“Duduk aja Gar, saya gak akan kemana-mana.” Ucap Kaivan sembari melihat Sagara yang sedari tadi berdiri disamping Kaivan dan dokter yang sedang mengobati Kaivan. Hanya Sagara yang berdiri disamping Kaivan sedangkan Rafa dan Janu duduk di sofa yang ada didalam kamar tersebut.
Sagara tidak memperdulikan ucapan Kaivan dan masih terus memperhatikan dokter dan luka Kaivan yang sedang diobati. Setelah beberapa menit, akhirnya dokter tersebut selesai mengobati Kaivan. Sesudah itu, akhirnya Sagara bisa duduk disalah satu kursi yang ada disamping tempat tidur Kaivan.
“Saya baik-baik aja, Gar.”
“Bapa maneh mabuk lagi?”
Pertanyaan Sagara hanya mendapatkan anggukkan dari Kaivan. Sagara menghembuskan nafasnya dan memegang bahu Kaivan. “Maneh tinggal di basecamp aja ya.”
“Gar—”
“Ini perintah dari aing.”
Mendengar kalimat tersebut membuat Kaivan menatap mata Sagara dengan serius. Tatapan Sagara juga menunjukkan jika ia serius dalam perkataannya.
“Wesss… Kalem dong bro.” Janu mendekati Sagara. “Gar, kan maneh apal alesan si Mas sa imah keneh jeung bapana.” Janu segera mencairkan suasana dingin diantara keduanya. Tangannya memegang bahu Sagara.
Translate: Wesss… Santai dong bro. Gar, kan lo tau apa alesan si Mas masih serumah sama bapanya.
“Nya karena urang apal jadi urang nitah si Mas tinggal di basecamp.” Ucap Sagara sedikit emosi.
Translate: Iya karena gue tau jadi gue nyuruh di Mas buat tinggal di basecamp.
“Saya tau kamu khawatir. Tapi ini pilihan saya, Gar. Saya beneran gapapa.”
Sagara menghembuskan nafasnya dengan kasar dan menatap Kaivan dengan tatapan dingin.
“Percaya sama saya Gar, saya beneran gapapa.”
Tatapan Sagara masih dingin ketika menatap Kaivan. Maksud dan tujuan Sagara menyuruh teman-temannya tinggal di basecamp adalah agar mereka dapat menghindari keluarga mereka sendiri dan hidup tanpa terluka. Sagara benar-benar tidak tega jika harus terus-terusan melihat teman-temannya terluka. Solusi yang Sagara berikan adalah memisahkan mereka dari keluarga mereka masing-masing. Memang terkesan jahat, namun hal ini lebih baik untuk dilakukan daripada harus menerima luka secara terus-menerus.
“Mas Kaivan!” Teriakan dari Iran dan pintu kamar Kaivan yang tiba-tiba terbuka membuat keempat orang itu menoleh dan menatap pada sikembar dan Danica yang masuk kedalam kamar.
“Heh bocil! Naha can sare?” Janu menatap kedua adiknya yang mendekati Kaivan dan mengecek keadaan Kaivan.
Translate: Heh bocil! Kenapa belum tidur?
“Mas Kaivan kunaon? Naha jadi sarua cigah si ade.” Ucap Iran sembari melihat perban yang melilit dikepala Kaivan dan Iyan secara bergantian.
Translate: Mas Kaivan kenapa? Kenapa jadi sama kayak si ade.
“Heh bocil, gandeng! Geus jam 2, isuk maraneh moal sakola?” Janu menarik Iran yang ada disamping Kaivan.
Translate: Heh bocil, berisik! Udah jam 2, besok kalian gak akan sekolah?
“Ih tunggu! Mau ucapin selamat malam dulu sama si teteh cantik.” Ucap Iran melepaskan tangannya dari Janu dan mendekati Danica.
Danica tersenyum dan membungkukkan tubuhnya untuk mengusap kedua puncak kepala sikembar, “Besok sekolah yang bener ya, Iran, Iyan.”
“Siap teh cantik!” Iran memberikan hormat pada Danica sedangkan Iyan malah tersipu malu.
Danica mencubit pelan pipi Iyan dan tersenyum, “Kamu juga harus bisa banyak ngomong kayak Iran, jangan banyak diem gini. Omongin apa yang mau kamu omongin dan lakuin apa yang mau kamu lakuin.”
Mendengar hal tersebut, Iyan hanya mengangguk pelan dan tersenyum. Setelah itu sikembar pergi meninggalkan kamar Kaivan.
“Nu, besok kamu mau anter mereka ke sekolah atau saya nyuruh anak buah saya buat nganter mereka pake mobil?”
“Aing aja yang nganter. Besok aing bisa bangun pagi buat nganter mereka.”
Kaivan mengangguk mendengar jawaban dari Janu, perlahan matanya melirik Danica yang terlihat canggung dan hanya berdiri. Kaivan melirik Janu dan memberikan kode kepada Janu agar menyuruh Danica untuk duduk.
“Gak cape berdiri neng? Di sini masih ada tempat duduk, duduk aja dulu biar gak pegel.” Ucap Janu lalu duduk disamping Rafa.
Merasa diajak bicara, akhirnya Danica mengangguk dan duduk disalah satu sofa yang jauh dari tempat duduk Janu dan Rafa. Wanita itu merasa belum terlalu akrab dengan mereka berempat dan masih menjaga jarak.
“Kok kamu bisa ada didalam mobil geng motor itu?” Rafa mencairkan suasa dengan memberikan pertanyaan kepada Danica. Karena Rafa yakin, bukan hanya dia yang penasaran, teman-temannya yang lain juga ikut penasaran.
“Gue tadi cuma jalan-jalan gak jelas aja selesai dari kampus, eh tiba-tiba ada sekelompok orang yang bawa gue masuk ke mobil mereka. Gue kira gue diculik, gue udah takut dan bingung mau gimana. Tapi untungnya mereka malah berantem dulu sama lo pada, dan…” Danica terdiam sebentar. “Makasih udah nolongin gue.”
“Mereka nyandera tanpa alasan?” Kaivan menatap Sagara yang duduk disampingnya.
“Cigahna, barudak eta apal arurang sa kampus.” Tebak Sagara.
Translate: Kayaknya, mereka tau kita sekampus.
“Kamu pulang malem dari kampus?” Kini Janu yang bertanya pada Danica.
Danica menggaruk tengkuknya yang tak gatal,
“Iya. Soalnya gue ada urusan diperpus tadi, jadi gue keluar dari kampus agak malem.” Cicitnya. Mata wanita itu melirik Sagara, namun pria itu tidak melihat kearahnya dan terlihat seperti memikirkan sesuatu.
“Pantes we.” Gumam Rafa sembari menyenderkan punggungnya pada sofa.
Translate: Pantes aja.
“Tapi gue juga punya sepupu anak geng motor kok, siapa tau mereka ngincer gue karena itu juga. Jadi, mungkin ga seutuhnya mereka nangkep gue buat jadi kelemahan kalian.”
“Sepupu? Siapa?” Rafa menatap Danica dengan intens.
“Ya sepupu gue di Jakarta. Gue gatau apa nama geng mereka, cuma gue pernah lihat kalo setiap anggota mereka punya tato naga di leher mereka.”
“Maksud kamu tato kayak gini?” Kaivan segera menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan sebuah logo dengan gambar naga.
“Nah iya! Itu tato yang ada dileher sepupu gue sama anggotanya.”
Keempat pria tersebut saling berpandangan dan hanya diam setelah mendengarkan informasi dari Danica. Kaivan menatap Sagara dan pria itu menggeleng pelan, memberikan kode pada Kaivan agar tidak membahasnya lebih dalam lagi.
Setelah membahas hal tersebut, semuanya terdiam. keheningan menghiasi ruangan tersebut. Danica melirik satu-persatu pria yang ada didalam ruangan tersebut. Ia melirik pria kecil yang duduk disamping Janu, ia belum mengenal pria itu secara langsung. Namun ia sudah mencari informasi mengenai Geng Aodra. Pria kecil itu bernama Nayaka Rafanial atau biasa dipanggil Rafa. Pria itu sangat gemas saat beriteraksi dengan anak anjing yang sedari tadi ada di pangkuannya. Bukan hanya pria itu, Janu juga ikut berinteraksi dengan anak anjing tersebut.
Dari keempat pria yang ada didalam ruangan ini, pria yang Danica kenal secara langsung hanya Janu dan Sagara. Janu yang pernah mencoba mendekatinya dan Sagara yang pernah ia cium. Danica mengumpat pelan di dalam hatinya jika mengingat kejadian tersebut. Padahal itu ciuman pertamanya, namun ia sudah memberikan hal tersebut secara cuma-cuma pada Sagara. Belum lagi Sagara yang terlihat seperti tidak terjadi apa-apa malah membuat Danica kesal. Apakah pria itu tidak melihat jaket hitamnya yang ia kenakan?
Tidak mau hanya berfokus pada Sagara, Danica melirik pada pria yang sedang duduk diatas tempat tidur yang sedang memainkan ponselnya. Pria ini yang tadi kepalanya terluka dan Sagara sangat mengkhawatirkannya. Wajahnya sedikit berbeda dari ketiga temannya. Mungkin dia bukan asli orang bandung?
Danica masih ingat ketika pria itu mengancamnya agar tidak melakukan hal yang dapat merugikan Sagara. Pria itu menggunakan bahasa Indonesia dengan sangat fasih, berbeda dengan ketiga temannya yang terkesan kaku dan nada sunda yang melekat dengan sangat kental. Jika dilihat dari informasi yang sudah Danica cari, pria ini bernama Kaivan Bawana.
Tidak bisa membiarkan keheningan dan kecanggungan semakin memenuhi ruangan tersebut, Danica berdehem pelan dan mulai berbicara, “By the way, gue belum tau nama kalian semua dan kita belum pernah kenalan secara resmi.” Cicitnya pelan.
“Gak usah bohong, kamu udah tau informasi tentang kita.” Nada tegas dari Sagara membuat Danica semakin ciut. Belum lagi tatapannya yang tajam membuat Danica menundukkan kepalanya.
“Dia tau identitas kita?”
“Dia sekelas sama maneh Mas.”
Percakapan dari Sagara dan Kaivan membuat Janu dan Rafa terlihat kaget. Kedua pria itu segera menatap Danica dengan intens.
“Saya kira kamu cuma orang kaya yang punya banyak perusahaan aja, ternyata kamu sekelas sama si Mas.”
Pertanyaan dari Janu membuat Danica mengernyit, “Mas siapa?”
“Mas Kaivan.”
Danica mengangguk pelan mendengarkan jawaban tersebut dan melirik Kaivan yang sedang menatapnya. Wanita itu menjadi kikuk. “Gue gak bisa cari lebih banyak, gue cuma bisa cari informasi sekilas aja. Kayak nama kalian, apa yang kalian lakuin…” Danica terdiam sebentar. “Mungkin ada beberapa yang gak valid juga. Masa gue nemu informasi tentang kalian yang punya panti asuhan.” Danica tertawa kikuk. “Itu gak mungkin kan?”
Pertanyaan dari Danica tidak mendapat respon atau tolakan dari keempat pria tersebut, mereka hanya menatap Danica tanpa berbicara. Hal itu membuat Danica menelan ludahnya, apakah mereka benar-benar mendirikan panti asuhan?
“Apalagi yang kamu tau tentang kita?”
“Cuma itu. Gak ada lagi.” Jawab Danica cepat ketika mendapatkan pertanyaan dari Kaivan.
“Bohong.” Ucap Sagara dengan nada dingin. “Tadi siang kamu bahas soal masalah ekonomi saya.”
“Dia ngancem kamu?” Nada bicara Kaivan menjadi tinggi. Rafa dan Janu yang sedari tadi duduk dan mendengarkan percakapan mereka segera berdiri dan menatap Danica dengan tatapan tidak percaya.
Melihat keadaan yang semakin memanas Danica segera berdiri, “Oke, oke… Gue akui gue bisa cari informasi kalian. Gue cuma tinggal nyuruh tangan kanan bokap gue buat minta semua hal yang gue mau.”
“Jadi, kamu nyuruh orang?”
“Iya. Karena gue gatau caranya buat nyari informasi kayak gitu sendiri.”
“Berarti masih beda kelas sama si Mas.” Ucap Janu dan kembali duduk dikursi sofa disusul oleh Rafa.
Melihat suasana yang sudah kembali tenang, Danica kembali duduk. Namun ia masih sangat penasaran mengenai mereka. “Jadi, soal kalian yang bikin panti asuhan itu bener?”
“Bener.” Jawab Rafa. “Anak-anak tadi yang bantu kita, itu anak didik kita.”
“Tapi anggota kalian cuma 4 orang?”
“Ya emang kenapa sih kalo cuma 4 orang?”
“Gue cuma nanya aja, biar gue gak penasaran lagi.” Cicit Danica ketika mendengar nada bicara Rafa yang terdengar kesal. “Alasan kalian cuma 4 orang, kenapa?”
“Gak ada alesan penting, kita cuma gak bisa mudah percaya sama orang lain.” Kini Janu yang menjawab pertanyaan dari Danica. “Anak-anak kemarin juga kita ambil di jalanan. Daripada mereka ngemis, lebih baik kita yang urus mereka.”
“Kalian maksa mereka buat jadi tameng kalian?”
Janu tertawa, “Ya jelas ngga. Kita kasih pilihan ke mereka. Mau belajar beladiri dan bantu kita atau mau belajar sekolah biasa. Dan rata-rata dari mereka mau belajar beladiri, ya akhirnya kita dapet anak didik yang jago beladiri semua.”
“Ini kenapa malah kamu yang ngewawancarain kita, emang dia boleh gitu sama kita Gar?” Rafa mendelik dan menatap pada Sagara.
Mendengar pertanyaan dari Rafa yang tertuju padanya, Sagara hanya menggeleng pelan dan memberikan kode agar membiarkan Danica.
“Satu pertanyaan lagi. Gue tau yang punya bisnis dan perusahaan disini cuma Kaivan. Tapi kenapa kalian semua belajar manajemen bisnis? Kaivan ada niatan buat bikin kalian kerja diperusahaan kalian atau gimana?”
Keempat pria yang mendengar pertanyaan tersebut saling berpandangan dan disusul oleh kekehan Janu dan Rafa.
“Ternyata informasi tentang saya belum disebarluasin ya?” Rafa terkekeh dan menatap Danica, “Orangtua saya juga punya perusahaan.” Ungkapnya. “Cuma belum bisa saya pegang karena umur saya belum 23 tahun.”
Danica mengangguk-anggukkan kepalanya, “Semacam surat wasiat gitu ya?”
“Heh, kok kamu bisa tau hal yang begituan?”
Mendengar pertanyaan dari Janu, Rafa segera memukul bahu Janu, “Enya kan si eta jelma beunghar anjir, jadi pasti apal lah soal masalah nu kararieu.”
Translate: Iyakan dia orang kaya anjir, jadi dia pasti tau lah soal masalah yang kayak gini.
“Oh heeh..” Gumam Janu. “Eh, berarti maneh ge termasuk jelma beunghar atuh?” Janu menatap pada Rafa dengan tidak percaya.
Translate: Oh iya.. Eh, berarti lo juga termasuk orang kaya dong?
“Henteu oge sih.” Rafa mengangkat kedua bahunya. “Eta mah kan warisan ti indung bapa urang.”
Translate: Gak juga sih. Itu kan warisan dari orangtua gue
“Kalian ngomong apa sih? Gue gak paham.”
Janu dan Rafa menatap Danica, mereka lupa jika mereka tidak hanya berempat. Ada orang baru dalam ruangan ini dan ia tidak mengerti bahasa sunda seperti Kaivan.
“Eh hampura, lupa.” Kekeh Janu pada Danica.
“Hampura itu apa?”
“Maaf. Itu artinya Maaf.” Jawab Janu.
“Kayaknya kita harus buka les bahasa sunda buat kamu.”
Danica tau jika dari keempat pria yang ada didepannya, Janu adalah pria yang selalu flirting ketika berbicara. Ia tidak mempedulikan hal tersebut dan kembali bertanya, “Jadi, apa jawaban untuk pertanyaan gue tadi?”
“Gak ada alasan khusus.” Kini Sagara yang menjawab. “Kita cuma mau belajar soal bisnis dan bikin bisnis kita bareng di masa depan.” Sagara menatap Danica yang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang giliran saya yang nanya sama kamu.”
Seketika Danica terkejut dengan Sagara yang tiba-tiba akan menginterogasinya, “Soal gue? Apa?”
“Kenapa kamu keluar dari kampus malem-malem, bukannya kamu selalu diantar jemput?”
“Eh soal itu—”
“Dan kenapa kamu ngasih penawaran itu buat saya? Kenapa kamu ngerendahin diri kamu buat saya?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari Sagara membuat Danica membulatkan matanya. Bukan hanya Danica, ketiga teman Sagara juga ikut kaget mendengarkan pertanyaan dari Sagara untuk Danica. Janu sempat ingin berdiri dan protes mengenai pertanyaan yang Sagara berikan, namun tangan Rafa segera menahannya. Tatapan tajam dari Kaivan pun membuat Janu terdiam. Sebaik apapun Sagara pada mereka, jika Sagara sedang dalam mode serius, mereka semua harus mendengarkan Sagara.
Danica menghembuskan nafasnya pelan, “Oke, gue bakal ceritain semuanya.” Danica terdiam sebentar dan melihat keempat pria tersebut yang sudah menatapnya dengan serius, termasuk Sagara. “Gue gak mau pulang karena gue gak mau ketemu sama bokap gue. Terus, soal tawaran yang gue kasih ke elo.” Danica menghentikan kalimatnya dan menatap Sagara. “Itu buat bokap gue.”
Tidak ada jawaban langsung dari Sagara, ia tetap mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Danica. Berbeda dengan Janu dan Rafa yang ingin segera bersuara, namun Kaivan memberikan kode kepada mereka agar membiarkan Sagara dan Danica saja yang berbicara.
“Bokap gue gak bisa kalo gue gak jadi nomor satu. Gue harus jadi nomor satu, itu kata bokap gue. Makanya pas bokap gue tau gue kalah dari lo, dia marah dan luka dipunggung gue itu gara-gara dia.” Danica menghembuskan nafasnya pelan. “Makanya gue ngelakuin cara apapun biar lo mau nurunin nilai lo dan biarin nilai gue lebih tinggi. Lo gak mau nerima uang yang gue kasih dan selain uang, tawaran yang bisa gue kasih cuma itu..” Ucap Danica pelan sembari menundukkan kepalanya.
“Bentar, tawaran yang lain itu apa?” Rafa segera berdiri dan menatap Danica dengan Sagara secara bergantian.
“Jangan bilang..” Kaivan menghentikan kalimatnya dan menatap Sagara.
“Apa anjing ada apa? Aing ketinggalan apa? Padahal aing gak ke kampus cuma satu hari doang, tapi kenapa kayak ketinggalan info selama bertahun-tahun?” Janu mengungkapkan keluh kesahnya sembari berjalan mondar-mandir diruangan tersebut.
“Jaket kamu kenapa bisa ada di Danica, Gar?” Pertanyaan ulti dari Kaivan membuat Danica gelagapan.
“Anjing iya, baru sadar!”
Rafa memekik sembari menatap Sagara tidak percaya. Sedangkan Janu menjatuhkan tubuhnya dan menjadikan sang lutut sebagai tumpuannya untuk berdiri.
“Tong riweuh, aing teu ngalakukeun nanaon.” Jawab Sagara tak acuh.
Translate: Jangan heboh, gua ga ngelakuin apa-apa.
“Terus naha bisa jaket maneh di si Danica?” Rafa bertanya dengan heboh.
Translate: Terus kenapa jaket lo bisa ada di Danica?
“Maneh sare jeung si Danica?”
Translate: Lo tidur sama Danica?
“Anjing! Sia lamun ngomong tong sangeunah na!” Sagara segera berdiri dan mencengkram kerah baju Janu ketika mendapatkan pertanyaan tersebut dari Janu. Pria itu tidak terima jika temannya menganggap dia sebagai orang yang buruk dan merendahkan Danica.
Translate: Anjing! Lo kalo ngomong jangan seenaknya!
“Ciuman.”
Mendengar kata tersebut, Sagara perlahan melepaskan cengkramannya pada kerah baju Janu.
“Kamu masih inget Raf, bibir Sagara yang tiba-tiba merah pas dia nyamperin kita setelah dia minta perban.” Kaivan masih berusaha mengingat kejadian di perpustakaan.
“Eh heeh!” Rafa memekik dan segera menatap Danica yang sudah menunduk sejak tadi.
Translate: Eh iya!
“Jadi, bener Gar?”
Pertanyaan dari Janu tidak Sagara hiraukan. Pria itu segera meninggalkan kamar Kaivan tanpa menjawab pertanyaan Janu.
“Sagara anjing!” Teriak Janu dengan kencang sembari berlutut dan menatap punggung Sagara yang semakin menjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments