15. Bukan Prioritas Nomor Satu

"Kay, kau darimana saja? Kenapa kau tidak mengangkat telfonku?" Benda pipih itu ia tempelkan pada telinga ketika ia akhirnya berhasil menghubungi Kinan. Devan sekarang berada di koridor rumah sakit dengan alasan mau membeli makanan.

"Maaf kak, ponselku terjatuh kemarin ini baru saja diperbaiki." Jawab Kinan merasa bersalah ketika mendengar suara cemas sang suami.

"Beli saja yang baru." Sahut Devan.

"Tidak perlu, ini sudah bisa digunakan sekarang."

"Bagaimana makan malam keluarga kemarin?" Tak dapat dipungkiri Kinan begitu penasaran akan apa yang terjadi dalam pertemuan keluarga kemarin malam, semalam ia tak dapat menghubungi sang suami dan alhasil sulit tidur karena penasaran.

"Danzel dengan istri dan anaknya datang ke New York, itu sebabnya mama menyuruh semua keluarga berkumpul." Balas Devan.

"Danzel adikmu yang paling kecil itu?"

"Iya."

"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?" Tanya Kinan masih penasaran.

Namun Devan memikirkan hal lain, dia tengah menyusun kata untuk memberitahu sang istri kalau Beverly ternyata sudah mengetahui hubungan keduanya.

"Kinan." Panggil lelaki itu dengan nada serius. Kinan seketika bungkam di seberang sana, ia tahu sang suami akan mengatakan sesuatu yang penting dan serius tentang pertemuan kemarin.

"Ada apa, Kak? Sesuatu yang buruk terjadi?"

Kinan di seberang sana menegang, cara Devan memanggil namanya seolah ada sesuatu yang membuat suaminya itu gelisah. Kinan hafal sekali dengan nada bicara lelaki tersebut walau tidak melihat ekspresi wajahnya sekalipun.

"Beverly sudah tahu tentang hubungan kita."

Kinan tersentak. Dadanya berdetak lebih cepat, ia bahkan hampir menjatuhkan ponsel yang dipegangnya.

"Ba-bagaimana bisa, Kak?" Kinan masih tercengang mendengar kabar tersebut, ia mulai mengkhawatirkan kelanjutan hubungannya dengan Devan.

Dengan menjalani pernikahan rahasia ini setidaknya ia dapat terus bersama pria itu, namun entah apa jadinya kalau sekarang istri Devan yang lain mengetahui hubungan rahasia keduanya.

"Dia menyuruh seseorang mengikutiku saat datang ke rumahmu."

"Kak, bagaimana ini?. Apa dia mengadu pada daddy, kalau itu terjadi maka-"

Nada bicara Kinan terdengar begitu cemas dan ketakutan.

"Tenanglah sayang, jangan panik seperti itu. Dia tidak mengadukan apapun pada daddy ataupun ayahnya."

"Apa dia tahu kalau kita sudah menikah?" Tanya Kinan kemudian.

"Tidak, dan jangan sampai dia tahu. Setidaknya sampai beberapa waktu yang akan datang. Kalau dia tahu sekarang, maka kerjasama dengan Light Technologies jelas akan hancur. Dan daddy akan sangat kecewa padaku."

Sekelebat bayangan raut kecewa Arthur melintas di kepala Devan, ia tak sanggup melihat pria yang selama ini selalu bangga karena pencapaiannya kecewa karena proyek besar yang diidamkan gagal. Devan benar - benar tak sanggup akan hal itu.

Pria itu begitu terobsesi dengan rasa bangga Arthur padanya, dengan harapan sang ayah akan memberikan kasih sayang penuh yang tak pernah ia dapat sedari kecil.

"Iya, aku tahu kalau Daddy akan kecewa." Perempuan itu memejamkan matanya singkat hingga air mata itu turun melewati pipi mulusnya. Dia harus terima, kalau dirinya bukan prioritas nomor satu Devan, ada hal lain yang dianggap lebih penting bagi pria itu.

"Maafkan aku, Kay."

"Tidak masalah, kita akan jalani pilihan yang sudah kita ambil." Kinan mengusap air mata yang membingkai wajahnya, dia tidak mau menjadi lemah. Ini adalah resiko yang harus dihadapi atas keputusan yang mereka ambil.

"Apa kau sedang ada di kantor sekarang?" Tanya Kinan mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku berada dirumah sakit. Beverly demam tinggi tadi pagi lalu aku membawanya kemari, terpaksa aku harus bekerja dari jauh."

Hati Kinan tercubit mendengar hal itu, entah mengapa ia merasa cemburu saat tahu Devan yang notabenenya gila bekerja rela tidak masuk kantor karena Beverly.

Apakah Kak Devan mulai mencintai Beverly?

"Kay?" Suara Devan membuyarkan lamunan perempuan tersebut, ia berusaha keras menepis prasangka buruk dalam benaknya dan meyakinkan diri bahwa Devan hanya mencintainya seorang. Bukan wanita lain.

"Kita bicara nanti ya, aku akan menghubungimu lagi." Sambung lelaki itu kemudian. Kinan mengiyakan dan segera menutup sambungan telepon tersebut.

Perempuan itu mengatur napas agar menetralkan rasa sedih, takut dan cemas dalam hatinya. Pikiran Kinan berkelana kemana - mana.

"Halo, Ki. Ada apa menghubungiku? Aku sedang bekerja."

Dalam satu kali percobaan panggilan telepon Kinan langsung terhubung dengan Vivi yang saat itu tengah disibukan dengan beberapa pasien yang harus ia rawat.

"Beverly sudah tahu tentang hubunganku dan Kak Devan, Vi."

"Apa?! Itu bagus." Seru Vivi diseberang sana dengan suara girang yang membuat Kinan heran dengan temannya tersebut.

"Bagus apanya?!" Ucapnya setengah berteriak.

"Tentu saja bagus, pasti setelah itu mereka akan bercerai, kan? Ulat bulu itu pasti marah besar dan mengadu pada orang tuanya lalu menggugat cerai Devan." Ucap perempuan itu dengan santai.

"Kau salah, Vi. Beverly sama sekali tidak menginginkan perpisahan."

"Aneh sekali, kenapa dia malah bersikap begitu?"

"Mana aku tahu, itulah yang dikatakan suamiku."

"Ini sungguh aneh, pasti dia merencanakan sesuatu. Begini saja, aku akan datang ke rumahmu nanti sekarang aku harus bekerja."

"Baiklah, bye."

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!