ini yang menyelamatkanmu," ujar sang dokter sambil tersenyum pada pasien, lalu pamit meninggalkan ruangan bersama suster.
Zaragoza mengangguk pelan, dan tak terasa, ia telah menemani si kakek selama dua jam sejak menemukannya di dekat semak-semak tadi.
"Namaku Arzo. Siapa namamu, Nak?" tanya si kakek dengan suara lemah namun jelas. Ia menatap gadis muda yang telah menyelamatkan nyawanya itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Nama saya Zaragoza, Kek," jawab Zaragoza lembut, tersenyum hangat.
"Nama kamu unik, seperti nama daerah di daratan Etmor, Nona Zarago," ucap Arzo dengan kekehan pelan.
"Oh ya, Kek? Di daratan Etmor ada daerah bernama Zaragoza?" Goza pun penasaran dengan yang dikatakan oleh Arzo tentang daerah bernama Zaragoza itu.
"Iya, kakek pernah ke daerah bernama Zaragoza itu. Tempatnya sangat bagus dan cantik, seperti kamu, Nona Zarago."
"Kakek bisa memanggil saya Goza saja, seperti yang lain. Tidak ada yang memanggil saya dengan sebutan Zarago," ucap Zaragoza dengan senyum ramah.
"Ah, tapi kakek ingin memanggilmu Zarago. Apa kamu tidak keberatan, Nona muda?" tanya Arzo, takut jika sang pemilik nama merasa tersinggung.
"Tidak apa-apa. Saya rasa panggilan Zarago tidak buruk juga. Saya tadi tidak sengaja menemukan Anda dalam keadaan terluka di dekat semak-semak. Apa yang sebenarnya terjadi pada Anda sebelumnya, Kek?" tanya Zaragoza dengan wajah serius. Ia merasa aneh, karena tak mungkin seorang kakek tua bisa berada di semak-semak dalam kondisi separah itu.
Luka sobek di mana-mana, darah mengalir dari setiap goresan lukanya, lebam di seluruh tubuh, bibirnya pucat. Persis seperti orang yang nyawanya hampir terenggut.
"Ceritanya sangat panjang. Mungkin kamu tidak akan percaya kalau kakek menceritakannya," jawab Arzo sambil menatap langit-langit ruang rawat dengan mata nanar.
"Lalu di mana keluarga Anda? Kenapa tidak ada yang menjenguk?"
"Istri saya sudah meninggal lima tahun lalu. Saya tidak punya anak, dan sudah tidak memiliki keluarga. Tapi saya melihat satu potensi dalam dirimu—sesuatu yang sama seperti saya. Apa kamu mau meneruskan apa yang akan saya berikan padamu? Saya sudah tidak lagi muda untuk terus mempertahankannya."
Arzo menatap Zaragoza dengan penuh harap, berharap gadis muda itu mau meneruskan sesuatu yang telah ia bangun seumur hidupnya.
"Kenapa harus saya?" tanya Zaragoza.
"Tidak ada orang yang bisa saya percaya di sekeliling saya."
"Anda baru saja mengenal saya. Kenapa Anda mau memberikan itu kepada saya? Bahkan saya masih anak 17 tahun," ujar Zaragoza, heran. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya, mengapa pria tua itu memilihnya?
"Saya percaya padamu. Firasat saya tidak pernah salah. Kamu memiliki potensi besar untuk meneruskan apa yang saya miliki sekarang."
"Hah. Baiklah, baiklah... apa yang akan Anda berikan pada saya?" dengan sedikit keterpaksaan, Zaragoza pun menerima tawaran dari Arzo.
"Apakah kamu berasal dari kota ini, Nak?" tanya Arzo, memastikan apakah Zaragoza bisa dia bawa ke ibu kota negara Neroga.
"Tidak. Saya dari ibu kota. Saya sedang menemani ayah saya yang berdinas di sini."
"Bagus sekali kalau begitu. Saat kamu kembali ke ibu kota, datanglah ke daerah Temon. Lurus saja ke arah hutan. Nanti, di tengah hutan, ada sebuah mansion besar. Saya akan menunggumu di sana," ucap Arzo, memberi tahu tempat tinggalnya.
Zaragoza yang mendengarnya menjadi sedikit ragu, karena daerah tersebut dikenal sebagai wilayah yang tertutup.
"Anda tidak mencoba menjebak saya, kan?" tanya Zaragoza dengan nada datar.
"Tidak, saya memang tinggal di sana. Datanglah sendiri, jangan sampai keluargamu tahu," ucap Arzo.
"Sungguh mencurigakan", itulah yang ada di benak Zaragoza sekarang.
"Tidak. Saya akan membawa teman-teman saya. Kalau Anda tidak setuju, saya menolaknya," jawab Zaragoza dengan tegas.
"Baiklah, datanglah bersama teman-temanmu saat berkunjung. Saya akan memberitahumu apa yang akan saya berikan setelah kamu sampai di sana."
"Hah. Ya sudah, saya mau pulang. Anda jaga diri baik-baik di sini, saya tidak bisa ke sini lagi karena besok sudah kembali ke ibu kota. Semua administrasi sudah saya bayarkan. Cepat sembuh sebelum saya datang ke kediaman Anda," ucap Zaragoza, lalu keluar dari kamar inap dan langsung menuju hotel. Tubuhnya rasanya ingin segera direbahkan.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke hotel karena jaraknya cukup dekat. Hanya saja, tempat meeting ayah Zaragoza tadi memang cukup jauh karena berada di dekat pantai.
Setibanya di hotel, Zaragoza langsung naik lift menuju kamarnya. Ia memang tidak sekamar dengan Ringgo—ia selalu meminta kamar terpisah setiap kali menemani sang ayah ke luar kota.
"Ah, enaknya bisa rebahan. Rasanya remuk semua tulangku. Ya ampun. Mandi dulu deh, biar segar, lalu makan. Betapa beruntungnya aku jadi Zaragoza, hidup dalam kemewahan," gumam Zaragoza sambil tersenyum.
Ia sempat berpikir, jika saja ia bukan anak dari keluarga Chadwick, mungkinkah hidupnya akan tetap sesempurna ini?
*
*
*
*
Hari-hari pun berlalu, dan Zaragoza baru ingat soal kakek tua itu. Ia harus pergi ke tempat yang dijanjikan untuk menerima sesuatu dari Arzo.
"Ngajak Sonia, Klara, sama Isel aja deh. Biar nggak bosen sendirian," gumamnya lalu membuka ponsel dan mencari kontak sahabat-sahabatnya itu.
Zaragoza, Sonia, Klara, dan Isel adalah sahabat sejak SD. Mereka bahkan selalu sekelas dari SMP sampai SMA.
"Halo Son, Kla, Sel. Ikut aku yuk ke daerah Temon, ada urusan penting," ucap Zaragoza lewat sambungan telepon grup.
"Hah? Kamu gila ya, Za? Itu daerah katanya rawan banget, hutan semua!" seru Isel dari seberang telepon.
"Kamu mau ngapain ke sana, Goza sayang?" tanya Sonia santai.
"Ada urusan, ayolah temenin aku. Masa kalian nggak bantuin sahabat sendiri sih?" ucap Zaragoza dengan nada memelas.
"Iya, iya, kita temenin. Tapi kamu yang jemput ya, biar satu mobil aja," jawab Klara.
"Yeay, terima kasih sayang-sayangku! Tunggu ya, sebentar lagi aku sampai di depan rumah kalian semua," ujar Zaragoza senang.
Setelah menjemput ketiga sahabatnya, mereka pun menuju daerah Temon. Di depan wilayah itu, ada gapura megah yang dijaga beberapa orang bersenjata berpakaian hitam. Setelah diberi pertanyaan dan menjelaskan alasan kedatangan, Zaragoza dan kawan-kawan akhirnya diizinkan masuk.
Dan benar saja, di tengah hutan, berdiri sebuah mansion besar berwarna putih dengan penjagaan yang jauh lebih ketat.
"Kamu yakin Za, ini tempatnya? Kok serem banget sih? Jangan-jangan perdagangan manusia nih," kata Klara dengan cemas.
"Aku udah bilang, daerah Temon itu tertutup banget. Merinding, Inces," sahut Isel sambil memeluk dirinya sendiri.
"Tapi beneran ini tempatnya, Za? Aku nggak mau mati konyol di sini," ucap Sonia khawatir.
"Aku juga nggak tahu. Pokoknya aku disuruh ke sini, udah itu aja," balas Zaragoza.
Mereka belum sempat lanjut bicara saat tiba-tiba...
"Zaza, itu... lihat deh. Ada kakek tua berdiri sambil senyum ke arah kita," ucap Isel sambil menepuk bahu Zaragoza.
"Ah, benar... itu Kakek Arzo! Dia yang nyuruh aku ke sini. Ayo turun," ujar Zaragoza.
Mereka pun turun dari mobil dan menghampiri Arzo yang berdiri di depan gerbang besar mansion.
"Selamat datang, penerusku... Lady Queen Zarago," sambut Arzo.
Para penjaga langsung berkumpul, mengepung mereka dengan formasi rapi.
"Hormat kami pada Lady Queen Zarago!" seru mereka serempak.
"Apa? Lady Queen Zarago?" ucap Zaragoza, Isel, Klara, dan Sonia bersamaan.
"Iya, Nona Zarago. Anda akan meneruskan ini semua, organisasi saya, Mafia Black Diamond," kata Arzo penuh kebanggaan.
"Apa?? Mafia??" teriak mereka berempat dengan suara keras, terkejut bukan main.
*
*
*
*
Halo semua maaf ya kalo ceritanya belum bagus baru penulis pemula buat ngisi waktu kosong aja, semoga suka ya sama ceritanya ya. kritik dan saran di persilahkan untuk membangun karya ini lebih baik lagi. I love you all
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
RJ 💜🐑
keren
2024-10-27
0
Ibuk'e Denia
aq mampir thor
2024-04-05
0
Ayu Dani
aku hadir Thor
2024-04-03
0