Menjelang audisi pementasan seni budaya dan bakat, Delilah terpaksa mengikuti kursus biola lebih intensif lagi. Orang tuanya sangat berharap agar putri kesayangannya lolos audisi dan tampil di konser musik bertaraf internasional.
"Sayang, jangan lupa bawa biolamu! Sepulang sekolah, engkau harus pergi ke sanggar untuk melanjutkan kursus biola. Waktu pementasan tinggal dua Minggu lagi!"
Selvi begitu antusias untuk kemajuan putri kesayangannya, hingga tidak disadarinya hal ini membuat Delilah tertekan.
"Iya, mama. Delilah sudah meletakkannya di kursi belakang mobil mama."
Memang sedari pagi tadi Delilah telah meletakkan biola kesayangannya ke dalam mobil Lamborghini yang biasa dibawa oleh mamanya untuk mengantar Delilah ke sekolah.
Jam lima sore, Selvi menjemput Delilah di sanggar seni. Dalam perjalanan pulang, tatkala mobil yang dikendarainya berhenti di lampu merah, Delilah melihat seorang pengamen yang memainkan biola dengan lagu armada yang sedang viral. Permainan biola pemuda itu begitu merdu, seperti dimainkan oleh orang yang telah mahir dalam bermain biola.
"Wow! Benar-benar hebat pemuda itu, permainan biolanya begitu enak didengar!. Kok bisa ya, anak jalanan itu memainkan biola layaknya pemain biola yang mahir?"
Delilah begitu kagum menyaksikan pengamen lampu merah yang bermain biola sambil bernyanyi. Lalu Delilah membuka kaca jendela lebih lebar agar bisa memberikan selembar uang dua puluh ribuan yang merupakan uang jajannya yang tidak terpakai hari ini.
Airish tersenyum melihat Delilah mengeluarkan uang itu dan melepaskannya. Airish segera mengejar uang kertas itu yang berterbangan ke arah seberang jalan.
Seperti biasa, setelah Delilah pulang ke rumah, Delilah pergi ke taman kota untuk bermain dan jajan makanan ringan yang dijual oleh pedagang keliling.
Ada sebuah jajanan favorit yang biasa Delilah beli dari seorang pedagang keliling yang menggunakan gerobak dengan ciri khasnya. Tidak lain makanan kesukaan Delilah adalah Cilok dengan bumbu racikan khusus.
"Bang, seperti biasa ya? Cilok lima buah tanpa kuah, tanpa cabe. Saos dan kecapnya sedikit kental!"
"oke nona, Abang tidak lupa kok racikan kegemaran nona"
Karena Delilah setiap hari membeli cilok dengan pedagang itu, tentu saja pedagang tersebut hafal dengan kebiasaan Delilah.
Tanpa Delilah sadari, di sebelah pedagang cilok itu berdiri seorang pemuda yang membawa biola di tangannya. Tidak salah lagi! dialah yang tadi Delilah lihat mengamen di lampu merah.
"Bang, aku duluan ya? Tidak lupa kan? kecap dan saosnya lebih kental!. Jangan di kasih kuah dan tanpa sambal ya?"
"Eh elo ikut-ikutan saja! Loe copas pesanan aku ya?"
Di dalam hati Delilah bertanya -tanya. Apakah pemuda ini yang tadi dilihatnya mengamen di lampu merah? Kenapa dia ada disini?
Delilah tidak menyangka ternyata pemuda yang mengamen di lampu merah itu dilihatnya ada di taman tempat Delilah biasa bermain.
"Enak saja bilang saya copas. Saya memang suka dengan racikan seperti ini. Tanya saja sama abang cilok. Benar kan bang?"
"Iya, benar. Memang racikan nona Lila dan den Iris sangat sama. Apakah kalian telah lama kenal? Sepertinya kalian sangat kompak ya? Hobinya sama, racikan makanannya juga sama."
Airish dan Delilah saling menatap, sama-sama bingung. Mereka tidak pernah saling bertemu sebelumnya, bagaimana mungkin abang cilok mengatakan bahwa mereka telah lama saling kenal?
"Bocah! Bukankah engkau yang tadi mengamen di lampu merah? Selamat ya, permainan biolamu telah menyentuh hatiku. Aku akui bakat bermain biolamu sungguh luar biasa!"
"Apakah aku mengenalmu? Oh.. Ya. Sekarang aku ingat! Ternyata nona yang telah memberikan uang selembar dua puluh ribuan di lampu merah tadi bukan? Terimakasih atas pujiannya, tetapi nona telah memberikan uang terlalu banyak! Aku biasanya memperoleh uang dua puluh ribu setelah mengamen seharian. Sebaiknya aku kembalikan saja uang nona"
Airish mengeluarkan uang dua puluh ribuan dari kantong celananya.
Delilah menolaknya dan segera meninggalkan Airish setelah menerima sebungkus cilok dari pedagang cilok itu.
"Simpan saja uang itu, nanti aku ingin memintamu memainkan biolamu untukku!"
"Nona! Jangan pergi dulu! Engkau belum memperkenalkan namamu!"
Sambil berlalu, Delilah meneriakkan namanya.
"Namaku Delilah...”
Airish tersenyum dan mengambil cilok pesanannya. "Bang, tadi abang memanggilnya non Lila. Kenapa dia memperkenalkan namanya Delilah?"
"Iya den. Namanya memang Delilah! Abang biasa memanggilnya non Lila saja. Eh den, apakah aden mengenal papanya non Lila? Pak Antono papanya non Lila adalah developer perumahan mewah di wilayah ini!. Pak Antono sangat selektif atas pergaulan putrinya! Saran abang sih, sebaiknya den Irish segera menjauhi non Lila. Jangan sampai pak Antono mengetahui kalian berteman, abang khawatir nanti abang dilarangnya berjualan di sini lagi!"
"Yaah abang, jangan lebay deh...! Lagian, siapa juga yang mau berteman dengannya? memang sih, kebanyakan orang kaya seperti mereka selalu memandang rendah orang miskin seperti kita."
Airish pergi meninggalkan pedagang cilok dan menyantap cilok yang telah dibelinya sambil membawanya keatas pohon jambu biji yang memiliki dahan kuat. Airish kembali memainkan biolanya dari atas pohon jambu biji tersebut.
Dari kejauhan, Delilah mendengar musik biola yang sedang dimainkan oleh Airish.
"Dari mana asal suara musik biola itu? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Merdu sekali lagu yang sedang di mainkannya! Oh iya! Ini irama biola yang pernah ku dengar di lampu merah! Pasti pemuda itu yang sedang memainkannya!"
Delilah mencari sumber suara itu dan dilihatnya di atas pohon jambu biji ada Airish yang sedang memainkan biolanya. Delilah segera memanjat pohon jambu biji itu mendekati Airish dan duduk disebelahnya.
Melihat kedatangan Delilah, Airish menghentikan permainannya.
"Nona Lila, apakah permainan biola ku bagus?"
"Bagus apanya? Bisanya cuma copas! Pemain biola profesional tidak menyanyikan lagu ciptaan orang lain! Apakah engkau tidak memiliki satu lagu pun yang telah engkau ciptakan sendiri?"
"Belum ada sih, tapi tunggu! Besok aku akan menciptakan sebuah lagu khusus untukmu! Itupun jika engkau sudi mendengarnya"
"Baik, besok aku akan kembali kemari! Awas ya kalau engkau membohongiku, aku tidak akan menemuimu lagi!"
"Siap nona, aku pasti menepati janjiku! Datanglah besok kesini. Aku akan menciptakan sebuah lagu malam ini, besok akan kutunjukkan kepadamu!"
Delilah hendak meninggalkan Airish karena hari sudah menjelang Maghrib.
"Hei! Engkau belum memberitahu namamu! Apakah engkau tidak memiliki nama?"
"Hahahaha. Namaku Airish! Sudah sana pulang! Nanti dicariin mama nona!"
"Jumpa lagi besok, Airish! Eh, sebenarnya engkau tinggal dimana?"
"Disana! Di dalam terowongan itu tuh! Engkau bisa melihatnya dari sini kan?"
"Masak tinggal disana? Memangnya engkau tidak punya rumah?"
"Aku sudah tidak punya rumah lagi sejak ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan"
Sambil berlalu, ada perasaan simpati dari hati Delilah. "Malang benar nasib pemuda itu, sayang sekali! Sepertinya dia telah kehilangan harta dan keluarganya! Aku melihat dari keahliannya dalam bermain biola, sudah pasti orang tuanya telah membekalinya sebelum meninggalkannya"
Setiap hari ketika melihat Airish mengamen di lampu merah, Delilah selalu mengeluarkan selembar uang untuk Airish.
Juga setiap sore, Delilah selalu menemui Airish di taman kota.
Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya mereka menjadi akrab, bahkan mereka saling menyukai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments