Byurr!
Satu ember air tumpah dan membasahi seluruh tubuh Anaya. Membuat gadis yang sedang tertidur pulas itu terperanjat bangun.
Ya, siapa lagi pelaku yang sudah melakukannya kalau bukan Vania.
“Bangun gadis pemalas!” bentak Vania.
Anaya yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya hanya diam dengan wajah bengong. Lalu sesaat kemudian, ia menyadari kalau kasurnya basah akibat perbuatan sang ibu.
“Ibu bisa bangunin Naya seperti biasa ‘kan. Kalau gini kasurnya jadi basah bu. Kerjaan dua kali buat Naya dan–”
Belum selesai gadis itu bicara, tangannya sudah ditarik lebih dulu oleh Vania. Dengan kasar, wanita itu menyeret Anaya hingga gadis itu terjatuh dari atas ranjang.
“Aww! Sakit Bu!” pekik Anaya.
“Dasar anak ga tahu diri! Di suruh bangun malah ngelawan! Cepat masak dan bersih-bersih sana. Kakakmu sebentar lagi mau berangkat ke luar kota!” ucap Vania memberikan sapu dan juga alat pel pada Anaya.
“Yang keluar kota kak Amara, kenapa Naya yang harus repot sih Bu? Biasanya juga dia mempersiapkan semuanya sendirian.” Anaya beranjak, memijat pundaknya yang terasa sakit akibat perbuatan ibunya.
“Udah cepat bangun sana! Ga usah kebanyakan drama!” Vania mendorong Anaya dan menyuruhnya segera keluar dari kamarnya.
“Tapi ini masih pagi bu. Izinkan Naya tidur sebentar lagi," jawab Naya. Ia melihat jam dinding dimana waktu masih menunjukkan pukul empat pagi.
“Ga ada tapi-tapian!” Vana berkacak pinggang memperhatikan Anaya yang mulai berjalan menuju keluar dari kamarnya. “Dasar anak ga berguna!” ketusnya.
Setiap hari, Vania memang selalu memperlakukan Anaya seperti seorang pembantu. Ia bahkan tidak pernah mempekerjakan siapapun. Karena semua sudah di handle oleh Anaya.
Menghemat keuangan mungkin. Padahal keluarga mereka ya tidak miskin-miskin amat. Hanya sederhana.
Selesai membereskan seisi rumah dan juga memasak. Anaya membersihkan diri, lalu turun menghampiri mereka semua yang sudah berada di depan meja makan.
“Pagi Yah.” sapa Anaya pada Mario.
“Pagi sayang.” jawab Mario dengan tersenyum. “Apa kamu sakit sayang? Kok wajahnya pucat?” tanya Mario, tak tega melihat keadaan Anaya yang sepertinya menahan sakit.
“Ga kok Yah, tadi Naya--”
“Biasa Mas, lagi datang kedatangan tamu bulanan!” kali ini bukan Anaya yang menjawab tapi Vania. Ia tak suka jika suaminya itu menaruh perhatian lebih pada Anaya.
“Udah minum obat? Mau Ayah belikan?” Mario menghampiri Anaya dan mengusap punggungnya penuh kelembutan. Tentu saja sebagai orang tua, Mario juga mengkhawatirkan putrinya.
“Ga usah Yah. Naya udah ga apa-apa kok.” Naya menundukkan kepalanya, rasanya ingin sekali ia memeluk Mario dan menumpahkan segala keluh kesahnya pada sang ayah.
Namun, niatnya itu ia urungkan karena takut membuat hubungan Vania dan Mario renggang hanya karena dirinya.
“Nanti pulang dari kampus jangan malam-malam ya, kita mau pergi ke rumah calon suami kamu,” ucap Mario. Yang berhasil membuat Anaya tersedak.
“Hati-hati kalau makan! Kebiasaan!” ketus Vania.
“Apa Yah, malam ini?” tanya Anaya dengan raut wajah terkejut.
“Iya malam ini. Kenapa? Kamu sibuk atau ga bisa?” tanya Mario.
“Soalnya keluarga Alfredo udah ga sabar ingin menikahkan putranya denganmu.” imbuh Mario, kembali mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
Cukup lama Anaya terdiam. Ia pikir setelah bangun dari tidurnya, pembahasan tentang perjodohan itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Tapi ternyata tidak.
“Udahlah Mas, mulai hari ini Anaya ga usah ke kampus! Buang-buang uang saja. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya nikah juga.” sahut Vania.
Gadis itu mengepalkan tangannya erat. Bahkan Mario pun hanya menganggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Vania. Lalu berpamitan karena harus segera berangkat ke kantor.
“Ibu kok gitu ngomongnya? Naya masih ingin kuliah terus kerja!” Anaya bicara dengan nada membentak, dadanya terasa sesak dan air matanya terus menetes keluar.
Plakk!
Hingga satu tamparan keras mendarat di pipi Anaya. Membuat gadis itu langsung menyentuh pipinya yang terasa panas dan kebas.
“Anak pembantu, tetaplah anak pembantu! Kamu memang cocok menikah sama Abian yang cacat dan lumpuh itu!” sentak Vania.
“Apa Ibu bilang? Anak pembantu?” tanya Anaya dengan raut wajah bingung. Tak mengerti maksud kalimat Vania barusan.
Tersadar karena sudah keceplosan, Vania memutar tubuh dan melangkahkan kaki nya begitu saja meninggalkan Anaya.
“Anak pembantu? Siapa sih yang anak pembantu?” tanyanya pada diri sendiri.
******
******
Malam menjelang, keluarga Alfredo sudah bersiap menunggu kedatangan keluarga Anaya.
Berbeda dengan Abian yang masih duduk anteng di atas kursi rodanya dan menatap ke luar balkon. Menikmati sejuknya angin malam yang menerpa wajahnya.
“Mau sampai kapan anda berada disana, Tuan? Apa anda tidak ingin bertemu dengan calon istri anda?” Theo menghampiri Abian dan berdiri di samping pria itu.
“Tidak! Lagipula aku sama sekali tidak tertarik!” jawab Abian dengan wajah datar dan dingin khasnya. “Kamu saja yang mewakili ku sana!”
Theo tersenyum tipis. Ia tahu kalau Abian masih trauma dan belum bisa melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Sandra, mantan istrinya.
Mungkin itu juga alasan Abian, belum mau membuka hatinya pada wanita manapun sampai saat ini.
“Mana bisa begitu Tuan. Yang mau menikah Tuan, kalau saya yang kesana berarti saya yang nikah dong?” jawab Theo sambil terkekeh geli, membayangkan jika dirinya menikah dengan calon istri majikannya sendiri.
“Kalau kamu mau ambil saja!”
“Huh!” Theo menghela nafas kasar. Berbicara dengan Abian memang harus ekstra sabar. Salah bicara saja pria itu bisa marah-marah.
“Ya sudah, kalau Tuan memaksa saya akan menerimanya.” jawab Theo seraya melirik Abian. Tapi pria itu kembali tak bergeming sedikitpun.
“Saya dengar gadis ini cantik, cerdas dan juga seksi lho. Tuan ga tertarik?”
Abian masih diam, mau cantik, seksi ataupun cerdas sekalipun dia sama sekali tidak peduli. Yang Abian mau hanyalah gadis yang sudah berhasil membangunkan miliknya itu.
“Memangnya kamu belum menemukan gadis itu, Theo?”
“Maafkan saya Tuan. Saya belum menemukannya.”
“Belum menemukan atau tidak mencarinya sama sekali, hm?” sarkas Abian, membuat Theo langsung kicep. Karena sibuk menghandle urusan kantor, Theo belum sempat mencari gadis yang Abian maksud.
Jangankan mencari, wajah gadis itu saja mereka tidak tahu jelas.
“Maafkan saya Tuan,” ucap Theo dengan nada menyesal. Gara-gara dirinya Abian sekarang harus menikah dengan gadis yang sama sekali tidak dia inginkan.
“Sudahlah, lupakan saja!”
“Jadi, apa Tuan berubah pikiran dan mau ikut saya turun?” tanya Theo dengan wajah sumringah. Namun, lagi-lagi jawaban Abian membuat senyuman di wajahnya itu menghilang.
“Tidak!” jawabnya singkat.
Theo terpaksa keluar dan meninggalkan Abian sendirian. Ia menuju ke ruang keluarga dimana Darrel dan Luna sudah menunggunya sejak tadi.
“Dimana Abian, kenapa dia tidak ikut turun bersamamu?” tanya Luna.
“Maafkan saya Nyonya…”
“Apa kamu ga membujuknya?”
Theo mengangguk. Jangankan membujuknya, bahkan dirinya sudah mengancam pria itu akan merebut calon istrinya. Namun tetap saja pendirian Abian sangat kokoh.
“Dasar anak ini, sama sekali ga becus bekerja!” kesal Luna. Ia beranjak dari duduknya dan ingin memberikan pelajaran pada asisten putranya itu. “Sini kamu!”
“Ampun Nyonya!” teriak Theo yang langsung berlari menghindari amukan singa betina.
“Nyonya, keluarga Tuan Anderson sudah tiba,” ucap salah satu pelayan.
“Suruh mereka masuk.” Darrel yang sejak tadi diam saja hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku istrinya dan Theo. Sangat mirip seperti anak kecil.
“Selamat malam Nyonya dan Tuan Anderson.” sapa Mario mengulurkan tangannya dan dibalas oleh kedua calon besannya.
“Selamat malam Mario, silahkan duduk.” Darrel mempersilahkan Mario beserta istrinya untuk duduk. “Dimana putrimu? Apa dia tidak datang malam ini?”
“Oh, Anaya ada di--”
“Selamat malam Om, Tante. Maaf kalau Naya datang terlambat.” Anaya buru-buru masuk saat mendapat lirikan tajam dari Vania. Ia meraih tangan mertuanya dan menciumnya.
Tanpa mereka semua tahu sejak tadi Abian terus memperhatikan apa yang mereka lakukan di bawah sana.
“Dimana calon suami Naya Om, Tante?” tanya Anaya. Melihat ke arah sekelilingnya namun tidak melihat calon suaminya.
“Dia ada di lantai atas sayang, sepertinya sedang bersiap.” jawab Luna.
Anaya langsung mendongak ke atas, dan tanpa sadar kedua manik matanya seperti melihat bayangan seseorang di balik dinding sana yang tiba-tiba menghilang.
“Shits! Ada apa dengan jantungku?” gumam Abian yang tak sengaja melihat wajah Anaya sekilas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
sherly
ngapain mikir si Naya, iyakan aja toh tinggal dirmhmu aja kamu dah kayak pembantu
2024-05-16
1
Meriana Erna
betul kn bukan anak kandung vania😔😔😔
2024-01-11
1
Rindyani
kaget tuh pasti
2024-01-09
0