Selesai berbincang dan membahas kapan pernikahan akan dilangsungkan, mereka menuju ke meja makan. Menikmati hidangan makan malam yang sudah disiapkan oleh keluarga Alfredo.
“Maafkan putraku Mario. Sepertinya Abian sedang kurang sehat. Jadi tidak bisa turun dan menemui keluargamu,” ucap Darrel dengan raut wajah bersalah.
Sungguh, dia tidak menyangka jika Abian begitu keras kepala dan menolak untuk bertemu dengan calon keluarga istrinya. Padahal beberapa hari lalu dia sendiri yang setuju untuk menikah.
“Tidak apa-apa Darrel. Aku memaklumi keadaan Abian.” jawab Mario dengan tersenyum. “Bukankah yang paling penting mereka berdua setuju untuk menikah?” imbuhnya, berusaha untuk menutupi rasa kecewanya pada calon menantunya itu.
“Ya, kamu benar, Mario.” Darrel menganggukkan kepala, menatap ke arah Luna lalu Vania yang juga setuju dengan ucapan Mario. Berbeda dengan Anaya, sejak tadi gadis itu hanya diam tanpa mengatakan apapun.
Kecewa? Tentu saja. Bagaimana bisa calon suaminya tidak mau menemui keluarganya? Padahal Anaya berharap bisa bertemu dengan Abian dan memintanya untuk menolak pernikahan ini.
Jika seperti ini akhirnya, bukankah sama saja kalau Abian setuju untuk menikah dengannya?
Banyak pertanyaan yang muncul di benak Anaya. Namun, gadis itu berusaha untuk masa bodoh dan pasrah menerima semua keputusan kedua orang tua mereka.
“Terima kasih Darrel, untuk hidangan makan malamnya, sangat lezat,” ucap Mario.
“Semoga acara pernikahan kedua anak kita berjalan lancar,” Mario menjabat tangan Darrel dan dibalas olehnya.
“Aku harap juga seperti itu, Mario.” jawab Darrel.
“Anaya juga pamit ya Om, Tante. Salam buat buat tuan Abian.” Anaya meraih punggung tangan Darrel dan Luna lalu mencium nya bergantian.
“No! Panggil saja Mama sama Papa sayang. Karena sebentar lagi kami berdua akan menjadi orang tua kamu,” ucap Luna.
“Kamu sopan dan baik. Abian pasti bahagia menikah dan hidup bersama denganmu sayang.” Luna mengusap pipi Anaya dan mengecup dahi gadis itu
“Iya Ma.” Luna tersenyum, kemudian menunduk. Ia tidak tahu apakah nanti hidupnya akan bahagia atau malah sebaliknya.
Tanpa mereka tahu, sejak tadi Abian mendengar apa yang mereka bicarakan. Pria itu sedang duduk di balkon, dengan tatapan yang terus tertuju ke bawah sana.
“Bagaimana menurut anda Tuan?” Theo tiba-tiba saja muncul dan menjatuhkan bokongnya tepat di samping Abian.
“Bagaimana apanya?” tanya pria yang masih fokus melihat ke bawah.
“Nona Anaya. Bukankah dia sangat cantik dan seksi seperti yang saya katakan tadi?” tanya Theo, menaik turunkan alisnya seakan sedang menggoda Abian.
Bukan jawaban, melainkan sentilan kuat yang Theo rasakan.
“Argh, sakit Tuan!” pekik Theo.
“Apa kamu tidak melihat kalau di bawah sana gelap? Aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.” Abian hendak pergi dari sana, namun sesaat kemudian ia berbalik. “Apa kamu bisa mengantarnya pulang, Theo?”
“What? Saya?!” pekik Theo seraya menunjuk dirinya sendiri.
“Iya kamu. Apa disini ada orang lain selain kita?”
“Tapi Tuan…”
“Tanpa penolakan!” Abian pergi begitu saja meninggalkan Theo. Membawa kursi roda itu menuju ke kamarnya.
Sedangkan Theo, pria itu masih diam tak percaya dengan apa yang sudah Abian perintahkan. Bukankah seharusnya tuan nya itu yang mengantar calon istrinya? Kenapa jadi dia?
Selama berada di dalam perjalanan, Theo dan Anaya sama-sama terdiam. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibir mereka.
Apalagi saat Theo tahu siapa Anaya dan begitu sebaliknya.
“Maafkan kesalahan saya malam itu Nona.” Theo membuka suara. Ia merasa tidak enak hati, karena ternyata gadis yang ia temui di tepi danau malam itu adalah calon istri Abian.
“Om masih mau minta ganti rugi?” Anaya melirik sekilas ke arah Theo lalu kembali menatap ke luar jendela.
Ingin rasanya Theo menceburkan diri ke dasar lautan sekarang. Bagaimana kalau nyonya Luna tahu kalau dirinya sudah mengancam calon menantunya dan menyebutnya bocah kecil? Bisa habis dibabat masa depannya.
“Panggil saja saya Theo, Nona.”
“Ga mau!” ketus Anaya. “Om ‘kan udah tua dan aku masih bocah!” Anaya menyindir Theo, mengingatkan kembali apa yang pernah pria itu katakan padanya.
Lagi-lagi Theo terdiam. Untung saja mobil yang ia kendarai sudah sampai di halaman rumah Anaya. Jadi pria itu bisa bernafas lega.
“Terima kasih.”
“Sama-sama Nona.”
Saat akan melangkah, Anaya terpeleset. Dan dengan cepat, Theo menangkap tubuh kecil Anaya agar gadis itu tidak terjatuh.
“Hati-hati Nona, jalannya licin.”
“I,iya aku tahu.” Anaya membenarkan posisinya dan berjalan masuk, meninggalkan Theo begitu saja.
“Untung ga lecet,” gumamnya lirih lalu melajukan mobilnya, pergi dari sana.
******
******
“Bagus ya, udah mau nikah tapi masih tebar pesona pada pria lain,” ucap Vania.
Wanita itu berdiri di ambang pintu dan menatap kesal pada Anaya.
“Siapa yang tebar pesona Bu. Tadi itu Naya terpeleset trus--”
Belum selesai Anaya melanjutkan kalimatnya. Vania menarik kasar lengannya.
“Ampun Bu, sakit.”
“Kamu itu memang seharusnya ga nikah sama Abian, tapi Theo! Sama-sama keturunan pelayan!”
Anaya merintih menahan sakit. Kuku-kuku tajam milik Vania menusuk kulitnya hingga menimbulkan rasa perih luar biasa.
“Sekarang ikut aku!”
“Lepas Bu. Ibu mau bawa Naya kemana hiks…”
“Udah ga udah nangis!” Vania menyeret paksa Anaya dan membawanya masuk ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Mengabaikan teriakan kesakitan Anaya.
Kebetulan sekali, Mario tidak ada di rumah. Pria itu langsung pergi menuju ke bandara untuk menjemput Amara.
Jadi, Vania bisa puas menyiksa Anaya.
“Ini adalah hukuman yang pantas untuk anak pembantu tidak tahu diri seperti kamu!” Vania berulang kali menenggelamkan wajah Anaya ke dalam bak mandi. Sampai gadis itu kesusahan bernafas.
“Ampun Bu, Naya mohon hiks…”
“Kamu pikir dengan menangis seperti ini aku akan memaafkan kesalahan kamu dan Ibumu itu, hah?!” teriak Vania. “Gara-gara wanita sialan itu, aku terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak pernah aku cintai!” Vania kembali menenggelamkan wajah Anaya.
Dengan begitu kejam, ia itu menyiksanya tanpa ampun. Tidak hanya sekali, bahkan sejak kecil Anaya memang sudah sering mendapatkan perlakuan buruk dari Vania.
“Naya mohon Bu, jangan…” lirih Anaya yang sudah lemah tak berdaya.
“Rasanya aku ingin menghabisi mu sekarang juga Anaya!” Vania menatap Anaya penuh kebencian.
“Padahal aku berniat untuk menjual mu ke rumah bordil, seperti aku menjual ibumu saat itu. Tapi aku masih berbaik hati dan memberikanmu pada pria kaya seperti Abian. Namun sayangnya dia lumpuh,” ucap Vania dengan seringai tipis di sudut bibirnya.
Butiran-butiran bening itu terus mengalir dari kedua mata Anaya. Hatinya hancur berkeping-keping saat mendengar kenyataan tentang ibu kandungnya.
Memberontak pun percuma, karena saat ini tubuh Anaya sangat lemas dan tak bertenaga.
“Awas saja kalau kamu mengadukan semua ini pada Ayahmu!” ancam Vania, pergi begitu saja meninggalkan Anaya sendirian.
“Mau seperti apapun Ibu membenci Naya. Naya akan tetap menyayangi Ibu…” lirihnya seraya bangkit dan berjalan perlahan menuju ke kamarnya.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
est
goblok thro naya ya mles jd nya
2024-05-26
1
sherly
dah tau yg sebenarnya msh aja sayang terlalu naif kamu naya
2024-05-16
0
guntur 1609
brti kau yg bodoh anaya. kok gitu mash sj mau sm vania
2024-04-26
0