"Dexter, aku berhasil!"

"Odette," tegur Odesa membuyarkan lamunan adiknya.

Odesa menatap intens wajah Odette yang terlihat sangat pucat itu. Bahkan bibirnya sudah tak terlihat adanya sentuhan lipstik.

"Wajahmu mengapa pucat begitu? Apa kau sakit-"

"Diam."

Ucap Odette dingin menghentikan ucapan Odesa. Tak ingin kakaknya itu terlalu banyak bicara, Odette lebih memilih menjauh dari pandangannya.

Odesa sampai mengernyitkan dahi karena heran dengan ulah Odette. Kenapa malah menjauh darinya? Bukankah dia hanya menanyakan keadaan saja, apa perlu sampai menjauh.

"Sepertinya aku harus mencari Liam dan Dexter," gumamnya.

Barulah gadis itu beranjak dari kursi dan berjalan mengitari seluruh ruangan untuk mencari keberadaan kedua pria itu.

Kakinya sudah hampir mati rasa karena berjalan terus. Namun entah kenapa belum melihat satupun dari mereka, pikir Odesa.

"Ada apa ini? Kenapa mereka nggak terlihat..."

Kini Odesa jadi gelisah memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia belum menemukan Dexter maupun Liam, terlebih Odette juga sedikit aneh sikapnya sejak sore tadi.

Entah ini akhir dari harapannya atau memang seharusnya dia tak berharap.

Sepertinya Odette memilih untuk menyerah. Seharusnya aku nggak berharap banyak padanya, pernikahan Ayah nggak bisa dihentikan sekarang.

Tak ingin melanjutkan pencarian lagi, Odesa memutuskan kembali pada kursinya. Harapannya sudah pupus tak tersisakan.

Jika sudah begini, pernikahan kedua orang tua itu tak dapat dibatalkan. Odesa juga harus menerima kenyataan kalau Liam akan menjadi saudaranya mulai sekarang.

Tadinya sempat lega karena jika Odette menikah, dirinya pun bisa bersama dengan Liam karena masih sah dalam peraturan bangsawan.

Namun jika kedua orangtua yang menikah, putra maupun putrinya tak dapat menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Percuma saja mempertahankan rasa cintanya selama ini, pada akhirnya takdir memang tak memihak.

"Aku berlapang dada..." gumamnya usai kembali duduk pada kursi.

"Baiklah, pertemuan kekeluargaan ini sangat dinantikan setiap tahunnya. Apa ada yang ingin meminta restu?" ujar salah satu tetua memulai pembicaraan usai upacara selesai.

Terdengar kebisingan dari banyak mulut para bangsawan yang hadir. Bicara tentang perjodohan bahkan sampai warisan dan wilayah kekuasaan.

Mereka semua menyampaikan tujuannya pada para tetua. Memang jamuan ini sebenarnya hanya dimanfaatkan untuk keserakahan diri sendiri.

Namun dari banyaknya orang yang mengajukan pernyataan, Odette hanya fokus pada para pria tua yang masih saja ingin menikah.

Umur sudah kepalang ajal saja masih belagu. Dasar pria, ini sebabnya aku benci mereka.

"Oh ya, aku belum melihat Ayah? Kalau dia sudah datang dan beragumen, aku akan segera menyampaikan kabar mengejutkan untuknya." gumam Odette tersenyum licik.

"Para tetua, aku ingin menikah dengan gadis muda apa boleh!" seru seorang pria tua berbadan besar dari kursi pojok.

Sontak ucapannya mengundang gelak tawa para bangsawan lainnya yang hadir. Namun beberapa ada juga yang mengkritik tentang itu.

Odette semakin jengkel pada orang berusia yang nafsu sepertinya.

"Sayang sekali, kenapa kau menikahi seorang gadis?" ujar Odette mencibir.

Semus mata kini tertuju pada gadis cantik berambut pirang itu. Pria tua besar itu juga beralih menatap Odette dengan heran.

"Hei nak, kau cantik sekali. Aku tak sangka putri kedua keluarga Yeva sangat memikat." puji pria itu.

Odette tersenyum manis penuh drama padanya. Ingin sekali memberi pria tua nafsuan itu pada para burung Elangnya, pasti menyenangkan.

"Terima kasih pujianmu Tuan, aku nggak secantik itu..." balas Odette merendah.

"Wah! Putri kedua keluarga Yeva sangat rendah hati, patut dijadikan istri tersayang!" timpal seseorang ikut memujinya.

Astaga Odette, apa yang kau rencanakan? Aku takut sekali, tolong jangan asal bicara..

Odesa hanya bisa tersenyum dipaksakan setiap kali ada yang memuji keluarga Yeva akibat ulah Odette.

Kegelisahan semakin menghantuinya, ingin minum saja rasanya tak bisa tertelan. Gadis itu hanya berharap adiknya tak mengambil langkah yang salah.

Odesa sampai berpikir saking putus asanya Odette, adiknya itu jadi meladeni para pria tua bangsawan genit. Semoga saja itu tidak benar.

"Nona Odette, apa kau sudah memiliki kandidat calon suami? Jika benar, dari keluarga bangsawan mana dia?" tawar tetua yang sepertinya sudah masuk kedalam rencana Odette.

Tepat sekali, anak panahku mengenai sasaran! Ayah, kau kalah selangkah dari aku.

Odette bangkit dari duduknya dan membungkuk hormat pada para tetua yang hadir. Lalu gadis pirang itu tersenyum manis,

"Para tetua, aku juga datang ingin minta restu atas pernikahanku." ujarnya.

Tiba-tiba saja Ayahnya Odette bangkit dan menatap putrinya dengan heran.

Yang dia tahu selama ini Odette hanya bermain dengan para Elang, bagaimana bisa sekarang bicara akan menikah. Benar-benar membuat terkejut.

"Odette, jangan asal bicara Nak. Para tetua bertanya dengan serius.. "

"Biarkan aku yang bicara, kau duduk saja dengan Odesa." himbaunya.

Duduk saja katamu? Enak saja, aku sudah mengambil perhatian mereka dan kau yang bicara? Jangan harap.

"Hei Wilson, duduklah. Aku ingin mendengar ucapan putrimu bukan ucapanmu!" timpal seseorang yang merasa penasaran dengan ucapan Odette.

Dengan berat hati dan rasa gelisah, Wilson kembali duduk dan membiarkan putrinya lanjut bicara.

Tak ingin hilang kesempatan dengan apa yang sudah dia usahakan, Odette kembali menghadap para tetua.

"Izinkan aku untuk menikah dengan Dexter, putra kedua dari keluarga Cyrus."

Hening, suasana menjadi sunyi usai Odette bicara begitu. Seolah semuanya terhipnotis dengan ucapannya.

Beberapa detik dalam keheningan, Wilson kembali berdiri dan membantah ucapan putrinya.

"Tidak bisa Odette," elaknya.

Barulah saat itu juga para tetua menatap Wilson dengan heran. Anak mau menikah bukankah seharusnya bahagia? Wilson ini malah membantahnya.

"Kau kenapa, Wilson? Aku merestui hubungan mereka."

"Odette, aku menunggu undangan dari kalian. Berbahagialah Nak!" ujar tetua mendukung keputusan gadis pirang itu.

Nampak raut wajah gelisah dari ayahnya, justru membuat Odette semakin tersenyum penuh kemenangan.

Akhirnya rencananya berhasil mendapatkan dukungan dari para tetua. Selanjutnya, melewati ayahnya bukan lagi masalah yang sulit.

"Tunggu, pernikahan kalian tak bisa-"

"Mari bersulang untuk Nona Odette!" seru salah satu bangsawan berteriak sehingga Wilson tak dapat melanjutkan ucapannya.

Satu ruangan penuh dengan ucapan selamat pada gadis itu. Kini Wilson merasa tak ada lagi yang bisa dia lakukan.

Para keluarga bangsawan yang hadir sudah mengetahui kabar ini. Kelak dia tak bisa mengabarkan untuk bertunangan dengan wanitanya.

"Ayah, aku pergi menemui Dexter dulu. Dia pasti senang kami sudah mendapatkan restu dari semuanya!" ujar Odette antusias.

Tentu itu sengaja dia lakukan agar ayahnya mengalah saja. Anaknya bahagia tentang pernikahan ini, masa masih mau menuruti keserakahan sendiri.

Odette pergi meninggalkan Wilson yang hanya tersenyum dipaksakan padanya.

Anak ini sampai sebahagia itu? Apa aku harus mengalah untuknya? Jarang sekali melihat Odette tersenyum seperti itu.

Ada keraguan pada hatinya. Walaupun sangat ingin menikah untuk yang ketiga kalinya, tapi naluri seorang ayah tak dapat berbohong.

Jelas Wilson bahagia melihat Odette yang biasanya hanya bicara seadanya saat di meja makan, bahkan tersenyum saja seperti sangat rugi untuk anak gadisnya.

Tapi tadi, Odette terlihat bahagia sekali tentang pernikahannya. Sepertinya putri keduanya itu sangat mencintai Dexter.

"Aku tak tahu bagaimana bisa dia menjalin asmara dengan Dexter, tapi yang pasti saat bersama anak itu Odette selalu tersenyum bukan?"

"Bukan saat bersama denganku, Odette bahkan enggan bicara lama pada ayahnya sendiri."

"Ayah, jangan merusak kebahagiaan Adik-ku." tegas Odesa memperingati.

Wilson sontak menatap anak sulungnya dengan sendu. Walaupun Odesa terlihat selalu mengganggu Odette, tapi sebagai seorang kakak jelas gadis itu sangat menyayangi adiknya.

Wilson dapat melihat rasa sayang itu pada diri Odesa. Bahkan gadis itu berani mengancam ayahnya sendiri demi adiknya.

"Sejak kau membawa wanita lain selain Ibu kedalam istana, sejak saat itu juga Odette jadi berubah. Aku nggak mau dia semakin terluka karena kesalahan kau untuk yang ketiga kalinya." kecamnya lagi.

Barulah gadis itu pergi meninggalkan ayahnya yang masih terdiam tanpa bicara. Pria tua itu hanya tersenyum saja tanpa membalas ucapannya.

...****************...

"Dexter, aku berhasil!"

Odette datang dengan wajah yang berseri-seri menghampiri Dexter yang tengah fokus membaca buku.

Melihat gadisnya datang sebahagia itu, Dexter sontak menutup bukunya dan meletakkan pada atas meja.

"Kau berhasil, hm?" tanyanya.

Odette memeluk Dexter dan hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

Entahlah, dia hanya merasa telah berhasil melewati masalah yang akan berdampak buruk bagi kesehatan ibunya.

Ini pencapaian terbesar dalam hidup Odette, mencegah adanya wanita asing lagi dalam keluarganya. Sudah cukup pernikahan ayahnya yang kedua, tidak untuk yang ketiga kalinya.

"Odette, kau hebat. Kau berhasil melakukannya, aku bangga padamu." puji Dexter mengeratkan pelukannya.

"Dexter... Aku harap langkah yang aku ambil ini nggak salah." ucapnya lirih.

"Kau nggak kecewa menikah denganku, kan?"

Odette sontak melepas pelukannya, "Hei... Jangan mulai lagi, aku nggak bilang begitu."

"Jangan salah paham denganku, aku nggak menyesal akan menikah denganmu." balas Odette berusaha meyakinkan.

Entah kenapa Dexter ini sangat emosional. Hanya bicara sedikit saja sudah merasa sakit hati begitu. Sungguh merepotkan, pikir Odette.

"Bagus sekali kalian, aku mencari-cari sejak acara baru saja dimulai. Ternyata kau menikmati waktu santaimu disini, Liam?"

Odesa datang menghampiri dengan raut wajah seperti ingin membunuh seseorang. Sontak membuat Liam yang sedari tadi hanya fokus pada bukunya, kini menggigil ketakutan.

Tak disangka pacarnya ini mencari keberadaan dirinya. Liam pikir Odesa akan lupa dan fokus pada acaranya saja.

Jika bukan karena rencana Odette dan Dexter, Liam mana mau disuruh berdiam di ruang baca seperti ini. Lebih baik berkuda saja mengelilingi kastil.

"Sayang, dengarkan aku. Ini rencana mereka berdua dan aku hanya-"

"Hanya apa?!"

Odesa menaikan satu alisnya menatap Liam dengan tajam. Jika dari awal dirinya diberitahukan, mana mungkin dia semarah ini.

"Maafkan aku Kak, ini memang benar rencanaku." lerai Odette.

"Jahat sekali kalian... Apa aku sebodoh itu? Rencana seperti ini saja aku dikecualikan." balasnya sedikit kecewa.

Odette membawa Odesa kedalam pelukannya. Walaupun sebenarnya gengsi, tapi sekarang dia akan menepis rasa itu jauh-jauh.

Kakaknya ini sudah salah paham. Padahal niat hati ingin memberi kejutan juga padanya.

"Aku hanya ingin kau santai saja pada acara ini. Nggak aku sangka, kau malah kerepotan mencari Dexter dan Liam Karena aku."

mendengar pernyataan adiknya, Odesa terdiam sebentar sebelum akhirnya dia menyentil dahi Odette dengan kuat.

Terdengar rintihan dari adiknya itu, namun dia tak peduli. Hukuman ini dia berikan karena rencana Odette yang sangat konyol itu.

Dirinya hampir saja menyerah dan menangis tadi, tapi ternyata ini malah rencana Odette.

"Lain kali jangan rahasiakan apapun dariku!"

"Baiklah, aku nggak akan lakukan itu lagi..." sahut Odette.

"Odesa, kau nggak akan memeluk aku?" timpal Liam memelas.

Namun pria itu hanya mendapat tatapan sinis dari gadis yang dicintainya.

Astaga, sepertinya aku benar-benar membuat Odesa jengkel...

Tak lagi bicara, Liam memutuskan untuk kembali membaca buku yang tadi tengah dia pelajari.

Dari pada membujuk Odesa namun tetap saja mendapat tatapan seperti itu, lebih baik lanjut saja membaca buku.

"Liam.. Kau benar-benar membuatku jengkel!"

Brak,,

Pria malang itu mendapat serangan tiba-tiba dari Odesa. Tak disangka gadisnya itu malah semakin marah dan melemparinya dengan buku kamus tebal.

Wajah Liam bahkan terasa mati rasa akibat terkena lemparan kamus itu. Pacarnya ini sungguh tak berperasaan, pikir Liam.

"Odesa, kau jahat sekali..." keluhnya memasang wajah sedih.

"Saranku, lebih baik kita keluar saja dari pada jadi saksi korban pembunuhan."

Bisik Odette pada Dexter, dan hanya mendapat deheman pelan dari pria itu.

Barulah Dexter menggenggam tangan Odette dan membawa gadis yang dicintainya keluar dari ruang baca.

Odette hanya menurut saja, dia mengikuti langkah Dexter yang menariknya pergi.

Kalau boleh jujur, Odesa sangat kejam jika sudah marah begitu. bukankah lebih baik menjauh.

langkah mereka berhenti saat sampai pada lorong kastil. Dexter juga sudah melepaskan genggamannya.

"Ada apa?" tanya Odette.

Dexter hanya bergeleng, "Kau ingin pesta pernikahan yang seperti apa?" tanyanya balik.

Dia mulai lagi... Kenapa harus bertanya di saat seperti ini? Apa nggak bisa bahas nanti saja.

"Odette?"

"Ah... Aku hanya ingin yang nggak terlalu mewah." sahut Odette asal bicara.

Sebenernya Odette belum terlalu memikirkan kesana. Sekarang yang ada di pikirannya adalah bertemu ibu kandungnya.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Odette mengernyitkan dahi mendengarnya, "Apa maksud ucapanmu..."

"Kau nggak fokus saat bicara denganku. Pasti ada yang sedang kau pikirkan, apakah itu Barata?" ujar Dexter kembali membawa nama pria dari keluarga Waterson itu.

gadis pirang itu berdecak pelan, "Barata lagi yang kau bicarakan?"

"Kalau begitu, kenapa aku nggak menikah dengannya saja? Menurutku dia juga nggak begitu buruk-"

"Nggak boleh." potong Dexter cepat.

Pria itu menatap Odette dengan tatapan sulit diartikan. Bahkan Odette sampai memutar bola matanya malas.

Padahal dia duluan yang menyebut Barata, sekarang malah Odette yang ditatap seolah dirinya bersalah.

Dasar Dexter ini... Sudah tahu cemburuan, masih saja memancing begitu.

Karena merasa tak nyaman dengan Dexter yang terus saja menatapnya tanpa bicara apapun, Odette memutuskan untuk membawa pria itu keluar dari kastil ini.

Dia menarik lengan Dexter lebih dulu dan berjalan keluar.

Sepanjang jalan lorong, Odette sesekali menoleh menatap Dexter yang tersenyum sendiri.

Sampai-sampai Odette berpikir pria yang sedang bersamanya ini tak waras. Mana ada orang yang tersenyum tanpa sebab.

"Dexter,"

Panggil Odette dan hanya mendapat deheman dari pria itu.

"Kenapa kau tersenyum begitu? Aku jadi berpikir kau ini ada gangguan jiwa." cibirnya.

Senyumnya sontak luntur usai mendapat cibiran begitu. Bisa-bisanya Odette mengatainya ada gangguan jiwa.

Padahal sudah jelas Dexter tersenyum karena ulah gadis pirang itu sendiri. Odette ini sama sekali tak ada perasaan.

"Aku hanya senang saja," sahut Dexter.

"Karena apa?" tanyanya lagi.

"Karena kau menggandeng tanganku."

Odette terdiam dan tak bertanya apapun lagi. Dia terus berjalan menelusuri lorong kastil.

Hanya karena aku menggandengnya lebih dulu? Ini sangat sederhana, tapi dapat membuat hatinya sebahagia itu?

Odette jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya. Kenapa Dexter selalu bersikap seperti sangat mencintainya?

Odette ingin sekali membalas rasa itu, tapi jujur saja dia tak percaya dengan pria semenjak tahu ayahnya menikah untuk yang kedua kalinya saat itu.

Yang Odette tahu, para pria itu hanyalah sampah. Mereka sangat rakus akan kekayaan dan hanya ingin mempermainkan para wanita.

Terpopuler

Comments

Cute/Mm

Cute/Mm

Habis-habisan emosi baca ini. 😤

2023-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!