Kedua bibir itu saling bertaut. Ditengah keheningan malam, seorang pria dan wanita itu tampak tengah bercumbu mesra dibawah cahaya rembulan. Lenguhan terdengar saling bersahutan.
"Eugh, pelan - pelan kak."
Hingga adegan intim mereka terintimidasi oleh dering telepon yang tiba-tiba terdengar.
"Kak, ada telepon."
Ucapan itu tak menghentikan apa yang tengah mereka lakukan. Lelaki itu terus mereguk manisnya tubuh itu seolah tak pernah puas.
"Angkat dulu." Ucap sang wanita mendorong dada bidang itu pelan.
Terpaksa ia mengangkat panggilan yang menginterupsi mereka, beberapa saat kemudian terdengar suara wanita diseberang sana.
"Baiklah, aku akan pulang sebentar lagi, ada banyak pekerjaan di kantor."
Lantas pria itu meletakkan ponselnya diatas ranjang ketika panggilan itu terputus.
"Kenapa kak?" Tanya perempuan tersebut.
"Tidak ada." Jawabnya singkat.
"Mau lanjut yang tadi?" Godanya.
"Kenapa harus bertanya." Sahut pria itu hendak kembali melanjutkan aksinya.
"Sayang sekali, aku belum selesai datang bulan." Ujarnya lalu terkekeh pelan ketika mendapati wajah kecewa dari sang pria.
"Kenapa tidak bilang dari tadi, kau sudah membangunkan dia." Pandangannya melirik pada bagian bawah tubuhnya yang sudah meronta. Tak sabar mau menyalurkan hasratnya namun apa daya kalau lawannya belum siap diajak bertempur.
"Kau tidak memberiku kesempatan bicara." Ujar perempuan itu.
"Bersabarlah, sebentar lagi akan selesai." Mengelus dada bidang lelaki berwajah tampan itu dengan pelan.
"Bagaimana dengan besok lusa?"
"Baiklah." Ucapnya pasrah. Ia tak akan pernah bisa menolak untuk melayani lelaki yang amat ia cinta.
Lantas lelaki itu kembali melumat bibir ranum itu untuk terakhir kali sebelum ia beralih ke kaca dan membenahi pakaiannya yang berantakan.
"Kenapa kau tampak tak sabar, kak?" Tanya perempuan tersebut seraya mengancingkan jas prianya.
"Beberapa hari ini pekerjaan di kantor sedikit membuatku pusing."
"Itu sebabnya kau tidak sabaran?"
Lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Namun anggukan itu membuat sang wanita salah paham.
"Jadi aku hanya sekedar pelepasanmu saja."
"Apa yang kau katakan, begitu pandanganmu tentangku? Dengar, aku begini karena aku sangat mencintaimu. Aku bersikap seperti ini hanya di depanmu saja."
"Ya ya aku percaya, sudah sana pulanglah. Istrimu nanti menelpon lagi, dia sepertinya sangat khawatir denganmu." Sindirnya halus.
"Kau cemburu lagi?"
"Kenapa aku harus cemburu, katanya kau hanya mencintaiku. Kau tidak akan berpaling kan?"
"Kau benar."
"Baiklah, aku akan pulang." Sambungnya.
"Jangan mengebut kak, jarak darisini ke rumah Beverly cukup jauh. Ini sudah malam, aku takut kau mengantuk."
"Tidak akan."
Saat ia keluar dari rumah perempuan itu, seorang lelaki sudah menyambut dan membukakan pintu mobil untuknya.
"Anda sudah selesai Tuan Devan?"
"Ya, ayo kita pulang A."
Lelaki yang merupakan asisten pribadi pria tersebut bergumam dalam hati, seraya menengok dan memperhatikan rumah besar nan mewah tersebut. Apa yang akan dikatakan dunia kalau tahu lelaki terhormat seperti Tuannya baru saja mengunjungi rumah perempuan lain.
Yang orang tahu, bahwa Devan sudah memperistri seorang anak gadis dari salah satu pengusaha kaya di kota ini. Namun, entah apa yang akan terjadi kalau rahasia ini terbongkar.
Devan Anderson, lelaki matang yang penuh wibawa itu selalu mendapatkan kesan positif dari masyarakat. Ia tak rela kalau sang Tuan dicap negatif karena rahasia ini.
"Apa sebaiknya anda berhenti berkunjung kemari, Tuan?" Hati-hati ia bertanya agar tak menyinggung perasaan majikannya.
"Kau mau aku bersikap tidak adil, A? Dia juga bagian dari kehidupanku."
Pria yang dipanggil A itu tak dapat membalas perkataan Tuannya. Dia yang paling tahu bagaimana rumitnya kehidupan pria tersebut.
***
New York, Amerika
"Hmm, harum sekali. Aku yakin Devan akan suka." Bibir Beverly tertarik keatas, mengukir senyum bangga saat ia menghirup aroma wangi dari masakan yang dibuatnya. Tangan wanita itu cekatan memindahkan hidangan tersebut diatas piring.
Hari ini, perempuan berambut pirang itu tengah belajar memasak makanan Italia untuk suaminya. Jujur saja, Beverly tak pernah menyentuh alat masak atau menginjakkan kakinya di dapur. Sebagai putri salah satu orang terkaya tentunya ia terbiasa hidup layaknya putri raja. Tapi setelah dia menikah, Beverly sengaja tidak memperbolehkan pelayan tinggal disini karena beberapa alasan.
"Dev!" Panggilnya seraya mengukir senyum lebar saat melihat suaminya itu menuruni tangga seraya mengancingkan lengan jasnya.
Devan pun menghampiri istrinya itu sejenak untuk berpamitan.
"Aku akan pulang agak malam, tidak usah menungguku." Ucapnya tanpa ekspresi sebelum Beverly sempat berkata.
Beverly mengulas senyum simpul, tak menyurutkan tekadnya untuk meraih hati pria yang telah menjadi suaminya selama enam bulan itu. Tekadnya sudah bulat untuk meluluhkan dinding es tersebut.
"Baiklah, tidak apa. Tapi mari sarapan dulu. Aku sedang mencoba resep baru, masakan Italia. Kuharap kau menyukainya."
Devan melirik sekilas makanan yang tersaji di atas meja. Lalu menatap perempuan yang sejak tadi terus menyunggingkan senyum padanya.
"Kurasa kau tidak tahu kalau aku alergi keju."
"Apa? Jadi kau alergi keju." Perempuan itu membulatkan matanya terkejut. Sungguh ia belum tahu akan hal itu.
"Maaf, Dev. Aku tidak tahu. Baiklah, aku akan siapkan roti saja seperti biasa, tunggu sebentar ya?" Beverly hendak berbalik dan membuat roti seperti biasanya, namun Devan melarang.
"Tidak perlu, aku sudah terlambat." Pria itu melirik jam di pergelangan tangan.
"Ini masih pagi sekali, hanya beberapa menit saja." Bujuk perempuan itu. Ia tak mau Devan pergi dengan perut kosong karena tidak bisa makan masakan yang ia buat.
"Aku ada meeting pagi ini."
"Aku pergi." Sambung pria itu kemudian dan berlalu dari hadapan perempuan yang selama enam bulan terakhir menyandang status sebagai istrinya.
Beverly menatap kepergian suaminya dengan mata berkaca. Sungguh ia merasa menjadi istri yang tak becus sekarang. Memasak tidak bisa, bahkan ia tak tahu kalau suaminya punya alergi.
Beverly menatap nanar makanan yang susah payah ia buat sedari pagi dengan meniru resep yang ada di internet. Daripada membuang hasil usahanya, perempuan itu memutuskan menghabiskannya seorang diri.
***
Mobil keluaran negara mafia itu melaju pelan saat memasuki sebuah gerbang tinggi yang ada di rumah mewah tersebut.
Devan turun dari kendaraan roda empat itu seraya membenahi letak dasinya.
Saat ia mengetuk pintu, senyum sumringah perempuan cantik menyambutnya. Gadis berambut hitam panjang itu langsung mendekap tubuh kekar itu dan menghirup aromanya dalam. Aroma pria yang selalu bisa membuatnya tenang.
"Aku merindukanmu, kak." Cicitnya pelan dengan wajah yang masih tenggelam pada dada pria itu.
Devan mengulum senyum, wajahnya yang datar tampak lebih hangat daripada saat dirumah tadi. Disambut seperti ini selalu membuatnya merasa sangat diharapkan.
Dengan cekatan pria itu membuat tubuh perempuan itu berada dalam gendongannya. Menempel seperti koala dengan kaki yang melingkar pada pinggangnya.
Pria itu hendak merebahkan wanitanya di sofa, namun perempuan itu menggeleng pelan dan mendorong dada bidangnya pelan.
"Aku sudah siapkan makanan kak, ayo kita makan dulu." Ucapnya lalu turun dari gendongan pria itu.
Namun Devan menarik tangannya dan menariknya hingga terjatuh di sofa. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga perempuan tersebut.
"Aku mau memakanmu dulu." Bisiknya pelan. Hingga membuat bulu kuduk perempuan cantik itu berdiri.
Dengan mencebik kesal ia kembali mendorong dada Devan dan melipat kedua tangannya di dada.
"Tidak, aku marah padamu." Cebiknya.
Devan pun ikut duduk disampingnya. Memerhatikan wajah yang ditekuk kesal itu entah mengapa terlihat lucu di matanya.
"Kenapa? Apa aku berbuat salah?" Tanyanya tak mengerti. Namun wajahnya masih tanpa ekspresi.
"Tentu saja, kemarin kau janji untuk datang. Tapi sampai malam tidak datang juga." Ujarnya melampiaskan kekesalannya.
"Kau salah, aku datang saat kau sudah tidur." Sanggah lelaki itu dengan jujur. Karena semalam ia memang datang tapi mendapati perempuan itu sudah terlelap.
"Bohong."
"Aku bahkan mendengarmu mendengkur." Balas Devan.
"Ihh, aku tidak percaya." Kesalnya memukul manja lengan kekar pria itu.
"Bagaimana cara membuatmu percaya?"
"Ah, sudahlah. Ayo kita makan saja.nanti makanannya jadi dingin. Kakak juga harus bekerja kan?"
Mereka berbincang singkat setelah sarapan pagi itu hingga Devan harus segera pergi dan perempuan itu mengantarnya sampai pintu.
"Hati hati di jalan, kak. Aku akan menunggumu." Tangannya dengan cekatan membenahi dasi Devan yang agak dikendorkan saat makan tadi.
"Apa kau sudah selesai datang bulan?" Jawab pria itu malah membahas topik lain yang membuat perempuan cantik itu tersipu malu. Ia tahu arah pembicaraan pria itu.
Pelan, dia mengangguk dengan rona merah di pipinya.
Anggukan itu membuat bibir pria itu mengulas senyum tipis. "Bersiaplah malam ini."
"Ish, sudah sana pergi. Kerja cari uang yang banyak." Rona merah itu begitu menggemaskan di mata Devan.
Bibir Devan tersenyum tipis saat keluar dari rumah tersebut. Harinya selalu terasa lebih bersemangat setelah menemui istri pertamanya tersebut.
Ya, Devan telah menikahi Kinan satu tahun lalu. Sebelum pernikahannya dengan Beverly yang terjadi karena perintah dari ayahnya berlangsung. Jadi secara tak langsung Kinan adalah istri pertamanya.
Mungkin dunia mengenal Beverly sebagai satu-satunya satunya istri seorang Devan Anderson. Tapi kenyataannya, pria itu telah menikah diam-diam dengan gadis yang ia cinta.
Devan yang kala itu sudah jatuh cinta pada Kinan dan berjanji akan menikahi perempuan yang ia temui sewaktu masih berada di Indonesia. Pria itu pulang ke New York untuk memberitahu hubungannya dengan Kinan, tapi alangkah terkejutnya dia saat ternyata Daddy Arthur sudah mengatur pernikahan bisnis antara dia dan seorang putri dari pimpinan Light Technologies.
Devan yang selalu patuh pada ayahnya, tak bisa menolak perintah lelaki itu apalagi saat itu perusahaan memang harus bekerjasama dengan Light Technologies.
Namun sebagai lelaki, ia juga tak akan mengingkari janjinya pada perempuan yang ia cinta. Hingga akhirnya Devan dan Kinan mengambil sebuah keputusan besar agar mereka bisa tetap bersama.
****
"Halo, Vi." Kinan mengapit ponsel itu diantara bahu dan telinganya karena ia tengah membersihkan sisa makanan dan piring kotor.
"Yaampun Kinan! Akhirnya kau angkat teleponku juga. Kemana saja kau?" Suara cempreng itu membuat Kinan meringis karena menyakiti telinganya.
"Maaf, suamiku datang pagi ini. Aku sibuk mengurus dia." Jawabnya santai.
"Begitu ya, kalau sudah dengan suami tercinta sahabat sendiri dilupakan."
"Sudahlah jangan marah. Aku kan sudah minta maaf."
"Oke, karena aku sedang bahagia aku maafkan. Aku ada kabar baik."
"Apa itu?"
"Aku diterima di NYC hospital sebagai perawat. Kau tahukan untuk masuk kesana sangat susah."
"Ya Tuhan, selamat Vi. Akhirnya mimpimu kesampaian juga."
"Aku akan mengadakan pesta kecil malam ini. Datanglah."
Kinan berpikir sejenak, ia ingin datang tapi teringat kalau malam ini suaminya akan berkunjung. Dan ia teringat perkataan Devan sebelum berangkat bekerja.
"Maaf, Vi aku sepertinya tidak bisa datang."
"Oh, kau tidak ingin menyenangkan sahabatmu ini?"
"Bukan begitu, malam ini kak Devan akan datang. Dan dia sepertinya akan meminta itu. Aku baru selesai datang bulan, jadi-
"Ah ya sudahlah, layani suamimu dengan baik. Kita bisa rayakan lain kali. Aku mendukungmu. Jangan sampai ulat bulu itu punya celah untuk merebut hati Devan darimu."
****
"Dad, aku sudah menyiapkan bahan presentasi di depan perwakilan perusahaan Space Y. Daddy bisa mengeceknya."
"Berikan padaku." Arthur Anderson, yang merupakan pemilik perusahaan ini sekaligus ayah dari pria itu tampak mengecek beberapa dokumen yang dibawa putranya.
"Hebat." Satu kata pujian yang mungkin terdengar datar, namun bagi Devan sangat berharga.
"Kau memang yang terhebat kalau soal menyusun bahan presentasi yang bisa memikat klien. Daddy yakin, saat kau memaparkan rancangan perusahaan kita mereka tidak akan bisa memikirkan rancangan yang lain."
Devan tersenyum bangga.
"Seandainya Danzel sehebat dirimu dalam mengurus bisnis."
"Danzel juga hebat dalam mengelola bisnisnya di Indonesia."
Arthur menghela napas. Teringat putranya yang jauh disana. Seharusnya Danzel lah yang mengurus perusahaan ini, tapi lelaki itu tak cukup bisa diandalkan mengurus perusahaan sebesar Anderson Group.
"Tidak sehebat dirimu dalam mengelola Anderson Groub." Gumam pria itu pelan.
Devan keluar dari ruangan Arthur bersamaan dengan Atlas. Wajahnya nampak lebih segar. Devan memang selalu gembira ketika mendapat pujian dari sang ayah.
Atlas adalah sahabat Danzel adiknya yang sekarang bekerja sebagai asisten pribadi atau tangan kanannya. Jadi posisinya di perusahaan cukup tinggi.
"A, minta laporan keuangan bulan ini." Ucapnya pada Atlas.
Pria yang sedang berjalan sambil mencatat sesuatu pada ponselnya itu mengangguk sekilas.
"Baik, Tuan."
Walaupun Devan adalah kakak dari sahabatnya, namun Atlas tetap bersikap profesional.
Atlas dulunya tinggal di Indonesia, namun setelah konflik yang terjadi antara ia dan Danzel beserta istrinya hingga membuat lelaki itu gagal move on dari istri sahabatnya sendiri. Membuatnya menjadi pribadi yang lebih tertutup dan memutuskan untuk pindah ke Amerika. Dan karena beberapa kejadian di masa lalu, ia berakhir menjadi tangan kanan dari kakak orang yang membuatnya patah hati seperti ini.
"Oh, ya-" Devan menghentikan langkahnya tiba tiba hingga Atlas nyaris menabrak punggung pria itu.
"Jemput Kennyra siang ini, jangan sampai dia bertemu dengan pacar berandalnya itu." Titah Devan yang membuat Atlas menghela napas dan menggerutu dalam hati. Kini dia jadi harus menyiapkan kuping untuk menerima segala makian adik perempuan Devan tersebut.
"Baik, Tuan." Jawabnya pasrah.
"Ada beberapa berkas yang harus anda periksa dulu sebelum pulang."
"Aku akan membawanya ke rumah." Ucap Devan menghindari lembur. Karena ia sudah janji pada Kinan akan datang sore ini. Dia tak mau mengecewakan perempuan yang mengisi hatinya tersebut.
Saat dalam perjalanan menuju rumah istri yang disembunyikannya tersebut, ponsel pria itu kembali berdering. Menampilkan nama Beverly disana.
"Halo, sayang. Kau akan pulang jam berapa? Aku akan siapkan makanan untukmu."
"Mungkin aku akan pulang larut malam. Tidak usah menungguku."
Beverly di ujung sana menggerutu, Devan selalu saja bersikap dingin padanya. Tapi ia tak akan menyerah, apapun halangan nya, ia akan meraih hati suaminya.
“A, kau mau kemana?” Seorang wanita dengan dress kerja selutut itu menghampiri Atlas. Pria itu tersenyum tipis.
“Tuan Devan menyuruhku menjemput Kennyra.”
“Ah, pasti Kenny pergi dengan pacarnya itu lagi.” Sahut Krystal.
Krystal juga adalah adik Devan. Pria itu punya tiga adik yaitu Krystal, Kennyra dan yang terakhir adalah Danzel.
Atlas mengangguk menanggapi perempuan itu.
“A, aku dapat undangan pesta dari Mr.Arnold malam ini. Tapi aku sendiri, mau datang bersamaku?” Tawarnya dengan senyum mengembang.
Atlas mengangguk singkat. “Baiklah.”
Setelah itu Atlas melangkah pergi darisana untuk menuju basement, menjalankan titah Devan untuk menjemput adiknya yang lain.
Pandangan Ksrystal mengikuti punggung pria tersebut sampai menghilang dibalik pintu. Senyum samar tercipta di bibirnya.
'Atlas sangat tampan tapi sayang dia cukup sulit didekati.'
***
“Setelah lulus kuliah kamu akan kerja dimana?” Tanya Atlas mengusir canggung.
“Aku tidak tahu.” Jawab Kennyra cuek, ia masih kesal karena kencannya dengan Brandon batal. Dan itu semua karena pria menyebalkan disampingnya. Entah bagaimana kakaknya bisa mempekerjakan Atlas sebagai tangan kanannya.
“Bekerjalah di tempat keluargamu,itu lebih baik.”
“Kenapa kau peduli aku kerja dimana.”
“Supaya aku bisa terus mengawasi mu dari jarak dekat. Jadi Tuan Devan tidak akan menyuruhku mengawasimu sepanjang saat. Itu menambah pekerjaanku.”
Kennyra mencebik kesal.
“Kau menyebalkan kak! Turunkan aku disini, aku mau pergi dengan Brandon!” Pekik gadis itu.
“Dia bukan pria baik.”
“Aku tidak peduli, turunkan aku!”
Dan sekeras apapun ia teriak dan meronta, Atlas tetap pada tugasnya untuk mengantarkan Kennyra ke mansion Anderson dengan selamat.
Setelah lelah meronta, Kenny melipat tangannya di dada dan merengut. Tubuhnya bersandar pada kursi mobil dan menatap nyalang pada pria menyebalkan di sebelahnya. Pria yang selalu merecoki kehidupannya selama ini.
Ditengah kejengkelannya itu, sebuah ide cemerlang muncul begitu saja. Ia berniat merecoki Atlas agar pria itu sendiri yang kerepotan dan akhirnya menjauh darinya.
Sebab ia tahu betul tipe perempuan seperti apa yang membuat lelaki itu menjauh dan ilfeel.
“Kak.” Panggil Kenny. Atlas hanya berdehem tanpa menoleh.
“Aku tidak boleh pacaran dengan Brandon kan?” Tanya Kenny dengan senyum licik di wajahnya.
Atlas mengangguk. “Ya.” Jawabnya singkat.
Dan gadis nakal itu semakin melebarkan senyumnya.
“Kenapa?”
“Tuan Devan melarang, menurutnya dia bukan pria baik.” Sahut pria itu apa adanya, mulai mencium hal tidak beres ketika melirik senyum licik gadis tersebut.
“Oke, kalau begitu aku pacaran denganmu saja. Kak Devan pasti akan setuju.” Ucap Kenny dengan sumringah. Membuat Atlas sontak menghentikan mobil itu.
****
Pukul enam sore pria itu kembali mendatangi rumah istri pertamanya. Dan seperti biasa, saat ia membuka pintu Kinan sudah menyambutnya dengan senyum sumringah. Dan hal itu selalu membuat Devan merasa diharapkan dan ditunggu kehadirannya.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini, kak?” Kinan bertanya saat pasangan suami istri itu sudah duduk berdampingan di sofa. Kinan mendekatkan dirinya dan menghirup aroma tubuh suaminya sepulang kerja yang entah mengapa selalu menjadi kebiasaannya.
“Daddy merasa puas dengan bahan presentasi yang kubuat untuk rapat beberapa hari lagi.” Jawabnya seraya mengusap kepala perempuan itu. Mendekatkan wajahnya dan meraup bibir ranum tersebut.
Suara decapan terdengar saat pertautan keduanya terlepas. Kinan mengelus lembut rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu.
“Kau pasti sangat bahagia kan?” Tanyanya tersenyum tulus. Satu tahun menikah diam-diam dengan pria itu, Kinan sangat paham bahwa Devan akan tersenyum karena dua hal. Pertama saat sedang bersamanya, dan yang paling utama suaminya akan pulang dengan senyum mengembang kalau ia habis dipuji oleh daddy Arthur.
Mungkin wajah pria itu tak menunjukan apapun. Tapi Kinan paham dalam hatinya Devan begitu menginginkan kasih sayang Arthur. Hingga pria itu akan merasa bangga dan lega saat berhasil memenuhi semua ekspektasi ayahnya tersebut.
“Bisa aku dapat hadiahku?” Tangan lelaki itu mulai menelusuri pinggang ramping yang menempel pada tubuh kekarnya. Kinan menepuk tangan nakal itu. Ia paham Devan tak sabar karena sudah enam hari puasa tak menyalurkan hasratnya. Tapi ia masih ingin mengobrol hangat dengan pria itu. Kalau langsung ke intinya maka mereka pasti akan kelelahan dan tidur.
“Kau baru saja datang kak, nanti saja. Aku masih merindukanmu.” Ucapnya manja dan menggesekkan wajahnya pada dada pria itu. Devan melabuhkan kecupan mesra pada puncak kepalanya. Pria itu paham dan akhirnya kedua insan itu saling menceritakan kegiatan yang mereka lakukan seharian ini.
Sampai Kinan mendongak dan bertanya akan suatu hal yang cukup sensitif saat mereka sedang berduaan seperti saat ini.
“Kak, apa nona Beverly tidak curiga kalau kau selalu pulang malam?” Tanya Kinan dengan pelan dan ragu. Jemarinya memainkan kancing kemeja Devan untuk mengusir rasa mengganjal pada hatinya.
Devan menyentuh dagu perempuan itu hingga mata mereka saling bersitatap.
“Apa yang kau khawatirkan?”
“Bagaimana kalau dia nanti curiga dengan hubungan kita?”
“Kau terlalu banyak berpikir. Jangan membebani dirimu, biarlah aku saja yang memikirkan semuanya.”
Dan jawaban Devan itu tak membuat Kinan menjadi lega.
“Tapi Kak-“ Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya tapi pria itu sudah meraup bibir yang banyak bicara itu. Seolah tak ingin Kinan membahas hubungan rumit mereka dengan Beverly.
Kedua bibir itu saling bertaut, mencari celah masuk lebih dalam. Dengan tangan yang aktif bergerak menggoda tubuh istrinya itu. Lelaki itu memberikan jeda sejenak untuk keduanya menghirup oksigen, lalu kembali melancarkan aksinya. Hingga ia sudah tak tahan dan akhirnya menggendong istrinya bridal style menuju kamar mereka.
Kinan memekik kecil saat suamimya menjatuhkannya diatas ranjang. Kabut gairah sangat kentara menyelimuti netra pria itu. Mungkin ini efek enam hari tidak mengeluarkan hasartnya, sehingga saat ini ia menggebu-gebu.
“Kak.” Rintih perempuan itu saat sesuatu aktif menggoda bagian bawah tubuhnya dibawah sana. Devan menyunggingkan senyum tipis dan memulai aksinya.
Selama dua jam lebih kedua insan itu saling menyalurkan gairah dalam diri keduanya. Menciptakan suara-suara merdu di tengah keheningan malam.
Ciuman bertubi-tubi ia berikan pada wajah lelah perempuan itu. Kinan hanya mampu memejamkan mata dan mengatur napasnya yang masih terengah saat pria yang masih ada diatas tubuhnya itu mencumbunya.
“Sudah kak, aku tidak sanggup.” Pelan ia mendorong dada bidang pria itu dengan sisa tenaganya. Hingga suaminya itu berbaring disebelahnya dan mendekapnya erat.
“Istirahatlah, aku akan menemanimu sampai tidur.” Ucapnya menenggelamkan kepala Kinan pada dadanya yang masih berbalur keringat hasil kerja keras mereka.
Kinan menggeseknya wajahnya dan mencari kenyamanan pada tubuh suaminya. Karena kelelahan, tak lama kemudian kedua mata itu sudah terpejam sempurna. Perempuan berambut hitam itu telah terbang ke alam mimpi.
Devan sedikit mengendurkan pelukannya dan menatap wajah tenang Kinan yang terlelap. Entah mengapa, ia sangat senang memandang wajah perempuan itu yang tengah tertidur. Terasa sangat damai. Andai saja ia bisa disini lebih lama. Namun ia harus segera pulang.
Perlahan agar tak membangunkan sang istri, lelaki jangkung itu meninggalkan ranjang. Beralih menuju lemari pakaian. Dan saat ia membukanya, puluhan pakaian pria tersusun rapi didalam sana. Juga beberapa dress wanita disampingnya. Memang sengaja disediakan banyak pakaian Devan disini.
Namun pria itu urung saat akan mengambil salah satu kemeja. Ia meletakan kembali pakaian itu di tempatnya. Memilih memungut kemejanya yang ia pakai seharian ini dan pastinya sudah kotor.
Dengan cepat ia memakai pakaian itu. Devan pun mendekati ranjang dan menatap istrinya yang sudah pulas. Tangannya membetulkan letak selimut agar sempurna menutup tubuh tanpa sehelai benang itu. Lalu lelaki tersebut keluar dari kamar dan menutup pintu dengan sangat pelan.
Kedua mata Beverly berulang kali menengok jam digital yang tertempel di dinding. Perempuan itu beberapa kali tampak mengusap matanya yang mulai memerah. Sebenarnya ia sangat lelah karena belajar memasak seharian ini untuk menebus kesalahannya tadi pagi. Dan malam ini perempuan berambut pirang itu sudah berdandan dengan sangat cantik, makanan juga sudah tersedia di atas meja. Tinggal menunggu suaminya pulang saja.
Senyuman perempuan itu mengembang sempurna saat ia mendengar suara pintu terbuka. Dengan antusias ia menyambut Devan yang baru saja pulang dari kantornya.
“Dev, kau sudah pulang?”Tanya Beverly seraya mendekat pada suaminya.
Dev tersenyum simpul dan mengangguk. Raut wajahnya tak menunjukkan kebahagiaan seperti saat Kinan menyambutnya pulang. Hubungan keduanya fak sedekat itu.
Dan keduanya memang sudah mengetahui konsekuensi dari pernikahan ini. Beverly juga tahu kalau hubungannya dengan Devan adalah pernikahan bisnis semata. Tapi wanita itu tak pernah menyerah mengejar cinta Devan. Sebab pertama kali melihat pria itu, Beverly sudah jatuh cinta pada pesona pria matang tersebut.
“Aku sudah siapkan makan malam. Tenang saja, kali ini tidak ada keju.” Ucapnya riang seraya menarik tangan pria itu mendekati meja makan.
Dev tak punya pilihan lain saat melihat hidangan yang tersaji diatas meja. Ia sangat lapar setelah menguras tenaga dengan istri pertamanya beberapa saat lalu. Kini butuh asupan tenaga.
Beverly mengambilkan beberapa lauk diatas piring suamimya. Belakangan ini ia suka sekali mencoba beberapa resep baru. Dan walaupun sebagian besar rasa masakannya aneh, tapi ia bertekad akan terus belajar sampai Devan memuji masakannya.
“Selamat makan.” Ucapnya lembut dan menyodorkan piring yang sudah penuh itu ke hadapan Devan.
Devan mencoba memasukan satu suapan kedalam mulutnya. Merasakan makanan itu. Ia bergumam dalam hati. Rasa yang terasa aneh di lidahnya. Masakan Kinan masih belum ada yang menandingi. Namun karena melihat mata berbinar Beverly yang menatapnya sedari tadi membuatnya hanya berdehem kecil.
“Bagaimana Dev? Apa rasanya enak?” Mata Beverly berbinar, menunggu pujian dari Devan.
“Ini tidak buruk, tapi kau tidak perlu repot-repot memasak seperti ini.” Jawaban jujur itu membuat hati Beverly mencelos. Itu artinya masakannya masih jauh dari kata enak. Buktinya Devan tidak mau lagi ia masakan.
Bev meremat tangannya dibawah sana.
“Aku akan belajar lagi Dev, aku akan terus memasak untukmu.”
Devan menatap wanita cantik itu. Ia tahu sebagai putri pimpinan Light Technologies, Beverly terbiasa dilayani. Apapun yang ia minta akan ada dalam sekejap. Tapi kini perempuan itu harus susah payah melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Dev tak ingin wanita itu kesusahan karena melayaninya.
“Kau tidak terbiasa melakukan ini, jadi kenapa menyusahkan dirimu sendiri? Aku akan memanggil beberapa pelayan untuk melayanimu disini.”
Dev sudah janji, walau ini pernikahan bisnis namun ia akan menjalankan tanggung jawabnya dengan baik kalau berurusan dengan kebutuhan finansial. Tak mungkin ia membiarkan perempuan itu menderita karena mengurus rumah sebesar ini sendiri. Pelayan hanya datang sekali sehari untuk membersihkan rumah. Tapi untuk urusan memasak Beverly yang mengambil alih.
“Tidak Dev, aku tidak mau ada pelayan yang tinggal disini. Kita sudah bicara tentang ini sebelumnya kan.” Tolak Beverly.
Tidak ada perdebatan setelah itu. Devan hanya diam dan menghabiskan makanannya.
Selesai makan malam, jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Beverly saat itu mematut dirinya di depan cermin. Merapikan rambutnya ke belakang, lalu memutar tubuhnya. Memastikan apakah ia sudah terlihat menggoda atau belum.
Malam ini lingerie tipis itu ia gunakan sengaja untuk memancing suaminya. Malam ini, apa pun yang terjadi ia sangat menginginkan Devan.
Selama enam bulan menikah, mereka beberapa kali berhubungan tapi itu masih terhitung sangat jarang.
Saat pertama kali menjadi pengantin baru, Beverly sampai merenung. Sebab yang ia tahu kalau pengantin baru itu selalu menggebu-gebu. Namun ia berpikir mungkin karena Devan belum bisa menerimanya. Dan tetap yakin kalau seiring berjalannya waktu pria itu akan jatuh hati pada Beverly.
Beverly menghela napas, pokoknya ia harus mendapatkan hati suaminya apa pun yang terjadi.
“Kau cantik Beverly, kau sangat cantik dan menggoda.” Gumam perempuan itu memupuk kepercayaan dirinya.
Sudah sepuluh menit Beverly menunggu suaminya di atas ranjang dengan pose menggoda. Namun pria tampan itu tak kunjung keluar.
Tiba-tiba satu ide muncul di kepalanya. Kaki jenjang itu melangkah ke arah kamar mandi. Dengan perlahan ia memutar knop pintu dan senyumnya mengembang sempurna saat pintu tersebut ternyata tak terkunci.
Beverly mematung, matanya seperti tersihir saat melihat tubuh kekar suaminya dengan otot-otot yang terbentuk sempurna itu tengah berdiri dibawah guyuran shower. Bahkan matanya tak berkedip.
Merasa ada yang memerhatikan, Devan berbaik dan alangkah terkejutnya dia melihat siapa yang berdiri diam disana. Tangan Dev mematikan shower dan meraih handuk yang tergantung tak jauh darisana.
“Kenapa kau masuk kesini?” Tanyanya dengan datar. Tak memedulikan tatapan kekaguman dari perempuan itu.
“Ehm, aku hanya penasaran kenapa kau begitu lama.” Jawaban yang terdengar tak masuk akal.
Beverly langsung teringat tujuannya menggunakan pakaian tipis tersebut dan datang ke dalam kamar mandi.
Dengan gemulai ia mendekat kearah suaminya. Pria itu baru sadar apa yang ia kenakan saat perempuan itu mendekat. Dev langsung paham apa yang diinginkan istri keduanya itu.
Devan tak mengelak dari tanggung jawabnya memberikan nafkah batin pada istrinya itu, tapi harus ia akui itu sangat jarang mereka lakukan karena ia jarang menghabiskan waktu dirumah ini. Waktunya habis di kantor lalu setiap pulang kantor ia menyempatkan diri mengunjungi Kinan.
Langkah Beverly semakin mendekat. Tatapannya tak lepas dari tubuh atletis pria yang menatapnya tanpa ekspresi itu. Namun seketika langkahnya terhenti saat ia sudah sejengkal lagi menggapai suaminya. Dapat ia lihat jelas dengan kedua matanya tanda merah kebiruan yang terpatri pada tubuh pria itu.
Karena shock Beverly mematung tanpa tak mengatakan apa pun. Devan mengerutkan keningnya.
“Kau bisa menggunakan kamar mandi, aku akan keluar.” Ujarnya lalu berlalu dari sana.
Dan Beverly langsung menoleh pada Devan yang sudah melenggang pergi. Ia bukan perempuan polos yang tak tahu apa tanda merah yang tercetak jelas di tubuh suaminya itu.
“Dev, dia... “ Mata Beverly berkaca kaca.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin.”
Setelah sejenak menenangkan pikirannya dan mencoba berpikir positif, perempuan itu keluar dari dalam sana. Masih memakai pakaian tipis yang menampilkan lekuk tubuhnya itu. Namun saat ia keluar, dilihatnya sang suami yang sudah meringkuk dengan pulas diatas ranjang. Devan terlihat sangat lelah sampai terdengar dengkuran halus.
Bev menghela napas dan turun menuju dapur. Ia mengisi gelas dengan air putih dan meneguknya sampai tandas. Mencoba menepis semua praduga yang muncul di kepalanya. Tidak, Devan adalah pria yang terhormat. Tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu. Ya, dia tidak punya waktu untuk hal menjijikkan seperti itu.
Segala praduga bahwa Devan selingkuh terdengar tak masuk akal, sebab Beverly sudah terlanjur yakin dengan pria yang bahkan tak punya waktu untuknya itu. Namun seandainya itu benar, dia janji pada dirinya sendiri akan menyingkirkan wanita ja lang yang berani mengganggu rumah tangganya.
Saat memasuki kamar, pikiran Beverly masih berkecamuk. Namun ia tetap berbaring disamping pria yang berstatus suaminya tersebut. Memandang wajah tampan Devan yang terlihat sangat menenangkan saat tidur. Karena saat pria itu bangun, hanya ada raut datar dan serius di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!