Anaya sedang berada di dalam perjalanan pulang menuju mansion Abian. Setelah mengemasi pakaian dan juga barang-barangnya, Anaya bergegas pergi sana.
Mengabaikan Vania dan juga Amara yang juga tidak mempedulikan kehadiran sama sekali.
Namun, meski begitu Anaya masih sempat berpamitan pada Vania. Karena bagaimanapun wanita itu pernah berjasa membesarkannya sampai ia dewasa.
“Kamu udah makan?” tanya Mario yang masih fokus ke depan, menyusuri jalanan ibukota yang lumayan padat pagi ini.
“Udah Yah, tadi sebelum pergi Naya sarapan dulu,” jawab Naya. Ia merapatkan jari-jari tangannya dan merematnya erat. Kedua manik mata Anaya terus menatap keluar jendela. Melihat langit berawan yang terlihat cerah.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, mengenai siapa ibu kandung Anaya dan juga mengenai kehamilan Amara. Ingin sekali Anaya bertanya pada pria paruh baya itu, tapi ia urungkan.
“Suami kamu gimana kabarnya? Kalian baik-baik aja ’kan? Kapan-kapan ajak Abian makan malam di rumah ya.” Mario membuka suara. Ia tahu kalau saat ini putrinya merasa risih berada di dekatnya.
Karena untuk pertama kalinya, setelah sekian lama Mario bisa bicara berdua dengan Anaya. Momen langka yang beberapa tahun terakhir ini tergantikan dengan sibuknya pekerjaan di kantor.
“Naya sama Abian baik-baik aja Yah.”
“Syukurlah.”
Suasana di dalam mobil kembali hening. Mereka fokus dengan pikiran yang ada di benak masing-masing.
Hingga mobil tersebut berhenti tepat di depan sebuah gerbang yang menjulang tinggi dengan cat berwarna kuning keemasan.
“Ayah mau mampir dulu?” Anaya sedikit membungkukkan badannya sebelum menutup pintu mobil itu kembali.
“Maaf sayang, Ayah gak bisa mampir. Soalnya ada meeting penting sama klien. Lain kali aja ya.” Mario tersenyum hangat, menatap putrinya yang ternyata sudah tumbuh semakin dewasa.
“Ya udah kalau gitu, Ayah hati-hati. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.” Anaya melambaikan tangan seiringan dengan melajunya mobil milik Mario meninggalkan mansion Abian.
“Shh…” gadis itu meringis menahan sakit di punggungnya. Sepertinya pukulan yang sudah Sandra berikan meninggalkan bekas dan lebam. Buktinya saja tubuhnya terasa ngilu seperti habis kerja berat.
Tak ingin berlama-lama berdiri di sana, Naya segera masuk ke dalam.
“Naya kamu udah pulang?” Rayya yang khawatir menunggu Anaya sejak tadi, langsung berlari dan menghampirinya. “Eh, kok wajah kamu pucat? Kamu sakit?” tanyanya.
“Gak kok, cuma tadi pas di rumah Ayah–” Anaya tak melanjutkan kalimatnya. Ia mengurungkan niatnya untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Apalagi kalau sampai Rayya memberitahu Abian, yang ada gadis itu malah di pojokan dan di ledek olehnya.
Bukan kah Abian suka sekali kalau melihatnya tersiksa?
“Aku boleh minta tolong padamu ’kan Ray?” Anaya menjatuhkan tubuhnya di sofa dan menyandarkan kepalanya lalu menatap Rayya yang masih berdiri di depannya.
“Astaga! Tentu saja boleh Naya. Emang udah tugas aku ’kan melayani kamu sepenuh hati?” Rayya terkekeh mendengar kalimatnya sendiri yang mirip dengan slogan iklan di televisi.
“Iya iya, kamu emang sahabat yang terbaik deh.”
“Ya udah kamu mau minta tolong apa.”
“Siapkan air hangat untuk aku berendam. Soalnya badanku sakit semua.” Anaya memegang punggungnya dan memijatnya pelan, sambil menggerakkan ke kiri dan ke kanan. Gadis itu kembali meringis menahan sakit.
“Emang habis ngapain tadi di sana? Nyapu? Ngepel?” ejek Rayya. Ia tahu kalau ibu Anaya pasti melakukan sesuatu padanya. Mereka berdua sudah saling berbagi cerita dan keluh kesah bersama kemarin malam. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau tebakan Rayya benar.
“Sok tau kamu.” Anaya mencubit hidung Rayya yang terlihat menggemaskan di matanya. “Udah cepetan sana kerjakan apa yang aku suruh,” pintanya.
Tanpa banyak protes lagi, Rayya langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Anaya seorang diri dan segera menyiapkan air hangat seperti permintaan gadis itu.
Setelah selesai, Rayya memanggil Anaya. Menyuruh gadis itu segera naik ke atas, sebelum airnya dingin.
“Loh kok malah tidur sih! Tadi katanya mau berendam pakai air hangat.”
Rayya membangunkan Anaya, menyentuh pundak gadis itu dan menggoyangkannya perlahan agar tidak mengagetkannya.
“Gak jadi mandi?”
“Jadi.”
“Terus kenapa malah tidur?”
Anaya mengucek matanya. “Tiba-tiba aku ngantuk.”
Rayya menggelengkan kepala seraya tersenyum. Lalu memapah Anaya perlahan menaiki anak tangga, menuju ke kamar yang sudah ia siapkan. Kali ini bukan kamar Abian, melainkan kamar lain.
“Gak papa ’kan kalau mulai malam ini kamu tidur disini?” Anaya mengangguk. “Maaf ya, ini permintaan tuan Abian jadi–”
“Memangnya kenapa? Toh aku juga suka tidur sendiri, gak ada yang akan membentak ku juga memarahiku.” Anaya tersenyum. Ia melepaskan satu persatu pakaiannya dan dibantu oleh Rayya.
“Ya, ampun Naya punggung kamu kenapa?” shock Rayya, reflek menutup mulutnya yang terbuka lebar saat melihat luka lebam di punggung Anaya.
“Tadi jatuh. Udah gak usah terlalu dipikirkan. Bantu aku ya oleskan salep selesai mandi.” Anaya masuk ke dalam bathub dan mulai berendam. Ia memejamkan matanya, menikmati aroma vanila yang menangkan pikirannya.
Sedangkan Rayya, gadis itu hanya berdehem pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tidak mungkin Anaya jatuh tapi lukanya seperti habis dipukul dengan benda keras.
*******
*******
Di kantor, Abian sedang duduk menghadap layar yang ada di depannya. Sudah hampir jam makan siang, namun pekerjaannya belum selesai dan masih banyak yang harus ia tanda tangani.
Efek satu bulan dirinya pernah datang ke kantor dan lebih memilih untuk mengurung diri di mansion.
“Tuan, apa anda tidak lapar? Sebaiknya lanjutkan saja nanti. Kita makan dulu saja.” sela Theo, menghampiri Abian yang masih fokus pada berkas.
“Bawa saja makanannya kemari.” Abian bicara tanpa menoleh sedikitpun ke arah Theo.
“Baiklah kalau begitu.” Theo berbalik dan hendak melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar Abian memanggil namanya.
“Theo!”
“Ya, Tuan? Apa ada lagi yang anda butuhkan?”
Abian menutup berkas yang ada di depannya tersebut lalu beralih pada Theo. “Sepertinya kita harus lembur. Katakan pada istriku kalau aku tidak pulang malam ini.”
Theo terdiam, tumben sekali Abian perhatian pada Anaya dan bahkan menyebut gadis itu istrinya. Ingat istrinya!
“Apa anda salah minum obat pagi tadi Tuan?”
“Maksudmu?” Abian memicing mata curiga.
“Ah tidak Tuan, hanya saja saya sudah siap jika anda akan memberikan saya keponakan yang lucu dan menggemaskan,” sahutnya.
Prang!
Vas bunga yang berada di atas meja kerja Abian melayang ke arah Theo. Dan beruntung pria itu berhasil menghindarinya.
“Jaga bicaramu! Karena sampai kapanpun–”
“Anda tidak akan pernah jatuh cinta pada nona Anaya dan menganggapnya sebagai istri anda. Bukan begitu Tuan?” potong Theo yang memang sudah hafal dengan kalimat Abian.
“Apa kamu bilang?!”
“Tidak Tuan saya tidak berani!” Theo langsung kabur begitu melihat raut wajah Abian berubah mengerikan. Sebelum dirinya kena amuk dan murka pria itu.
“Bodoh!” Abian memijat pelipisnya lalu tersenyum tipis. Mengingat kejadian tadi pagi dimana Anaya memandikannya.
Bersambung... Jangan lupa tinggalkan Like dan Komennya ya kak... terima kasih🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Bundana Irpan Sareng Faizal
dari kemarin" gw dapat cerita ko ketemu'y yg sedih" mulu😭
2024-02-02
1
⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ ⠀ ⠀⠀⠀⠀ 💃💃
aku hampir lupa jalan ceritanya krna kelamaan gak ku baca 😭😭😭
2023-10-25
0
jaran goyang
𝘯𝘦𝘹𝘵 𝘬𝘬💪💯🥰💞
2023-09-12
1