Bukan Wanita Simpanan

Bukan Wanita Simpanan

1. Wanita Tuan Devan

Kedua bibir itu saling bertaut. Ditengah keheningan malam, seorang pria dan wanita itu tampak tengah bercumbu mesra dibawah cahaya rembulan. Lenguhan terdengar saling bersahutan.

"Eugh, pelan - pelan kak."

Hingga adegan intim mereka terintimidasi oleh dering telepon yang tiba-tiba terdengar.

"Kak, ada telepon."

Ucapan itu tak menghentikan apa yang tengah mereka lakukan. Lelaki itu terus mereguk manisnya tubuh itu seolah tak pernah puas.

"Angkat dulu." Ucap sang wanita mendorong dada bidang itu pelan.

Terpaksa ia mengangkat panggilan yang menginterupsi mereka, beberapa saat kemudian terdengar suara wanita diseberang sana.

"Baiklah, aku akan pulang sebentar lagi, ada banyak pekerjaan di kantor."

Lantas pria itu meletakkan ponselnya diatas ranjang ketika panggilan itu terputus.

"Kenapa kak?" Tanya perempuan tersebut.

"Tidak ada." Jawabnya singkat.

"Mau lanjut yang tadi?" Godanya.

"Kenapa harus bertanya." Sahut pria itu hendak kembali melanjutkan aksinya.

"Sayang sekali, aku belum selesai datang bulan." Ujarnya lalu terkekeh pelan ketika mendapati wajah kecewa dari sang pria.

"Kenapa tidak bilang dari tadi, kau sudah membangunkan dia." Pandangannya melirik pada bagian bawah tubuhnya yang sudah meronta. Tak sabar mau menyalurkan hasratnya namun apa daya kalau lawannya belum siap diajak bertempur.

"Kau tidak memberiku kesempatan bicara." Ujar perempuan itu.

"Bersabarlah, sebentar lagi akan selesai." Mengelus dada bidang lelaki berwajah tampan itu dengan pelan.

"Bagaimana dengan besok lusa?"

"Baiklah." Ucapnya pasrah. Ia tak akan pernah bisa menolak untuk melayani lelaki yang amat ia cinta.

Lantas lelaki itu kembali melumat bibir ranum itu untuk terakhir kali sebelum ia beralih ke kaca dan membenahi pakaiannya yang berantakan.

"Kenapa kau tampak tak sabar, kak?" Tanya perempuan tersebut seraya mengancingkan jas prianya.

"Beberapa hari ini pekerjaan di kantor sedikit membuatku pusing."

"Itu sebabnya kau tidak sabaran?"

Lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Namun anggukan itu membuat sang wanita salah paham.

"Jadi aku hanya sekedar pelepasanmu saja."

"Apa yang kau katakan, begitu pandanganmu tentangku? Dengar, aku begini karena aku sangat mencintaimu. Aku bersikap seperti ini hanya di depanmu saja."

"Ya ya aku percaya, sudah sana pulanglah. Istrimu nanti menelpon lagi, dia sepertinya sangat khawatir denganmu." Sindirnya halus.

"Kau cemburu lagi?"

"Kenapa aku harus cemburu, katanya kau hanya mencintaiku. Kau tidak akan berpaling kan?"

"Kau benar."

"Baiklah, aku akan pulang." Sambungnya.

"Jangan mengebut kak, jarak darisini ke rumah Beverly cukup jauh. Ini sudah malam, aku takut kau mengantuk."

"Tidak akan."

Saat ia keluar dari rumah perempuan itu, seorang lelaki sudah menyambut dan membukakan pintu mobil untuknya.

"Anda sudah selesai Tuan Devan?"

"Ya, ayo kita pulang A."

Lelaki yang merupakan asisten pribadi pria tersebut bergumam dalam hati, seraya menengok dan memperhatikan rumah besar nan mewah tersebut. Apa yang akan dikatakan dunia kalau tahu lelaki terhormat seperti Tuannya baru saja mengunjungi rumah perempuan lain.

Yang orang tahu, bahwa Devan sudah memperistri seorang anak gadis dari salah satu pengusaha kaya di kota ini. Namun, entah apa yang akan terjadi kalau rahasia ini terbongkar.

Devan Anderson, lelaki matang yang penuh wibawa itu selalu mendapatkan kesan positif dari masyarakat. Ia tak rela kalau sang Tuan dicap negatif karena rahasia ini.

"Apa sebaiknya anda berhenti berkunjung kemari, Tuan?" Hati-hati ia bertanya agar tak menyinggung perasaan majikannya.

"Kau mau aku bersikap tidak adil, A? Dia juga bagian dari kehidupanku."

Pria yang dipanggil A itu tak dapat membalas perkataan Tuannya. Dia yang paling tahu bagaimana rumitnya kehidupan pria tersebut.

***

New York, Amerika

"Hmm, harum sekali. Aku yakin Devan akan suka." Bibir Beverly tertarik keatas, mengukir senyum bangga saat ia menghirup aroma wangi dari masakan yang dibuatnya. Tangan wanita itu cekatan memindahkan hidangan tersebut diatas piring.

Hari ini, perempuan berambut pirang itu tengah belajar memasak makanan Italia untuk suaminya. Jujur saja, Beverly tak pernah menyentuh alat masak atau menginjakkan kakinya di dapur. Sebagai putri salah satu orang terkaya tentunya ia terbiasa hidup layaknya putri raja. Tapi setelah dia menikah, Beverly sengaja tidak memperbolehkan pelayan tinggal disini karena beberapa alasan.

"Dev!" Panggilnya seraya mengukir senyum lebar saat melihat suaminya itu menuruni tangga seraya mengancingkan lengan jasnya.

Devan pun menghampiri istrinya itu sejenak untuk berpamitan.

"Aku akan pulang agak malam, tidak usah menungguku." Ucapnya tanpa ekspresi sebelum Beverly sempat berkata.

Beverly mengulas senyum simpul, tak menyurutkan tekadnya untuk meraih hati pria yang telah menjadi suaminya selama enam bulan itu. Tekadnya sudah bulat untuk meluluhkan dinding es tersebut.

"Baiklah, tidak apa. Tapi mari sarapan dulu. Aku sedang mencoba resep baru, masakan Italia. Kuharap kau menyukainya."

Devan melirik sekilas makanan yang tersaji di atas meja. Lalu menatap perempuan yang sejak tadi terus menyunggingkan senyum padanya.

"Kurasa kau tidak tahu kalau aku alergi keju."

"Apa? Jadi kau alergi keju." Perempuan itu membulatkan matanya terkejut. Sungguh ia belum tahu akan hal itu.

"Maaf, Dev. Aku tidak tahu. Baiklah, aku akan siapkan roti saja seperti biasa, tunggu sebentar ya?" Beverly hendak berbalik dan membuat roti seperti biasanya, namun Devan melarang.

"Tidak perlu, aku sudah terlambat." Pria itu melirik jam di pergelangan tangan.

"Ini masih pagi sekali, hanya beberapa menit saja." Bujuk perempuan itu. Ia tak mau Devan pergi dengan perut kosong karena tidak bisa makan masakan yang ia buat.

"Aku ada meeting pagi ini."

"Aku pergi." Sambung pria itu kemudian dan berlalu dari hadapan perempuan yang selama enam bulan terakhir menyandang status sebagai istrinya.

Beverly menatap kepergian suaminya dengan mata berkaca. Sungguh ia merasa menjadi istri yang tak becus sekarang. Memasak tidak bisa, bahkan ia tak tahu kalau suaminya punya alergi.

Beverly menatap nanar makanan yang susah payah ia buat sedari pagi dengan meniru resep yang ada di internet. Daripada membuang hasil usahanya, perempuan itu memutuskan menghabiskannya seorang diri.

***

Mobil keluaran negara mafia itu melaju pelan saat memasuki sebuah gerbang tinggi yang ada di rumah mewah tersebut.

Devan turun dari kendaraan roda empat itu seraya membenahi letak dasinya.

Saat ia mengetuk pintu, senyum sumringah perempuan cantik menyambutnya. Gadis berambut hitam panjang itu langsung mendekap tubuh kekar itu dan menghirup aromanya dalam. Aroma pria yang selalu bisa membuatnya tenang.

"Aku merindukanmu, kak." Cicitnya pelan dengan wajah yang masih tenggelam pada dada pria itu.

Devan mengulum senyum, wajahnya yang datar tampak lebih hangat daripada saat dirumah tadi. Disambut seperti ini selalu membuatnya merasa sangat diharapkan.

Dengan cekatan pria itu membuat tubuh perempuan itu berada dalam gendongannya. Menempel seperti koala dengan kaki yang melingkar pada pinggangnya.

Pria itu hendak merebahkan wanitanya di sofa, namun perempuan itu menggeleng pelan dan mendorong dada bidangnya pelan.

"Aku sudah siapkan makanan kak, ayo kita makan dulu." Ucapnya lalu turun dari gendongan pria itu.

Namun Devan menarik tangannya dan menariknya hingga terjatuh di sofa. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga perempuan tersebut.

"Aku mau memakanmu dulu." Bisiknya pelan. Hingga membuat bulu kuduk perempuan cantik itu berdiri.

Dengan mencebik kesal ia kembali mendorong dada Devan dan melipat kedua tangannya di dada.

"Tidak, aku marah padamu." Cebiknya.

Devan pun ikut duduk disampingnya. Memerhatikan wajah yang ditekuk kesal itu entah mengapa terlihat lucu di matanya.

"Kenapa? Apa aku berbuat salah?" Tanyanya tak mengerti. Namun wajahnya masih tanpa ekspresi.

"Tentu saja, kemarin kau janji untuk datang. Tapi sampai malam tidak datang juga." Ujarnya melampiaskan kekesalannya.

"Kau salah, aku datang saat kau sudah tidur." Sanggah lelaki itu dengan jujur. Karena semalam ia memang datang tapi mendapati perempuan itu sudah terlelap.

"Bohong."

"Aku bahkan mendengarmu mendengkur." Balas Devan.

"Ihh, aku tidak percaya." Kesalnya memukul manja lengan kekar pria itu.

"Bagaimana cara membuatmu percaya?"

"Ah, sudahlah. Ayo kita makan saja.nanti makanannya jadi dingin. Kakak juga harus bekerja kan?"

Mereka berbincang singkat setelah sarapan pagi itu hingga Devan harus segera pergi dan perempuan itu mengantarnya sampai pintu.

"Hati hati di jalan, kak. Aku akan menunggumu." Tangannya dengan cekatan membenahi dasi Devan yang agak dikendorkan saat makan tadi.

"Apa kau sudah selesai datang bulan?" Jawab pria itu malah membahas topik lain yang membuat perempuan cantik itu tersipu malu. Ia tahu arah pembicaraan pria itu.

Pelan, dia mengangguk dengan rona merah di pipinya.

Anggukan itu membuat bibir pria itu mengulas senyum tipis. "Bersiaplah malam ini."

"Ish, sudah sana pergi. Kerja cari uang yang banyak." Rona merah itu begitu menggemaskan di mata Devan.

Bibir Devan tersenyum tipis saat keluar dari rumah tersebut. Harinya selalu terasa lebih bersemangat setelah menemui istri pertamanya tersebut.

Ya, Devan telah menikahi Kinan satu tahun lalu. Sebelum pernikahannya dengan Beverly yang terjadi karena perintah dari ayahnya berlangsung. Jadi secara tak langsung Kinan adalah istri pertamanya.

Mungkin dunia mengenal Beverly sebagai satu-satunya satunya istri seorang Devan Anderson. Tapi kenyataannya, pria itu telah menikah diam-diam dengan gadis yang ia cinta.

Devan yang kala itu sudah jatuh cinta pada Kinan dan berjanji akan menikahi perempuan yang ia temui sewaktu masih berada di Indonesia. Pria itu pulang ke New York untuk memberitahu hubungannya dengan Kinan, tapi alangkah terkejutnya dia saat ternyata Daddy Arthur sudah mengatur pernikahan bisnis antara dia dan seorang putri dari pimpinan Light Technologies.

Devan yang selalu patuh pada ayahnya, tak bisa menolak perintah lelaki itu apalagi saat itu perusahaan memang harus bekerjasama dengan Light Technologies.

Namun sebagai lelaki, ia juga tak akan mengingkari janjinya pada perempuan yang ia cinta. Hingga akhirnya Devan dan Kinan mengambil sebuah keputusan besar agar mereka bisa tetap bersama.

****

"Halo, Vi." Kinan mengapit ponsel itu diantara bahu dan telinganya karena ia tengah membersihkan sisa makanan dan piring kotor.

"Yaampun Kinan! Akhirnya kau angkat teleponku juga. Kemana saja kau?" Suara cempreng itu membuat Kinan meringis karena menyakiti telinganya.

"Maaf, suamiku datang pagi ini. Aku sibuk mengurus dia." Jawabnya santai.

"Begitu ya, kalau sudah dengan suami tercinta sahabat sendiri dilupakan."

"Sudahlah jangan marah. Aku kan sudah minta maaf."

"Oke, karena aku sedang bahagia aku maafkan. Aku ada kabar baik."

"Apa itu?"

"Aku diterima di NYC hospital sebagai perawat. Kau tahukan untuk masuk kesana sangat susah."

"Ya Tuhan, selamat Vi. Akhirnya mimpimu kesampaian juga."

"Aku akan mengadakan pesta kecil malam ini. Datanglah."

Kinan berpikir sejenak, ia ingin datang tapi teringat kalau malam ini suaminya akan berkunjung. Dan ia teringat perkataan Devan sebelum berangkat bekerja.

"Maaf, Vi aku sepertinya tidak bisa datang."

"Oh, kau tidak ingin menyenangkan sahabatmu ini?"

"Bukan begitu, malam ini kak Devan akan datang. Dan dia sepertinya akan meminta itu. Aku baru selesai datang bulan, jadi-

"Ah ya sudahlah, layani suamimu dengan baik. Kita bisa rayakan lain kali. Aku mendukungmu. Jangan sampai ulat bulu itu punya celah untuk merebut hati Devan darimu."

****

"Dad, aku sudah menyiapkan bahan presentasi di depan perwakilan perusahaan Space Y. Daddy bisa mengeceknya."

"Berikan padaku." Arthur Anderson, yang merupakan pemilik perusahaan ini sekaligus ayah dari pria itu tampak mengecek beberapa dokumen yang dibawa putranya.

"Hebat." Satu kata pujian yang mungkin terdengar datar, namun bagi Devan sangat berharga.

"Kau memang yang terhebat kalau soal menyusun bahan presentasi yang bisa memikat klien. Daddy yakin, saat kau memaparkan rancangan perusahaan kita mereka tidak akan bisa memikirkan rancangan yang lain."

Devan tersenyum bangga.

"Seandainya Danzel sehebat dirimu dalam mengurus bisnis."

"Danzel juga hebat dalam mengelola bisnisnya di Indonesia."

Arthur menghela napas. Teringat putranya yang jauh disana. Seharusnya Danzel lah yang mengurus perusahaan ini, tapi lelaki itu tak cukup bisa diandalkan mengurus perusahaan sebesar Anderson Group.

"Tidak sehebat dirimu dalam mengelola Anderson Groub." Gumam pria itu pelan.

Devan keluar dari ruangan Arthur bersamaan dengan Atlas. Wajahnya nampak lebih segar. Devan memang selalu gembira ketika mendapat pujian dari sang ayah.

Atlas adalah sahabat Danzel adiknya yang sekarang bekerja sebagai asisten pribadi atau tangan kanannya. Jadi posisinya di perusahaan cukup tinggi.

"A, minta laporan keuangan bulan ini." Ucapnya pada Atlas.

Pria yang sedang berjalan sambil mencatat sesuatu pada ponselnya itu mengangguk sekilas.

"Baik, Tuan."

Walaupun Devan adalah kakak dari sahabatnya, namun Atlas tetap bersikap profesional.

Atlas dulunya tinggal di Indonesia, namun setelah konflik yang terjadi antara ia dan Danzel beserta istrinya hingga membuat lelaki itu gagal move on dari istri sahabatnya sendiri. Membuatnya menjadi pribadi yang lebih tertutup dan memutuskan untuk pindah ke Amerika. Dan karena beberapa kejadian di masa lalu, ia berakhir menjadi tangan kanan dari kakak orang yang membuatnya patah hati seperti ini.

"Oh, ya-" Devan menghentikan langkahnya tiba tiba hingga Atlas nyaris menabrak punggung pria itu.

"Jemput Kennyra siang ini, jangan sampai dia bertemu dengan pacar berandalnya itu." Titah Devan yang membuat Atlas menghela napas dan menggerutu dalam hati. Kini dia jadi harus menyiapkan kuping untuk menerima segala makian adik perempuan Devan tersebut.

"Baik, Tuan." Jawabnya pasrah.

"Ada beberapa berkas yang harus anda periksa dulu sebelum pulang."

"Aku akan membawanya ke rumah." Ucap Devan menghindari lembur. Karena ia sudah janji pada Kinan akan datang sore ini. Dia tak mau mengecewakan perempuan yang mengisi hatinya tersebut.

Saat dalam perjalanan menuju rumah istri yang disembunyikannya tersebut, ponsel pria itu kembali berdering. Menampilkan nama Beverly disana.

"Halo, sayang. Kau akan pulang jam berapa? Aku akan siapkan makanan untukmu."

"Mungkin aku akan pulang larut malam. Tidak usah menungguku."

Beverly di ujung sana menggerutu, Devan selalu saja bersikap dingin padanya. Tapi ia tak akan menyerah, apapun halangan nya, ia akan meraih hati suaminya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!