Kekesalan Odette.

Matahari sudah bersinar cukup terik memantulkan cahaya begitu terangnya. Kicauan burung bahkan sudah jarang terdengar, menandakan hari tak lagi pagi.

Tapi putra kedua keluarga Cyrus itu, masih saja terlelap dalam tidurnya. Braman sampai kesulitan membangunkan pria itu.

Sudah merasa buntu dengan segala cara yang dia lakukan. Braman meraih gelas pada atas nakas emas tuan-nya,

"Aku sungguh minta maaf, tapi kau yang memaksaku melakukan ini."

Barulah Dexter membuka matanya akibat percikan air dari Braman.

Terduduk diam beberapa menit tanpa mengatakan apapun. Dexter masih berusaha mengumpulkan jiwanya.

"Braman, apa sarapanku pagi ini?"

Tuhan memberkati. Braman sampai terbelalak tak percaya mendengarnya. Sudah jelas cahaya matahari begitu terangnya memenuhi ruangan ini.

"Kau mengigau? Buka matamu lebar-lebar dan lihatlah, ini sudah hampir jam makan siang." sindir Braman.

Barulah pria itu benar-benar membuka matanya lebar dan melirik keluar jendela kamar.

Ternyata memang sudah siang... Sepertinya aku terlalu lelah semalaman menunggu Odette.

"Benar, Odette!"

Dexter bangkit begitu saja turun dari ranjang besarnya, "Braman, semalaman setelah pesta aku nggak melihat Odette."

Braman menghela nafasnya panjang, "Aku tahu itu... Nona Odette sudah pulang lebih awal saat kau menyusul Liam."

Tak disangka Dexter benar-benar menunggu Odette semalaman. Jika saja Braman tak datang untuk menjemputnya, sampai matahari terbit pun dapat dipastikan Dexter tak akan pulang.

"Sudahlah. Tadi Odette datang pagi-pagi sekali membawa biskuit untukmu,"

Pria tua itu meraih keranjang biskuit yang berada pada atas nakas. Lalu Memberikannya pada Dexter,

"Sepertinya Nona Odette tahu kau menunggunya semalaman, maka dari itu dia membuatkan ini sebagai tanda permintaan maaf."

Dexter memperhatikan keranjang biskuit yang dia pegang. Lalu sudut bibirnya terangkat mengingat Odette susah payah membuatkan biskuit ini.

Tak peduli dirinya yang sudah semalaman menunggu Odette keluar kastil. Jika mendapat perlakuan seperti ini dari gadisnya, tentu ingin marah saja tak akan bisa.

Yang ada Dexter malah semakin jatuh hati pada Odette. Ternyata gadis itu masih tahu bagaimana caranya meminta maaf.

"Paman Braman, biskuit ini pasti enak bukan?"

Dexter membawa satu biskuit masuk kedalam mulutnya. Mengunyah dengan perlahan dan penuh penghayatan.

"Bagaimana rasanya?" Braman ingin tahu.

Pria itu hanya bergeleng dan berusaha menelan biskuit dengan bantuan air putih.

"Odette sangat cantik, tapi sayang sekali bakatnya bukan membuat biskuit."

Braman tak kuasa menahan tawanya mendengar ucapan Dexter barusan. Memuji Odette dengan tujuan menyindir secara halus.

Sudah jelas dari raut wajahnya tak bisa berbohong, masih saja membela gadis itu.

"Aku akan sampaikan pesanmu pada Nona Odette nanti."

"Apa?! Braman, kau akan bilang apa padanya?"

Braman berbalik badan saat hendak pergi, "Bahwa kau sangat menyukai biskuit buatannya." ujarnya, lalu keluar ruangan.

Dexter bernapas lega usai Braman mengatakan itu. Tadinya dia pikir Braman akan berkata jujur pada Odette.

"Aku sangat panik... Lagipula, bagaimana bisa Odette membuat biskuit seperti ini?" gumamnya.

Odette memang bukan seperti para gadis bangsawan lainnya. Sudah terlihat jelas dari hobinya yang suka memelihara burung Elang.

Tak ingin membuang waktu lagi, pria itu meletakan keranjang biskuit pada meja dan bergegas membersihkan dirinya.

Hari ini ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Dexter akan menuntaskan beberapa masalah sebelum menjalankan pernikahan dengan Odette.

Karena sungguh sial jika pernikahan nanti terganggu. Lebih baik meminimalisir kejadian yang seperti itu.

...****************...

"Odette, Ayah ingin bicara sebentar denganmu..."

Wilson menahan Odette saat gadis itu hendak pergi usai menghabiskan makan siangnya.

Jarang sekali melihat Odette pada meja makan seperti ini. Biasanya putrinya tak pernah mau makan bersama.

Selagi ada waktu dan kesempatan untuk bicara, Wilson tak ingin menyiakan momen ini.

"Aku harus membawa Elangku pergi ke hutan. Sepertinya lain kali saja kita bicara."

"Tunggu, Nak!" cegat Wilson.

Odette tersenyum simpul, "Sangat ingin bicara, ya? Kalau begitu kita bicarakan di taman saja."

Wilson hanya menatap sayu Odette yang berjalan menjauh darinya. Barulah dia berjalan menyusul langkah putrinya itu.

Hingga tiba pada taman milik Odette, Wilson memperhatikan sekitar dengan seksama.

Ini pertama kalinya dia menginjakan kaki pada taman milik putrinya. Selama ini Wilson hanya memperhatikan kegiatan mereka dari atas jendela kamar saja.

"Ada apa? Kau pasti takut sepatumu itu kotor berada di tamanku."

Wilson bergeleng pelan seraya tersenyum, "Pemikiranmu saja, aku mana ada pemikiran begitu..."

Munafik. Padahal dia yang mencaciku saat pesta pernikahan itu. Jangan kau pikir, semua ingatanku hilang begitu saja.

"Cepat katakan, ingin bicara apa?" ujar Odette tak ingin berlama-lama lagi bersama dengan ayahnya.

"Apa kau sungguh ingin menikah dengan Dexter, Nak?" tanya Wilson dengan hati-hati.

Odette sudah tebak pembicaraan ini yang pastinya pria itu tanyakan. Kalau bukan, mana mau ayahnya membuang waktu hanya untuk bicara dengannya.

Pria itu munafik sekali, Odette sangat paham.

"Aku mencintainya, kenapa aku harus minta pendapatmu?" balas Odette acuh.

"Benar, aku memang tak pantas..."

"Memang kau nggak pantas untuk hal itu. Kau pikir, dirimu itu siapa?"

Terlihat sorot mata kebencian pada tatapan gadis itu. Seperti tersirat dendam dan luka yang amat mendalam.

Wilson tak menyangka putrinya akan sebenci ini pada dirinya. Anak yang saat kecil selalu dia gendong dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.

Kini menatap nyalang penuh rasa dendam padanya. Tatapan gadis kecil yang sudah kecewa pada ayahnya, seolah tak ada lagi ruang untuk memperbaiki kesalahan.

"Ayah sungguh minta maaf... Jika kau memang ingin bersama dengan Dexter, aku merestui hubungan kalian."

"Apa aku perlu restu darimu?!"

"Nak, apa kau harus seperti ini? Jangan bertindak tak sopan pada orang tua."

Terdengar kekehan dari gadis itu, tersenyum simpul dengan tatapan penuh kebencian.

"Sejak kau membawa wanita lain selain Ibu, sejak saat itu kita nggak ada hubungan apapun."

"Jangan kau pikir aku bisa menerima ini semua dengan lapang dada. Aku juga punya hati, aku bisa merasakan betapa kecewanya Ibu saat itu!" bentak Odette tak kuasa menahan amarahnya.

Kenapa pria tua ini sungguh tak tahu diri. Sudah berbuat hal yang melukai hati ibunya sampai jatuh sakit, masih saja ingin dihormati.

"Odette, kau-"

"Cukup!"

Timpal Odesa datang menghampiri mereka berdua. Saat itu juga Odette merasa tenang dan memutuskan untuk berlari masuk menuju kamarnya.

Sementara Wilson hanya terdiam menatap Odesa yang baru saja berteriak padanya.

Kedua anaknya seperti tak menganggap lagi keberadaannya. Mereka sudah membantahnya berkali-kali bahkan berteriak.

Wilson tak mengira saat menikah untuk yang kedua kalinya, dia akan kehilangan kedua anak gadisnya.

"Ayah, aku sudah peringatkan jangan mengganggu Odette..."

"Tidak Odesa, aku hanya bertanya pada Odette-"

"Kau mengerti ucapanku, nggak?!"

Nafas Odesa sudah terengah-engah akibat amarahnya yang kembali memuncak.

"Sejak kau membawa wanita itu, kami bukan keluargamu, aku dan Odette bukan putri tersayangmu lagi!"

Wilson berusaha menenangkan Odesa dengan memeluknya, namun gadis itu mendorong tubuhnya dengan kasar.

Bahkan Wilson sampai tercengang dengan apa yang Odesa lakukan barusan. Anak yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang, mendorongnya dengan tanpa rasa kasihan sedikitpun.

"Pulanglah ke istana istri tersayangmu itu, Kami ini bukan keluargamu dasar bedebah!"

Odesa berlalu meninggalkan Wilson yang tersungkur lemah pada rumput taman. Seolah tak peduli dengan pria tua itu.

Tak ada lagi rasa sayangnya untuk orang yang sudah menduakan cinta ibunya.

Semenjak pernikahan itu, ibu dan adiknya begitu menderita. Kepribadian Odette berubah karena kejadian itu.

Kini ibunya terbaring lemah tak berdaya, juga akibat kejadian yang Wilson buat itu.

Sumpah demi nyawaku. Pria tua itu nggak akan aku biarkan hidup tenang. Cukup penderitaan yang dia berikan, sudah cukup untuk menjadi orang yang tertindas.

"Aku..." Wilson menahan ucapannya.

kepalanya bergeleng pelan, matanya sudah berlinang akibat air mata.

"Aku kehilangan keluargaku... Andai saja saat itu aku tak mengikuti hasratku, mungkin saat ini kami bisa berbahagia." lirihnya menyesali semua perbuatan yang sudah dia lakukan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!