Baskoro dan Soraya terduduk lemas sembari bersandar di sandaran sofa, setelah putri sulung mereka berlalu dari hadapan mereka.
"Ternyata, kita sudah terlalu lama mengabaikan Kaluna, Pa. Hingga dia bisa sebenci ini pada kita. Kita sudah gagal jadi orang tua yang baik untuknya," ucap Soraya lirih.
Baskoro sama sekali tidak menyahut. Ia tidak membantah ucapan sang istri karena apa yang dikatakan istrinya itu benar adanya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pah? Haruskah kita menerima lamaran Langit demi kebahagiaan Kaluna?" lagi-lagi Soraya buka suara, namun Baskoro tetap tidak memberikan respon. Tentu saja sikap diamnya sang suami membuat Soraya menoleh ke arah pria itu dengan alis yang bertaut tajam.
"Pah, kenapa kamu diam? Papa dengar nggak sih apa yang aku katakan dari tadi?" Soraya terlihat mulai kesal.
Baskoro memejamkan matanya sekilas, lalu mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan dan cukup berat.
"Jadi, apa yang harus aku katakan lagi, Ma? Semuanya memang sudah salah kita. Papah tidak menyangka kalau di balik sikap diam Kaluna selama ini ternyata banyak menyimpan luka. Papah juga tidak menyangka dia bisa sekuat ini, bisa bertahan bertahun-tahun dengan hidup terabaikan. Dia seperti orang asing di tengah keluarga sendiri. Dan kita yang seharusnya memberikan kasih sayang dan kenyamanan, justru kita menorehkan luka, yang mungkin sekarang sudah sangat menganga, susah untuk ditutup," tutur Baskoro dengan raut wajah sendu.
"Jadi, bagaimana Pa? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah kita menerima lamaran Langit untuk Kaluna? Bagaimanapun mereka berdua saling mencintai. Langit adalah kebahagiaan Kaluna, Pa,"
Baskoro tidak langsung menjawab. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan itu, terdiam beberapa saat, berpikir keras mencari solusi. Setelah berdiam untuk beberapa saat, Baskoro kembali mengembuskan napasnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya di kepala pria itu sudah ada solusi yang dia dapatkan dan menurutnya itu yang terbaik.
Baskoro kemudian mengungkapkan apa yang baru saja dia pikirkan, berharap Soraya istrinya setuju.
"Iya, Sepertinya itu jalan yang terbaik, Pa. Mudah-mudahan Kaluna mau. Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu, Qinara juga bisa menemukan pria yang bisa mencintainya dan dia cintai dengan tulus," pungkas Soraya, setuju dengan pendapat suaminya.
Di saat bersamaan, tampak Kaluna menuruni tangga seraya menarik koper besar. Sepertinya wanita berusia 24 tahun itu, berniat untuk pergi.
Wanita cantik berkulit putih itu, berjalan melewati kedua orangtuanya tanpa berniat untuk menyapa.
"Kaluna, kamu mau kemana, Nak?" cegah, Baskoro, membuat langkah Kaluna terhenti.
Wanita itu berbalik, menatap Papa dan mamanya dengan raut wajah datar, yang sulit untuk dipahami.
"Seperti yang Papa dan Mama lihat. Aku menggeret koper ini, itu berarti aku akan pergi dari rumah ini," sahut Kaluna masih tanpa ekspresi.
"Kenapa kamu pergi, Nak? Dan kamu mau pergi ke mana?" tanya Soraya sembari melangkah menghampiri putri sulungnya itu.
"Mama masih bertanya, kenapa aku harus pergi?" cetus Kaluna dengan sudut bibir yang tertarik sedikit ke atas, tersenyum sinis.
"Aku pergi karena aku ingin bisa hidup bahagia, Ma. Sementara kalau di rumah ini, aku sama sekali tidak bahagia. Tolong jangan larang aku! Aku pamit!" Kaluna kembali berbalik dan mulai mengayunkan kakinya.
"Mama dan Papa memutuskan untuk menerima lamaran Nak Langit, Nak!" celetuk Soraya, membuat langkah Kaluna kembali berhenti.
Wanita itu kembali memutar tubuhnya, tapi kali ini dengan sebuah senyuman di bibirnya. Wajah kusut yang dari tadi menghiasi wajahnya, kini terhempas entah kemana.
"Serius, Ma?" tanya Kaluna, antusias dengan binar di matanya.
Soraya tersenyum dan menganggukkan kepala, mengiyakan. "Tapi, dengan satu syarat, Nak. Mama dan Papa harap kamu mau menerima syaratnya,"
Senyum yang tadi menghiasi bibir Kaluna, menyurut seketika. Binar yang tadi terlihat di matanya, meredup seketika, begitu mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari mulut mamanya.
"Syarat? Apa untuk kebahagiaanku saja harus dengan syarat?" sindir Kaluna.
"Bukan seperti itu, Nak. Kamu jangan salah paham dulu!" sambar Soraya dengan cepat.
"Ahh, sudahlah! Sekarang, Papa dan Mama jelaskan saja, apa syaratnya?" cetus Kaluna, sinis.
Baskoro dan Soraya tidak langsung menjawab. Pasangan suami istri paruh baya itu saling pandang untuk beberapa saat seakan bertanya siapa di antara mereka berdua yang akan buka mulut.
Baskoro sepertinya yang akan berbicara, karena pria itu terlihat mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan.
"Nak, Papa dan Mama meminta padamu, jika kamu memang harus menikah dengan Langit, kalau kalian berdua bersedia,papa dan mama meminta agar pernikahan kalian dilakukan dengan diam-diam,"
Kaluna sontak terkekeh dengan raut sinis mendengar permintaan papanya barusan.
"Kenapa harus diam-diam? Apa aku tidak pantas untuk merayakan dan memperlihatkan kebahagiaanku pada semua orang? Apakah mama dan Papa tahu, kalau aku dan Langit, punya pesta pernikahan impian? Apa aku tidak pantas merealisasikan impian pernikahan yang sudah aku dan Langit rencanakan itu, Ma, Pa?" cecar Kaluna, beruntun.
"Bukan seperti itu, Nak. Kamu tolong jangan __"
"Tolong jangan salah paham dulu! Itukan yang ingin mama katakan?" sambar Kaluna dengan cepat menyela ucapan sang mama.
"Ma, Pa, kenapa kalian terlihat seperti tidak ingin aku bahagia? Apa salahku? Setahuku, semua orang tua, begitu bahagia bisa melihat anaknya bahagia dengan hidupnya, tapi kenapa kalian berdua berbeda?" sambung Kaluna lagi, seraya berusaha menahan agar air matanya tidak keluar. Untuk kali ini dia ingin bisa terlihat tegar di depan orang tuanya itu
"Luna, kami juga ingin melihat kamu bahagia, Nak. Tapi, Papa dan mama memintamu untuk melakukan pernikahan diam-diam dengan Langit, agar adik kamu Qinara tidak terluka. Tolong paham kondisi ini, Nak!" wajah Baskoro terlihat semakin memelas.
Kaluna mendengkus, kemudian tersenyum sinis. "Sudah kuduga, kalau permintaan mama dan Papa tadi, ada hubungannya dengan perasaan anak kesayangan kalian itu. Sepertinya kalian tidak ingin dia bersedih, tapi kalian tega membuatku bersedih. Kenapa sih Mama dan Papa pilih kasih? Kesalahan apa yang sudah aku perbuat sampai kalian berdua, setega itu padaku?" ucap Kaluna
"Aku tadi sudah sempat bahagia, karena merasa kalian sudah memikirkan kebahagiaanku. Tenyata pemikiranku salah. Mama dan Papa kembali menghempaskan perasaanku, sampai jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan sekarang justru lebih menyakitkan, Pa, Ma," sambung Kaluna lagi.
Soraya kembali meneteskan air mata. Sumpah demi apapun, hati wanita paruh baya itu kembali sakit mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut putri sulungnya itu.
"Maafkan kami, Nak. Kami benar-benar tidak bermaksud untuk __"
"Sudahlah, Ma. Mama tidak perlu menjelaskan apa pun lagi. Tapi, yang pasti, aku pastikan aku dan Langit akan tetap menikah dan melangsungkan pernikahan seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Aku pamit, Ma, Pa!" Kaluna, memutar tubuhnya kembali dan melangkahkan kakinya.
"Qinara dari kecil punya penyakit jantung, Luna!"
Kaluna yang belum terlalu jauh melangkah, seketika menghentikan langkahnya, mendengar ucapan papanya, barusan.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Lina ciello
lha ngopo dari awal tok bedak ke..
2024-06-01
0
Cattylalala
namanya Qinara apa Qirani sih kak. aku bingung
2024-05-05
0
Ketawang
Tidak suka sama sifat & sikap org tua yg sperti ini...jelas" pilih kasih..apapun alasannya shrusnya tidak mngabaikan bhkan mngorbankan anak lainnya😏😠
2024-04-17
0