Cuaca mendung seakan mendukung Geng Aodra ketika memasuki sebuah pemakaman umum yang lumayan jauh dari lingkungan mereka. Butuh waktu sekitar 47 menit untuk mereka mengendarai motor dan sampai ditempat ini. Sagara sebagai ketua geng memimpin jalan mereka, ia berjalan lebih dahulu untuk menuju salah satu makam yang selalu ia datangi kurang lebih dua kali dalam sebulan. Kali ini, ia membawa teman-temannya. Bukan apa-apa, mereka yang memaksa ikut karena malam ini Sagara tidak boleh sibuk belajar dan wajib melaksanakan party dengan mereka.
Langkah kaki Sagara terhenti ketika ia melihat batu nisan dengan tulisan ‘Rigel Syans’. Tempat inilah yang menjadi tempat terakhir Abang kandungnya beristirahat. Senyuman simpul terukir diwajah Sagara, ia segera berjongkok dan memegang batu nisan tersebut.
“Halo a Rigel, papanggih deui euy arurang!” Janu segera berjongkok tepat di seberang Sagara. “Urang cuma mau ngasih tau a, kalo si Sagara ini emang keren pisan! Lihat dia menang piala gini a!” Ucap Sagara dengan penuh semangat dan menunjukkan piala Sagara yang ada ditangannya pada makam yang ada didepannya, seakan-akan ia memang sedang berbicara dengan Rigel, kakak kandung Sagara.
Translate: Halo Bang Rigel, ketemu lagi nih kita! Gue cuma mau ngasih tau Bang, kalo Sagara ini emang keren banget! Lihat dia dapetin piala ini bang!
Kaivan dan Rafa yang melihat itu tersenyum tipis dan ikut berjongkok disamping Sagara dan Janu.
“A Rigel masih inget Rafa kan, a? Pas Rafa SMA kan kita kenalannya.” Kekehan pelan dapat terdengar dari keempat pria tersebut.
Translate: Bang Rigel masih inget Rafa kan, bang? Pas Rafa SMA lho kita udah kenalan.
“A Rigel pasti bangga banget sama Sagara. Masa dia cape-cape belajar buat dapet beasiswa, padahal saya yang mau bayar kuliahnya, a. Gak habis pikir saya a, ngelihat adenya a Rigel.”
Melihat teman-temannya yang berbicara pada makam kakaknya membuat Sagara mengulum senyumnya. Pria itu mengusap batu nisan kakaknya dan hanya terdiam, tidak mengucapkan satu patah kata pun. Melihat hal itu, Janu segera menyimpan piala yang ia bawa diatas makam Rigel dan memberikan kode kepada Kaivan dan Rafa jika mereka harus meninggalkan Sagara sendiri dan memberikan waktu berdua untuk Sagara dengan makam kakaknya.
Sagara menghembuskan nafasnya pelan ketika ia sadar teman-temannya meninggalkan dia dan memberikan waktu agar dia bisa mengobrol dengan makam sang kakak. Tangan Sagara meraih piala yang Janu simpan diatas makam Rigel dan ia tersenyum lebar.
“Gara menang lomba, a.” Tangan Sagara menggenggam piala tersebut dan mengulum senyumannya. Ia menunjukkan piala yang ada ditangannya pada makam sang kakak. “Nanti Gara mau ikutan lomba lagi, biar piala dirumah makin banyak, biar a Rigel seneng lihatnya.”
Sagara menelan ludahnya dan menghembuskan nafasnya pelan, dadanya kembali sesak. Ia selalu menginginkan kakaknya kembali, namun hal itu tidak akan pernah terjadi. Rasa sesak itu semakin muncul dan bahkan menumpuk selama bertahun-tahun dan menjadi dendam yang sangat membara.
Tangan Sagara mengepal dengan kuat, “A Rigel tenang aja, bakal Gara bales a. Apapun caranya, Gara bakal bales dendam.”
...****************...
“Mas, minta rokok.”
Kaivan segera memberikan satu bungkus rokok pada Sagara. Kepulan asap rokok menemani dinginnya udara Bandung dimalam hari. Bukan hanya itu, beberapa jenis botol minuman keras berdiri dengan tegak diatas meja. Kini Geng Aodra sedang berada basecamp mereka, lebih tepatnya di halaman depan. Kaivan yang membeli tempat ini dan menjadi basecamp tetap untuk Geng Aodra.
Sebuah rumah dengan fasilitas lengkap. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Memiliki banyak lahan kosong. Jika dilihat dari atas, rumah ini berada ditengah-tengah, baik dari belakang, dari depan dan dari samping, rumah ini memiliki lahan kosong. Lahan kosong ini ditumbuhi oleh rumput-rumput pendek. Kaivan bilang, ia membeli dan merapihkan rumah ini agar nyaman dan menjadi rumah untuk Geng Aodra.
Rumah ini juga dikelilingi oleh gerbang tinggi dan dijaga oleh 2 bodyguard, 1 tukang kebun dan 1 pembantu. Tugas mereka adalah menjaga dan merawat rumah itu dengan baik. Terkadang, Kaivan lebih sering datang ke rumah ini dibandingkan rumah megah milik Ayahnya. Ia merasa lebih tenang dan nyaman disini. Rumah ini tidak dekat dengan pemukiman warga, sehingga tidak akan jadi masalah jika mereka membuat keributan didalam rumah ini.
Didalam rumah tersebut, terdapat ruang tengah, dapur dan beberapa kamar. Ruang tengah akan diisi dengan beberapa sofa, televisi, satu layar infocus dan papan tulis. Ruang tengah ini menjadi ruang rapat mereka. Ada juga satu ruangan khusus, dimana Kaivan yang mengambil alih ruangan tersebut dan mencari berbagai informasi yang ia butuhkan. Ruangan tersebut berisi 3-4 komputer.
“Oh heeh, soal Geng Dragon, maneh udah dapet infonya Mas?”
Translate: Oh iya, soal Geng Dragon, lo udah dapet infonya Mas?
Kaivan menggeleng mendengarkan pertanyaan dari Sagara, pria itu menggoyangkan wine yang berada pada gelas yang ada ditangannya. “Gak tau kenapa, informasi mereka susah saya tembus.”
“Pantes we arurang karek apal aya ngaran Geng Dragon. Informasi na ge tertutup.” Ucap Rafa. “Tapi biasana lamun kitu, berarti geng na emang hadenya Mas?”
Translate: Pantes aja kita baru tau nama Geng Dragon. Informasi soal mereka aja tertutup. Tapi biasanya kalo kayak gitu, berarti geng mereka emang bagus ya Mas?
Kaivan mengangguk, “Biasanya kalo geng tertutup kayak ini, mereka ada hubungannya sama bisnis hitam, kita harus hati-hati.”
“Bisnis hitam…” Gumam Sagara pelan.
“Kamu gak ngejar Danica lagi, Nu?” Ada sedikit tawa ledekan dari pertanyaan yang diberikan oleh Kaivan. Pria itu menuangkan wine pada gelas Janu, sedangkan sang pemilik gelas menatapnya dengan sinis dan segera meneguknya dalam satu kali tegukan. Kaivan melakukan hal itu karena Janu sedari tadi hanya meneguk wine dengan cepat, ia mengira jika Janu sedang patah hati, makanya ia membahas soal Danica.
“Soal Danica, maneh dapet info lain gak Mas?” Rafa menghisap rokoknya dan bertanya pada Kaivan. Pria yang ditanya hanya menggeleng pelan sembari meneguk satu gelas wine.
“Kita harus hati-hati sama Danica.” Ucap Sagara setelah menghisap rokok yang diapit oleh jari tengah dan jari telunjuknya. “Dia kelihatan gak bahaya, tapi tetep aja harus waspada. Kemarin dia gak terima ngelihat aing menang lomba.”
“Si Danica ngancem maneh?”
Translate: Danica ngancem lo?
Sagara menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Rafa, “Pas kemarin tes ngerjain soal matematika, si eta lainna fokus ngerjakeun kalakah melongkeun aing.”
Translate: Pas kemarin tes ngerjain soal matematika, dia bukannya fokus ngerjain malah ngelihatin gue.
“Bogoh?”
Translate: Suka sama lo?
Celetukan dari Rafa malah membuatnya mendapatkan tatapan sinis dari Sagara dan Kaivan.
“Nya hampura, heureuy lur.” Rafa terkekeh pelan dan meneguk satu gelas wine.
Translate: Iya maaf, becanda bro.
“Terus selain ngelihatin kamu, dia ngapain lagi?”
“Ngan nempokeun.” Sagara terdiam sebentar menjawab pertanyaan dari Kaivan dan kembali mengingat kejadian satu bulan yang lalu. “Tapi kalakuanna aneh. Leungeun si eta gemeter, kesangan oge. Aing gatau dia ada penyakit panik pas ngerjakeun soal atau kumaha.”
Translate: Cuma ngelihatin. Tapi kelakuannya aneh. Tangan dia gemeter, keringetan juga. Gua gatau dia punya penyakit panik pas ngerjain soal atau gimana.
“Terus tadi pas si eta ngelihat piala aing, si eta cigah nu sedih pisan.”
Translate: Terus tadi pas dia ngelihat piala gua, dia kayak yang sedih banget.
“Naha kitunya?” Rafa bergumam pelan.
Translate: Kok gitu ya?
“Menurut kamu, Nu. Danica gimana orangnya? Kan kamu udah pernah deketin dia.” Kini Kaivan mengalihkan pertanyaannya pada Janu.
Sedari tadi, Janu tidak ikut mengobrol dengan teman-temannya dan hanya meneguk wine tanpa henti. Keadaan Janu menjadi aneh ketika ia izin pulang sebentar. Harusnya dari jam 5 mereka sudah kumpul di basecamp, namun Janu baru datang pada jam 8 malam.
“Baru jam 9, jangan dulu teler sia teh, Janu!”
Translate: Baru jam 9, jangan dulu mabok lu, Janu!
Rafa menggelengkan kepalanya dan menghisap rokok yang ada ditangannya. Pria itu memperhatikan Janu yang dengan cepat menghabiskan setengah botol wine. Sepertinya keadaan pria itu sedang buruk.
“Pelan-pelan.” Tangan Sagara segera menepuk pundak Janu dan meremasnya pelan. “Maneh punya masalah apa?”
“Ahhh anjing!” Janu menghempaskan tangan Sagara dan segera bangkit dari duduknya.
“Geus lah, geus teler ieu mah.” Rafa yang melihat Janu berjalan sempoyongan segera menghampiri Janu.
Translate: Dahlah, udah mabok ini.
“ANJINGGGG!”
Janu semakin tak terkendali, ia mendorong Rafa yang sedang memeganginya sampai Rafa hampir terjatuh. Melihat hal ini, Kaivan segera mengambil alih dan mencengkram kerah Janu dengan kuat.
“Saya gak larang kamu mabok, tapi jangan bikin keributan.”
Mendengar hal tersebut, tubuh Janu semakin lunglai dan mencengkram jaket yang Kaivan gunakan. Tangan Janu gemetar dan kepalanya tertunduk, perlahan ia menjatuhkan tubuhnya dan berlutut didepan Kaivan.
“Si kembar… anying, karunya si kembar…” Gumam Janu dengan suara yang bergetar. Tangannya memukul-mukul tanah.
Translate: Si kembar… Anjing, kasihan si kembar.
“Kunaon Nu?” Rafa yang melihat Janu berlutut di atas tanah segera mendekat dan memegang pundak pria tersebut, “Kunaon si kembar? Tadi kan maneh balik, si kembar aya di imah kan?”
Translate: Kenapa Nu? Si kembar kenapa? Tadi kan lo pulang, si kembar ada dirumah kan?
Janu menggelengkan kepalanya pelan dan terisak, “Ahh anjing… Indung aing cigah setan!” Teriak Janu penuh dengan emosi. “Masa aing ngelihat si Iyan kepalanya berdarah, terus mereka bilang indung aing marah-marah karena mereka minta uang buat bayar sekolah.” Janu menatap Rafa dan memegang bahu pria kecil itu dengan kuat, “Indung aing mukul kepala si Iyan pake botol kaca anying!”
Translate: Ahh anjing… nyokap gua kayak setan! Masa gua ngelihat Iyan kepalanya berdarah, terus mereka bilang nyokap gua marah-marah karena mereka minta uang buat bayar sekolah. Nyokap gua mukul kepala Iyan pake botol kaca anjing!
“Terus kumaha atuh ayeuna adi maneh?” Sagara segera mendekat dan berjongkok didepan Janu. “Si kembar kumaha ayeuna?”
Translate: Terus gimana sekarang adik lo? Si kembar gimana sekarang?
Kepala Janu terangkat dan menatap mata Sagara. Tatapan mata Janu terlihat sangat sedih, perlahan kelopak mata tersebut tidak bisa menahan air matanya dan tertunduk lemah.
“Jawab aing anjing! Kumaha ayeuna si kembar!?” Melihat Janu yang tidak menjawab pertanyaannya, Sagara segera memegang kedua bahu Janu dan meremasnya, nada suaranya menjadi tinggi. “Jawab!”
Translate: Jawab gua anjing! Gimana sekarang si kembar!? Jawab!
Dengan tenaga yang tersisa, Janu melepaskan cengkraman tangan Sagara di kedua bahunya. Ia melihat Kaivan dan berjalan dengan lututnya untuk mendekati Kaivan. Janu menyatukan kedua telapak tangannya dan memohon pada Kaivan sembari terisak.
“Aing tau, aing nyusahin maneh terus Mas. Tapi aing mohon… Si Iyan lagi kritis dirumah sakit, aing disuruh bayar biaya pengobatan tapi aing gapunya uang. Tolong bantuin aing, Mas.”
Melihat Janu yang hendak sujud dan membiarkan dahinya hampir mengenai tanah, Kaivan segera membantu Janu untuk berdiri dengan tegak dihadapannya.
“Gak usah mohon-mohon gitu sama saya. Kan saya udah bilang, kalo ada apa-apa bilang aja sama saya. Saya yang bayar semuanya.” Kaivan menatap manik mata Janu dengan tulus. “Termasuk biaya sekolah si kembar, saya aja yang bayar.”
Janu tidak tau harus mengatakan apa dan berterimakasih dengan cara bagaimana ketika ia memiliki teman sebaik dan setulus Kaivan. Dadanya yang sedari tadi sesak, kini menjadi lega. Air matanya terus mengalir dan tangannya segera meraih Kaivan dan memeluknya dengan erat.
“Nuhun pisan, Mas!”
Translate: Makasih banyak, Mas!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments