Srak,,
Odette langsung sigap usai mendengar suara dari balik semak. Entah hewan buas apalagi yang akan muncul mengacaukan pagi harinya.
Niat hati ingin jalan pagi dengan damai. Namun sepertinya semesta sedang tidak berpihak padanya.
"Keluarlah hewan buas, aku harus lanjut lari pagi selagi matahari belum terik."
"Hewan apalagi ini? Kemarin beruang madu, apa sekarang gorila?" protes Odette.
"Aduh!" terdengar rintihan seseorang dari balik semak usai mendapat lemparan tombak Odette, dan berhasil membuatnya mengernyitkan dahi karena heran.
Hewan mana yang bisa bahasa manusia? Ayolah, kami memang orang bangsawan, tapi ini bukan lagi jaman dinasti kuno.
Alangkah terkejutnya gadis pirang itu karena muncul pria yang sangat dia musuhi sejak kejadian semalam.
Entah kesalahan apa yang sudah Odette perbuat sampai harus bertemu pria itu lagi. Sungguh pagi hari yang sial, pikir Odette.
"Ada apa dengan raut wajahmu?" tanya Dexter sambil mengusap sebelah wajahnya yang memar akibat ulah Odette.
"Nggak ada, hanya kecewa karena bukan hewan buas yang muncul." balasnya.
"Kenapa kau ingin hewan buas? Jelas aku lebih tampan."
Pria itu sampai meragukan ketampanan miliknya karena Odette sama sekali tak mempedulikan. Gadis pirang dihadapannya ini sangat menguji kesabaran.
"Sudahlah lupakan, aku harus pergi."
Odette meninggalkan Dexter begitu saja tanpa mendengar lagi ucapannya. Gadis itu juga tak merasa bersalah sedikitpun karena sudah melukai wajah Dexter.
Menurutnya dia tak bersalah dalam hal ini. Karena Dexter muncul tiba-tiba tanpa adanya sinyal pemberitahuan. Setidaknya bersuara agar Odette tahu bukan hewan buas.
"Aku ditinggal? Tunggu, apa ini yang namanya ditolak secara terang-terangan?"
Dexter tak habis pikir dengan gadis itu. Baru saja muncul sudah terkena sambutan tombak, mana tak ada kompensasi pula.
Tak ingin ambil pusing, pria gagah itu lebih memilih mengikuti jejak Odette yang sudah lumayan menjauh dari pandangannya.
Hanya beberapa menit berjalan kaki, dia sudah menyusul gadis pirang itu yang tengah memberi makan burung peliharaannya pada halaman istana keluarga Yeva.
Dexter melirik sekitar dan memperhatikan separuh halaman yang sudah seperti penangkaran burung Elang ini. Semuanya berukuran hampir setengah tubuhnya, tapi tak ada satupun dari burung itu yang melukai Odette.
"Kau suka pelihara hewan ini?" ujarnya datang menghampiri.
Odette membuang nafasnya panjang karena merasa akrab dengan suara itu. Sepertinya dia ketempelan sampai halaman istana.
"Menurutmu?" balasnya ketus.
"Maaf,"
Lagi dan lagi gadis itu dibuat heran dengan perilaku Dexter yang sangat aneh. Odette sampai geleng kepala melihatnya.
"Untuk apa minta maaf... Apa kita saling kenal?"
"Odette, aku tau kesan pertama yang kubuat sangat buruk.."
"Tapi, apa nggak bisa kamu maafkan kesalahanku yang asal menembak liar burung peliharaanmu?"
Odette berbalik badan dan membungkuk setengah hormat pada pria dihadapannya.
"Terima kasih... Sudah cukup, kau bisa pulang sekarang." ujarnya dengan sopan.
Dexter habis akal sekarang. Tak disangka gadis ini malah membungkuk hormat dan mengusirnya secara halus. Padahal dia sengaja ingin berlama-lama untuk melihat wajahnya.
"Mari berkenalan dengan lebih baik. Mau berteman?"
Wajahnya tampak serius. Apa aku terima saja? Ah terserahlah, yang terpenting aku bisa tenang memberi makan peliharaanku tanpa adanya gangguan.
Odette menjulurkan satu tangannya, "Odette Yeva, putri kedua dari keluarga ini."
Dengan senang hati Dexter menerima jabatan tangan gadis cantik itu.
"Panggil aku Dexter, aku juga putra kedua keluarga Cyrus. Senang bisa berkenalan denganmu Odette." ujarnya.
"Kita teman sekarang, kau jangan sungkan."
Odette kembali fokus pada peliharaan miliknya. Namun dia sedikit merasa tak nyaman karena putra keluarga Cyrus itu terus saja menatapnya dari meja sana.
Sudah berharap pria itu segera pergi. Siapa sangka malah menunggunya untuk sarapan bersama? Odette sampai menyesal berkenalan dengannya.
Gadis itu berjalan menghampiri meja kayu setelah membersihkan tangan. Duduk pada kursi yang berhadapan dengan Dexter.
"Kenapa kau pelihara Elang?" tanya Dexter merasa penasaran.
Odette melirik sekeliling halaman miliknya, tanpa disadari gadis itu malah tersenyum.
"Mereka senjataku. Kalau kau punya pistol untuk memburu, aku punya para Elang."
"Pasti ada suatu alasan kenapa kau pelihara mereka. Aku nggak memaksa kau cerita, hanya saja suatu saat jangan terlalu sungkan."
Dexter sangat ingin Odette bergantung padanya. Gadis itu terlalu mandiri dan menutup diri. Tapi Odette mau bicara padanya seperti sekarang saja sudah lebih baik.
"Seingatku, kau orang yang akan bertunangan dengan kakak." lerai Odette.
"Benar, tapi pertunangan ini hanya untuk menghindari masalah besar saja. Menurutku itu sangat buruk." keluh Dexter, memulai pembicaraan yang sudah dia persiapkan sebelumnya.
Siapa tahu saja dengan begini Odette mau mendengar usulan dan menggantikan pertunangannya.
"Aku tahu... Kedua keluarga hanya mencegah adanya kutukan terlarang bukan?"
Dexter menatap Odette tak percaya. Ternyata gadis itu sudah tahu sebagian permasalahan ini walaupun belum sepenuhnya benar.
Tak masalah, Dexter akan tetap berpendirian teguh pada rencana awalnya.
"Ayahmu dan ibuku ingin menikah, makanya salah satu dari kita harus bertunangan lebih dulu sebelum mereka. Setidaknya meminimalisir berbagai masalah yang akan datang." ujar Dexter langsung pada inti permasalahannya.
"Ayah... Kenapa dia selalu mencampakan ibu?" lirihnya.
Dexter menatap sendu gadis dihadapannya yang tampak menyimpan banyak luka usai mendengar ucapannya.
Sepertinya Odette lemah jika menyangkut tentang ayahnya. Jika aku menawarkan kesepakatan ini, dia nggak akan nolak bukan?
"Odette, kalau kau yang dijodohkan..."
"Tentu aku akan suruh semua Elangku untuk menggagalkan acara pernikahan kami." kecamnya tanpa berperasaan sedikitpun.
Pria itu sampai tersenyum kikuk mendengar pernyataan yang tak terduga dari Odette. Ternyata gadis ini memang tak ingin menikah dan berada dalam sebuah perjodohan.
Rupanya Dexter harus mengubur dalam-dalam cintanya pada Odette. Tak akan mudah mengejar gadis sepertinya. Mungkin ini maksud dari ucapan Braman semalam.
"Odette, kau datang ke pesta nanti malam?"
Astaga! Aku sampai lupa dengan pesta itu. Jamuan para leluhur bangsawan, ya? Aku harus datang.
Odette harus memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu seseorang yang dia cari. Jangan sampai melewatkan pesta lagi karena orang yang berusaha menghalangi jalannya.
"Aku tentu datang. Hanya saja belum mempersiapkan gaunku..." balasnya seraya terkekeh pelan.
"Apa butuh bantuan?" tawar Dexter.
"Nggak sama sekali. Aku bisa menyelesaikan yang itu." tolaknya dengan cepat.
Benar, Dexter salah jika membantu Odette. Gadis itu selalu berdiri tanpa bantuan orang lain. Mana mau menerima tawaran darinya.
"Baiklah, sampai bertemu pada pesta nanti malam Odette!"
Gadis itu hanya melambaikan tangan pada pria yang sudah keluar dari halaman miliknya. Barulah dia bisa bernafas lega.
"Aku sudah menghamburkan banyak waktu Karena bicara omong kosong dengan pria itu."
Odette segera berlari ke dalam istana untuk segera menemui seseorang. Tak peduli seberat atau sebesar apapun gaun yang dipakai. Gadis itu hanya fokus berlari menuju labirin baca istana.
Dengan nafas terengah-engah, Odette memberikan secarik kertas undangan untuk pesta nanti malam pada wanita paruh baya yang tengah fokus membaca buku kuno.
"Dia mengadakan pesta lagi? Ternyata masih sempat mengambil simpati para tetua untuk pernikahan ketiganya."
"Kau harus lebih dulu darinya Odette, sayang." ujar wanita paruh baya itu, namun masih fokus pada bukunya.
"Aku nggak paham harus melakukan apa. Berikan petunjuk, aku tinggal jalankan perintah." balasnya.
Buku ditutupnya, barulah pandangan teralihkan menatap gadis cantik berambut pirang dihadapannya.
"Umumkan lebih dulu pernikahanmu. Entah dengan siapa kau akan menikah. Hanya itu jalan agar para tetua akan mendukungmu dan melarang keras dia melakukan pernikahan ketiga kalinya."
Odette mengernyitkan dahinya heran. Pernikahan yang sangat dia jauhkan ternyata malah menjadi satu-satunya jalan yang harus gadis itu ambil.
Hanya beberapa jam lagi, aku harus berhasil menggagalkan rencana itu. Aku nggak akan membiarkan Ayah menikah untuk yang ketiga kalinya.
Mungkin tahun lalu Odette gagal mencegah pernikahan kedua. Tapi untuk kali ini, jangan berharap pria tua itu bisa jalan di altar pernikahan lagi.
Sudah mau mati saja banyak sekali keinginan. Padahal tinggal tidur dan makan, kenapa harus setiap tahun berencana menikah.
* * *
"Apa gadis itu menerima tawaranmu?"
Braman membantu pria muda di sampingnya memilih baju. Sementara orang yang ditanyakan masih sibuk melamun tanpa melihat apa yang dia bawakan.
Dapat disimpulkan, kalau tuan mudanya ini sama sekali belum ada kemajuan mendekati nona muda istana foniks. Braman sampai mengusap dada sabar menghadapi orang yang lagi kasmaran.
"Setidaknya, pilih baju yang sudah aku bawa. Apa kau pikir aku ini nggak ada kerjaan lain..." keluh Braman.
Barulah Dexter mau menatap wajah frustasi Braman. Kasihan juga melihat pria berumur yang masih bekerja keras sepertinya.
"Hm, aku pakai apa saja. Nggak akan banyak pilih." balasnya.
"Apa kau tak ingin samaan dengan Nona Odette?"
Mata Dexter membelalak sempurna, wajahnya langsung berseri-seri mendengar pernyataan Braman.
"Aku susah payah cari tahu warna gaun yang Nona Odette gunakan, kau malah seperti ini membalasku."
"Tunggu, Braman!"
Tangan pria tua itu berhasil di cekal olehnya. Dexter langsung merebut pakaian berwarna biru tua darinya.
"Sudah berumur jangan suka ngambek!"
Dexter mencibir Braman yang masih saja suka merajuk. Padahal umurnya sudah kepalang ajal, selalu seperti itu.
Barulah dia bangkit dan berjalan menghampiri meja pada kamarnya. Diraihnya secarik kertas yang sudah disiapkan, lalu memberikan itu pada burung merpati peliharaannya untuk diantarkan pada seseorang.
Terpampang senyum dari wajah tampannya. Kalau teringat nama gadis itu, entah kenapa Dexter jadi suka tersenyum tanpa sebab.
Bahkan jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Dexter merasa ini bukan dirinya. Bukan Dexter Cyrus yang bersikap dingin dan hanya suka membunuh mangsa.
"Kenapa kau mengirim surat? Apa itu untuk Nona Odette?"
Timpal Braman ingin tahu. Melihat pria muda itu tersenyum sendiri sambil menatap keluar jendela sangat menyeramkan untuknya.
Walaupun Braman tahu senyumnya kali ini sangat tulus. Ini semua berkat pertemuan mereka dengan Odette. Pria tua ini berharap tuan mudanya bisa melepas semua beban setelah bahagia bersama gadis itu.
"Braman, kalau aku bisa mendapatkan hatinya..."
"Sumpah demi keluarga Naga, aku nggak akan pernah melukai hatinya. Aku pasti akan jadi pria terbahagia."
Dexter berjanji pada dirinya. Jika sudah mendapatkan cintanya, dia tak akan pernah melepaskan itu. Sekalipun akan banyak orang yang berusaha memisahkan mereka.
"Pestanya nanti malam. Aku harap Nona Odette juga memikirkan hal yang sama denganmu, Tuan muda."
"Apa Odette juga memikirkan aku?"
"Bukan, maksudku... Semoga Nona Odette juga memikirkan cara untuk membatalkan acara nanti malam."
Braman menghela nafasnya panjang. Tak habis pikir dengan pemikiran tuannya. Sempatnya pria itu memikirkan masalah cinta, padahal sudah jelas sedang membahas masalah pesta.
Grak!
Keduanya menoleh bersamaan melihat anak panah menerobos masuk dari luar jendela.
Dengan cepat Dexter langsung mengambil sniper miliknya dan mengarahkan itu keluar.
Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat gadis yang baru saja dipikirkan olehnya sedang berdiri di sebrang dengan memegang busur panahnya.
Muncul banyak pertanyaan dalam benaknya dengan apa yang dilakukan gadis itu sampai membidik anak panah menerobos masuk.
Tapi semua itu langsung hilang begitu saja dalam benaknya. Karena Dexter tak dapat membohongi perasaannya yang senang saat melihat wajah Odette.
"Tuan muda, ada kertas pesan pada anak panahnya." himbau Braman.
Dengan cepat dia melepas gumpalan kertas itu dari ujung anak panah.
: Aku tunggu kau di pintu air sungai flora. Sepertinya kita harus bicara, Dexter.
- Odette.
Terpapar lagi senyum pada wajahnya. Padahal hanya pesan yang seperti itu. Tapi Dexter sangat senang gadisnya ingin bertemu dan bicara padanya.
Braman merebut kertas dari genggaman Dexter, "Nona Odette ini selalu membuatku waspada. Bangsawan mana selain dia yang memberi pesan dengan anak panah... "
"Gadisku hebat, kan?"
Gadisku? Sejak kapan mereka saling mengakui? Pasti hanya Tuan muda sepihak yang bicara begitu. Memang orang yang sedang kasmaran sangat menyeramkan.
Tak ingin ikut campur, Braman lebih memilih untuk pergi dan meninggalkan Dexter yang masih tersenyum tidak jelas.
Biarlah menjadi urusan mereka. Braman sudah sepatutnya tak mencampuri. Lebih baik dia istirahat dan tidur sementara tuan mudanya pergi.
Dexter juga segera keluar istana untuk menemui gadisnya. Pasti Odette juga sudah menunggu lama.
"Sepertinya ada yang sedang berburu seorang gadis?"
Langkahnya terhentikan karena suara seseorang yang sangat tak ingin dia temui akhir-akhir ini. Sudah berusaha menghindar namun tetap saja bertemu entah di ruang baca ataupun taman istana.
"Kau menghindariku belakangan ini. Tak bisakah hormat pada ibumu?"
Dengan rasa malas yang luar biasa, Dexter terpaksa berbalik badan dan menghadapi wanita itu.
"Ibu, jangan bicara padaku sebelum kau mau mendengar ucapanku dengan baik."
Wanita berpakaian gaun merah tua itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan putranya.
"Anak ini masih saja merajuk? Ibu hanya menikah lagi, apa perlu sampai segitunya."
"Hanya?"
Rahangnya mengeras menahan emosi. Dexter sudah tak tahan bicara dengan ibunya lagi. Walaupun hanya beberapa detik saja, rasanya sangat memicu amarah.
Dia berbalik badan dan kembali melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa. Tanpa mempedulikan wanita itu yang sepertinya menahan rasa kesal juga.
Masa bodo dengan wanita tua yang nggak tau umur itu. Yang terpenting sekarang adalah bertemu dengan Odette.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments