Setelah berdebat cukup lama dengan mertuanya, akhirnya Anaya mengalah.
Gadis itu menurut saat Luna mengajaknya untuk pergi ke dokter, memeriksakan keadaannya, karena suhu tubuhnya semakin tinggi.
“Ma, kita tunda aja ya pergi ke dokternya. Naya gapapa kok, habis minum obat pasti Naya langsung sembuh,” rengeknya. Entah sudah ke berapa kalinya Anaya merengek seperti anak kecil begini. Sisi lain gadis itu yang baru saja diketahui oleh Luna dan juga Rayya.
Sedangkan Luna, wanita paruh baya itu terlihat tak menghiraukan ucapan menantunya sama sekali. Ia memilih fokus menatap ke luar jendela, melihat kendaraan yang lalu lalang.
Namun, tangan kanannya tak berhenti mengusap pucuk kepala Anaya, yang saat ini ada di pangkuan wanita itu. “Kalau gak mau diam nanti Mama turunkan kamu di sini loh, mau?” ancam Luna yang membuat Anaya langsung menggeleng cepat.
Kepalanya saja saat ini terasa sangat berat dan berputar-putar. Membayangkan harus panas-panasan dijalan yang padat merayap begini, rasanya ia sudah tidak sanggup.
“Nah gitu dong, baru menantu Mama,” ucapnya seraya menarik gemas hidung mancung Anaya.
Luna memang terlihat seperti wanita egois yang selalu memaksakan kehendaknya pada Abian. Bahkan soal pernikahan putranya saja dia yang mengatur segala sesuatunya.
Bukan tanpa alasan Luna melakukan itu, semua demi kebaikan Abian. Ia ingin putranya itu bahagia.
Perhatian yang Luna lakukan saat ini, adalah yang pertama kalinya dan hanya pada Anaya. Dengan Sandra dulu, wanita itu sama sekali tidak peduli dan terkesan cuek.
“Mama jadi ngerasa lama-lama kamu itu mirip Abian. Keras kepala dan ngeyelan!” celetuk Luna membuat Anaya langsung mendongak dan menatapnya.
“Enak aja, Naya gak mau ya di samain sama mas Abian. Naya beda Ma sama dia,” elaknya. “Lagipula mas Abian itu pemaksa terus sula seenaknya sendiri.” tak terima jika dirinya di samakan dengan pria menyebalkan itu.
Luna menautkan kedua alisnya, mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir Anaya.
“Oh jadi sekarang manggilnya mas nih?” sahut Rayya yang sejak tadi duduk di kursi depan, bersama dengan Erick asisten pribadi Luna. Gadis itu memutar sedikit tubuhnya agar bisa melihat Luna. “Biasanya kalau manggil gak ada embel-embel mas loh.”
Rayya terkekeh geli, membayangkan sahabatnya itu memanggil tuan nya dengan sebutan mas. Mirip seperti panggilan ibu pada bapaknya di kampung.
Ucapan Rayya berhasil membuat kedua pipi Anaya bersemu merah. Ya, gadis itu saja baru menyadari kenapa tiba-tiba dirinya memanggil Abian dengan sebutan mas?
“Gak usah dengerin Rayya, Ma. Dia itu emang tukang ngadu.” tanpa sadar Anaya menarik tangan Luna dan menjatuhkannya perlahan di wajahnya, menutupi pipinya yang sudah memerah seperti tomat matang.
“Siapa yang tukang ngadu, emang bener kamu itu gak pernah panggil tuan Abian dengan sebutan mas.” Rayya sengaja menyulut emosi Anaya. “Iya ’kan mas Erick.”
Pria yang sejak tadi sedang fokus menyetir itu melirik Rayya sekilas dan menganggukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya singkat. Lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Ih Rayya kamu nyebelin banget tau gak!”
“Dih kenapa? Aku gak salah ngomong kok.”
Luna hanya bisa menggeleng melihat pertengkaran menantu dan asisten rumah tangga Anaya itu. Mau bagaimanapun, usia Anaya masih terbilang sangat muda. Wajar saja jika sikapnya saat ini sedikit manja.
“Erick, percepat dong! Ini darurat, kenapa jalannya seperti siput sih!” kesal Luna, merasa gerah dan panas berada di dalam mobil mewahnya sendiri.
“Macet Nyonya. Kalau bisa terbang saya terbangkan sekarang mobil ini,” sahut Erick dengan nada sedikit menggoda majikannya.
Selama berada di perjalanan Luna terus saja mengoceh dan memarahi dirinya. Padahal jelas-jelas jalanan ibukota kalau pagi begini pasti macet total.
“Kamu itu kalau dikasih tau bantah terus ya, mirip sekali sama Theo!” ujarnya seraya mengipasi dirinya dengan telapak tangan.
Erick memilih diam, apalagi jika disamakan dengan Theo. Sikap mereka berdua memang mirip, sebelas dua belas.
Tiga puluh menit berada di dalam perjalanan, akhirnya mobil mereka sampai di kawasan rumah sakit ternama yang cukup ternama di kota. Milik siapa lagi kalau bukan keluarga Alfredo.
“Bagaimana keadaanya, Dok? Apa ada kemajuan?” tanya Theo pada dokter yang selama ini menangani keadaan Abian.
“Perkembangannya cukup bagus. Asal ada niat kuat dalam diri Abian untuk sembuh mungkin tidak lama lagi dia bisa berjalan seperti semula,” jelasnya. Menulis beberapa resep obat yang harus Theo tebus. “Ajaklah dia berjalan santai. Tapi kamu harus ingat Theo, jangan memaksanya jika dia tidak ingin melakukannya.”
“Ya, aku mengerti dokter.” Theo menoleh sebentar ke arah Abian yang sedang fokus pada ponselnya. “Lalu apa tadi dia berkonsultasi tentang miliknya Dok?”
Dokter mengernyit bingung, “maksud kamu?”
“Dia impoten sejak kecelakaan itu. Dan belum lama ini dia bilang kalau miliknya kembali bangun hanya karena di sentuh oleh seorang gadis.” Theo berbisik lirih, takut kalau Abian sampai mendengar apa yang mereka berdua bicarakan.
“Ha..ha..ha…” Dokter Tomy tergelak mendengar penuturan Theo. “Ngaco kamu, mana ada di sentuh seorang gadis langsung bangun? Tidak ada yang seperti itu. Dan dia sama sekali tidak bicara apapun.”
Setelah memberikan resep obat pada Theo, dokter Tomy pamit untuk memeriksa pasien yang lain.
Theo menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal seraya bergumam sendiri, “masa sih tuan Abian bohong?”
“Mau sampai kapan kamu ada disini Theo?” ucap Abian yang berhasil membuyarkan lamunan Theo.
“E-eh Tuan. Kita pulang sekarang ’kan?”
“Kenapa balik bertanya? Tentu saja kita pulang sekarang! Aku lelah. Ingin istirahat.” Abian berpegangan pada pundak Theo dan mulai berjalan dengan perlahan sampai ke kursi rodanya.
“Saat anda sedang diperiksa, nyonya Luna menelpon saya Tuan.”
“Kenapa kamu melaporkannya padaku?”
“Karena itu ada hubungannya dengan anda.”
“Aku tidak peduli. Jangan biarkan Mama datang ke mansion dulu.” Abian menjalankan kursi rodanya, namun tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Theo.
“Nona Anaya demam tinggi dan sekarang dibawa ke rumah sakit Tuan,” celetuknya.
Abian langsung memutar kursi rodanya menghadap Theo. “Apa kamu bilang, demam?”
“Ya Tuan,” jawab Theo. Pria itu mendorong kursi rodanya menuju ke ruangan perawatan dimana Anaya saat ini sedang berada.
Berbeda dengan Abian yang langsung terdiam. Jujur saja jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa sedikit bersalah. Bagaimana mungkin Anaya bisa demam, bukankah kemarin dia baik-baik saja? Bahkan dirinya sama sekali tidak menyiksa gadis itu saat memandikannya.
“Tidak mungkin ’kan dia sakit karena ulahku?” lirihnya.
Memikirkannya saja sudah membuat Abian pusing. Kalau memang karena ulahnya, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Rindyani
Nemen pancene Vania dan antek2nya
2024-01-10
0
⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ 💃💃
salahmu lah abian.. gegara liat joni bangun eh 🏃♀️🏃♀️🏃♀️
karena di siksa di.rumah mama tirinya
2023-10-25
0
jaran goyang
𝑐𝑝𝑡 𝑙ℎ 𝑘𝑎𝑢 𝑠𝑚𝑏ℎ 𝑏𝑖𝑎𝑛... 𝑗𝑔𝑛 𝑙𝑎𝑚𝑎" 𝑑𝑖 𝑘𝑢𝑟𝑠𝑖 𝑚𝑢 𝑡𝑢... 𝑎𝑞 𝑏𝑠𝑒𝑛 𝑙𝑖𝑎𝑡 𝑛𝑦...
𝑑𝑎𝑛 𝑐𝑝𝑡 𝑠𝑙𝑒𝑠𝑎𝑖 𝑘𝑛 𝑛𝑎𝑦 𝑑𝑔𝑛 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑛𝑦... 𝑏𝑖𝑘𝑖𝑛 ℎ𝑛𝑐𝑟💞💞💪🥰🥰💯💯💯💯💯
2023-09-14
1