Bismillahirohmanirohim.
...Kita tidak akan pernah tahu, Musibah akan datang menimpa siapa, entah itu pada kita, orang terdekat kita, maupun pada orang lain....
Disebuah kursi rumah sakit seorang gadis mengenakan pakaian syar'i dengan wajah cemas terus menatap pintu UGD.
Sekitar 30 menit yang lalu Ibu dari gadis bernama Ulya itu mengalami kecelakaan di depan kampusnya Ulya.
"Ya Allah, aku mohon selamatkan Mama," gumam gadis berhijab biru yang terjulur sampai menutupi dadanya.
Cuaca hari sangat terang matahari memancarkan cahaya yang lumanya panas, tidak sesuai hati Ulya sedang gundah. Dia menatap lurus kedepan duduk di kursi lorong untuk menenangkan diri Ulya menarik nafas panjang lalu membuangnya secara pelan, dzikir, istighfar dan shalawat tak berhenti Ulya lantunkan dalam benaknya.
"Astagfirullah." Kaget Ulya.
Dia segera bangkit dari duduknya menghampiri seorang anak kecil yang tadi Ulya lihat terjatuh di lorong rumah sakit tak jauh dari tempatnya.
"Kamu baik-baik saja, Dik?" tanya Ulya memastikan.
Tatapan prihatin dari Ulya membuat anak laki-laki itu tidak suka, dia tahu bahwa dirinya memang seorang yang berpenyakitan.
"Jangan menatapku ceperti itu! Aku baik-baik caja tidak mau dikasihani."
"Eh, maaf aku tidak bermaksud."
Ulya membantu anak kecil itu bangun dari jatuhnya. Perlahan tapi pasti Ulya membantunya dengan sangat hati-hati.
"Kamu tidak apa-apa, sayang?" tanya Ulya lagi setelahnya suara yang semakin lembut untuk yang kedua kalinya.
Anak kecil itu tidak langsung menjawab pertanyaan Ulya, dia menatap Ulya sejenak seakan memperhatikan wajah gadis di depannya ini.
"Aku tidak papa, terima kacih cudah menolongku." Jawab bocah laki-laki itu.
Dia masih susah menyebutkan huruf S. Bukan cedal, hanya masih kaku saja untuk menyebut huruf S.
Ulya tersenyum pada anak laki-laki yang baru saja dia tolong. Jika boleh Ulya tebak, anak laki-laki di depannya ini mungkin berumur sekitar 4 tahun. Parasnya bocah laki-laki di depannya ini sedari kecil saja sudah luar biasa rupanya, hidung bangir, bibir bagus bahkan berwarna hampir merah kedua bola mata yang langkah, rahangnya juga bagus padahal masih begitu kecil.
"Dimana orang tuamu?"
"Tidak tahu!" jawabnya acuh berbeda saat dia mengucapkan terima kasih tadi.
"Apakah kamu tersesat?" tanya Ulya lagi.
"Tidak! Aku hanya cedang jalan-jalan caja di rumah cakit, aku tidak betah di tempat ini."
"Kenapa tidak betah?"
"Aku tidak cuka rumah cakit, aku ingin melihat dunia luar. Capek di rumah cakit terus!" bola matanya berkaca-kaca.
"Hei, sayang jangan menangis." Ulya tak tega melihat bola mata anak laki-laki di hadapanya ini. Sekarang Ulya sudah mensejajarkan tubuhnya dengan anak tadi.
"Baiklah begini saja, kalau boleh tahu siapa nama kamu?"
"Aditya." Jawabnya pendek.
"Nama yang bagus, kamu tahu apa arti Aditya?"
"Matahari, cang curya."
"Masya Allah, kamu pintar sekali Aditya. Sekarang Aditya harus kembali ke kamar rawar Aditya, oke." Suruh Ulya hati-hati.
Anak laki-laki bernama Aditya yang memakai pakaian pasien rumah sakit itu tidak ingin kembali menuju kamar rawatnya, dia menggeleng keras tidak mau. " Tidak mau! Apakah boleh aku ikut denganmu?" pintanya memohon.
Tampak tidak dapat menolak permintaan bocah laki-laki imut di depannya ini. Dia tidak tahu kenapa hatinya terasa sakit melihat tubuh mungil Aditya yang sudah menjadi salah satu pasien rumah sakit. Walaupun Ulya sendiri tidak tahu penyakit apa yang diderita Aditya.
"Boleh, ayo ikut mbak. Tapi nanti janji Aditya akan kembali ke kamar."
"Aku janji."
"Anak pintar." Ulya mengelus sayang pucuk kepala Aditya.
Ulya menggandeng tangan Aditya lembut, hal tersebut membuta Aditya mengembangkan sebuah senyum di kedua sudut bibirnya yang jarang sekali terlihat. Saat Ulya dan Aditya sampai di depan ruang UGD tempat ibu Rida diperiksa kebetulan sekali dokter keluar dari ruangan itu, Ulya langsung menghadap sang dokter.
"Bagaimana keadaan mama saya, dok?" tanya Ulya memastikan, tangannya masih setia menggandeng tangan Aditya.
"Alhamdulillah, ibu Rida sudah melewati masa kritisnya. Kita tinggal menunggu beliau siuman."
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak dok." Ulya merasa sangat bersyukur sekali, Allah masih memberikan keselamatan pada sang mama.
"Boleh saya menemui beliau, dok?"
"Silahkan, asalkan tidak mengganggu ketenangan pasien, karena pasien butuh istirahat dengan baik."
Lalu dokter menginjak usia paruh baya itu menatap bocah laki-laki yang masih setia memegang erat tangan Ulya. Aditya balas menatap dokter Dika yang tertera dari name tag beliau.
"Bocah nakal, kenapa kamu disini, kembali ke kamarmu," suruh Dika pada anak dari sepupunya itu.
"Tidak mau pama Dika, aku mau dengan, Mbak Ulya," balasnya dingin.
"Ayolah Aditya, kamu tidak mau bukan mendapatkan ceramahan dari dady, mu." Aditya menggeleng atas perkataan yang terlontar dari mulut Dika.
Jujur saja, Aditya pusing jika sudah mendengar daddynya mengoceh tidak jelas pada dirinya.
"Jadi sekarang ayo ikut bersama, paman."
"Tidak! Ya, tidak!" tegasnya.
Ulya terhenyak melihat Aditya berbicara tidak sopan pada yang lebih dewasa. Berbeda dengan Dika yang sudah biasa dengan tingkah Aditya. Entah keberanian dari mana, akhirnya Ulya mensejajarkan tubuhnya dengan Aditya lalu dia menatap lembut Aditya, tatapan yang selama ini jarang Aditya dapat dari daddynya.
"Aditya, kembali ke kamar oke, mbak Ulya juga harus menemui mama, mbak Ulya lebih dulu. Mbak janji besok akan mengunjungi, Aditya."
"Janji." Ucapnya sambil memperlihatkan jari kelingking miliknya. Ulya dan Aditya menyatukan jari kelingking keduanya..
"Janji." Jawab Ulya.
Akhirnya Aditya dibawa kembali menuju kamar rawatnya bersama dokter Dika, wajah Aditya terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Dari tempat yang tak jauh dua orang sedang memperhatikan interaksi Aditya dan Ulya. Laki-laki itu terlihat bingung karena Aditya bisa dekat dengan orang asing.
"Eris, cari tahu apa yang terjadi pada Aditya dan gadis itu. Lalu suruh dia menemuiku di ruang kerja."
"Baik Tuan," sahut laki-laki bernama Eris itu.
Dalam waktu kurang dari satu jam Eris sudah mendapatkan semua apa yang bosanya inginkan, bahkan Ulya kini sudah duduk di depan Hans. Gadis itu jelas masih bingung kenapa disuruh menghadap direktur rumah sakit ini langsung, bukankah dia tidak mengenal orang-orang di rumah sakit.
"Langsung saja, kamu tahu siapa anak laki-laki bersamamu tadi?"
"Aditya," jawab Ulya pendek.
"Kenapa bisa Aditya bersamamu, diabukanlah anak kecil yang bisa kenal dekat dengan orang asing."
"Mana saya tahu Pak!" jawab Ulya kesal juga.
Hans menghela nafasnya, tadi dia sudah mendapatkan usulan dari pamanya, Dokter Dika untuk menjadikan Ulya babysiter Aditya.
"Saya ada tawaran untuk kamu," ucap Hans berusaha tetap tenang.
"Apa?"
"Mau, kah kamu menjadi babysiter untuk Aditya? saya akan menawarkan apapun untuk kamu asal mau menjadi pengasuh Aditya."
"Harus saya kenapa?"
"Karena saya belum pernah melihat Aditya bica dekat dengan orang asing."
Ulya tampak diam sejenak untuk memikirkan keputusan yang harus dia ambil, dirinya memang baru mengenal Aditya. Tapi mengingat mata berkaca-kaca Aditya hati gadis itu terasa sakit.
"Boleh beri saya waktu 3 hari untuk memikirkan semua ini."
"Tentu saja tapi saya harap kamu akan menerima tawaran ini," ucap Hans penuh harapan. Hans hanya ingin putranya baik-baik saja dan bahagia.
Bismillahirohmanirohim.
...Ingatlah, jangan memutuskan sesuatu dengan terburu-buru, pikirkan secara matang-matang. Karean sebuah penyesalan selalu datang diakhir....
Ingatlah, jangan memutuskan sesuatu dengan terburu-buru, pikirkan secara matang-matang. Karean sebuah penyesalan selalu ada diakhir.
Setelah keluar dari ruang kerja Hans, Ulya baru bisa bernafas lega. Menurutnya laki-laki yang entah siapa itu memilik wajah yang terlihat mengerikan.
"Untuk apa dia menyuruhku menjadi babysister Aditya. Lalu tadi dia bilang Aditya tidak gampang dekat dengan orang asing. Tapi aku merasa anak itu malah sangat rama," gumam Ulya.
Gadis itu sepanjang jalan menuju kamar rawat sang Mama terus saja mengoceh sendiri, sampai dia teringat akan satu hal. "inalilahiwainalilahirojiu'n, Astagfrullah ha-adzim!" Ulya menepuk jidatnya sendiri, dia sudah melupakan seorang.
Gadis itu belum memberi kabar pada kakak laki-lakinya, jika mama mereka mengalami kecelakaan. Kadang gadis berparas ayu itu memaki dirinya sendiri, karena terlalu sering melupakan sesuatu bahkan hal penting seperti sekarang ini.
Ulya segera mengambil handphonenya yang dia simpan di dalam tas selempang berwarna hitam miliknya yang sejak tadi berada di pundaknya.
Ibu Rida sendiri sudah dipindah di kamar rawat, selesai memberi kabar kakaknya Ulya sudah sampai di kamar rawat sang Mama mendekati brankar.
"Mama, kapan Mama mau buka mata. Maafkan Lia yang tidak bisa menolong Mama saat kejadian naas itu menimpa Mama," sesalnya menyalahkan diri sendiri.
Rasanya sungguh sesak bagi Ulya mengingat kejadian yang menimpa sang Mama dia lihat secara langusng.
Andai kala itu Ulya dapat menolong sang mama, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Tapi Ulya tidak ingin selalu berandai-andai, dia tahu semua ini sudah rencana sang Maha Kuasa, jika terus berandai-andai sama saja Ulya seakan tidak menerima takdir Allah.
20 menit berlalu, seorang laki-laki bertubuh tinggi tergesa-gesa menuju ruang rawat ibu Rida. Ada guratan khawatir yang terlihat jelas di wajah pria itu.
"Lia, Lia, kenapa coba baru kasih kabar." Kesal orang itu.
Karena sangat terburu-buru laki-laki itu tidak terlalu memperhatikan jalannya.
Bruk!
"Astagfirullah, maaf saya buru-buru," ucap Fahri-kakak Ulya.
Sudah mengucapkan kata maaf pada laki-laki yang hampir ditabrak tadi, Fahri kembali melangkah mencari kamar rawat Mamanya.
Akhirnya Fahri bisa dengan cepat menemukan kamar rawat Ibu Rida.
Ceklek!
Pintu kamar rawat dibuka oleh seorang, Ulya langsung menoleh pada pintu itu, dia tahu pasti kakaknya yang datang.
"Abang," ucapnya segera bangkit menghampiri Fahri yang masih mematung di tempatnya.
Tanpa basa-basi Ulya langsung memeluk kakaknya yang masih mematung di depan pintu. Mendengar suara tangis sang adik Fahri mengelus pucuk kepala adiknya sayang.
"Abang…maaf…hih…maaf…kan…Lia… Lia…nggak…bisa…jaga…mama…" Ucap Ulya terbata-bata karena menangis.
Padahal tadinya Fahri sudah berniat akan memarahi adiknya ini habis-habisan, baru memberi kabar keadaan mama mereka. Tapi melihat adiknya yang menangis tak karuan didekapannya membuat Fahri akhirnya mengurungkan niat untuk memarahi sang adik.
"Sudah jangan menangis lagi, tadi apa yang dokter katakan akan kondisi, Mama?" tanya Fahir melepaskan pelukan keduanya.
"Kata dokter, mama sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu mama siuman."
Adik dan kakak itu berjalan mendekati brankar yang di tempati mama mereka. Wanita yang selalu memberi semangat pada kedua orang tersebut.
"Lia, cuman takut kehilangan mama, bang. Lia belum siap, apalagi setelah kepergian, papa," ucapnya tertunduk.
Fahri menatap iba pada adiknya, dia ingat betul seberapa terpuruknya sang adik saat tahu papa mereka sudah tiada. Fahri menarik tangan sang adik lembut untuk memberi ketenangan disana. "Percaya sama abang. Insya Allah semua akan baik-baik saja." Ulya mengangguk.
Ulya dan Fahri memutuskan untuk menjaga mama mereka di rumah sakit sampai besok, Fahri juga sempat pulang untuk mengambil pakaian ganti mereka.
****
Pagi-pagi sekali Aditya sudah berada di depan kamar rawat ibu Rida, dia ingin bertemu dengan Ulya. Aditya tidak bisa menunggu mbak Ulya datang sendiri ke kamar rawatnya, takut mbak Ulya telah lupa akan janjinya.
"Astagfirullah, adik kecil ngapain disini?" tanya Fahri, dia baru saja akan membeli sarapan untuk dirinya dan sang adik.
"Mbak Ulya," ucapnya dingin seakan tidak senang melihat keberadaan Fahri.
"Lia sini, ada yang nyari," panggil Fahri pada sang adik. Tanpa bertanya pada kakaknya siapa yang sedang mencari dirinya, Ulya langsung saja menghampiri Fahri.
"Ada apa, bang?" Fahri tidak menjawab melainkan menunjuk Aditya.
"Masya Allah, Aditya kenapa disini? Mbak Ulya kan sudah bilang, Mbak sendiri yang akan mengunjungi Aditya."
"Aditya, takut mbak Ulya lupa," ucapnya sedih.
"Tidak mungkin lupa, Aditya." Ulya mengelus lembut pucuk kepala Aditya, keduanya sama-sama tersenyum.
"Kalian berdua mengobrol lah dulu tapi nanti jangan lupa sarapan Lia, Abang sudah membelikan sarapan untukmu."
"Iya Bang nanti Lia pasti makan kok," jawab Ulya patuh pada sang kakak.
Kakak laki-laki Ulya itu beralih menatap Aditya dengan senyum khasnya, walaupun anak laki-laki di hadapan Fahri ini menunjukkan wajah datarnya berbeda ketika melihat Ulya.
"Adik manis saya tinggal dulu," ucap Fahri berlalu masuk ke dalam kamar rawat mamanya.
Setelah kepergian Fahri, Ulya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Aditya menarik pelan boca itu agar berdiri lebih dekat dengannya.
"Kamu ini sudah disini saja, ada apa memangnya? Aditya ingin melihat sesuatu atau ingin bermain bersama Mbak Ulya?"
Aditya menganggukkan kepalanya lalu dia juga menggelengkan kepala membuat Ulya tertawa akan tingkah Aditya.
"Begini Mbak, boleh Aditya jenguk Mama, Mbak Ulya, Aditya mau lihat? Lalu apakah boleh Aditya juga ikut memanggil Mbak Ulya dengan cebutan mbak Lia ceperti kakak tampan tadi."
"Benar Aditya ingin bertemu Mama, Mbak Lia?" tanya Ulya memastikan masih tak bisa membenarkan ucapan Hans yang mengatakan Aditya sudah dekat dengan orang asing.
"Betul Mbak Lia, Aditya ingin melihatnya."
Dari tempatnya berdiri Hans terus memperhatikan interaksi Aditya dan Ulya. Dia merasa tidak salah pilih sudah meminta Ulya untuk menjadi babysiter Aditya, tinggal menunggu persetujuan dari Ulya saja harapan Hans semgoa Ulya menerimanya seperti apa yang dia katakan pada Ulya.
"Hans," seorang menepuk pundak Hans membuat empuhnya menoleh.
"Benar kata Eris, kamu meminta wanita yang bersama Aditya itu untuk menjadi babysiter Aditya?"
Dokter Dika entah datang dari mana sudah berdiri di sebelah Hans ikut memperhatikan interaksi Ulya dan Aditya. Kedua laki-laki dewasa itu memang tidak tahu apa yang Aditya bicarkan pada gadis berbalut hijab syar'i itu yang pasti Aditya terlihat sangat bahagia.
Aditya bersama Ulya masih berada di depan pintu kamar rawat ibu Rida. "Ayo kita masuk ke dalam, tapi tidak boleh lama Aditya juga harus istirahat, mengerti sayang." Ulya mengelus sayang pucuk kepala Aditya.
"Siap Mbak Lia, asalkan Mbak Lia menemani Aditya nanti boleh?"
"Boleh, Insya Allah Mbak Lia akan menemani Aditya."
Akhirnya Ulya membawa masuk Aditya ke dalam kamar rawat ibu Rida atas permintaan Aditya sendiri.
Bismillahirohmanirohim.
...Tidak mudah memang berintraksi dengan orang baru, tapi selagi kita bisa melakukannya kenapa tidak, asalkan memberi kesan baik. Bukan pura-pura baik...
Tiga hari telah berlalu setelah perjanjian yang Ulya dan Hans buat, hari ini kedua orang itu akan kembali bertemu untuk membahas prilah tawaran Hans pada Ulya agar gadis itu mau menjadi pengasuh Aditya.
Allhamadulilah juga 2 hari yang lalu ibu Rida sudah siuman, Ulya dan sang kakak merasa sangat bersyukur.
Sekarang disinilah Ulya berada, di dalam ruangan kerja direktur rumah Sakit Harapan Bangsa, Ulya belum tahu jika Aditya, anak kecil yang dia temui berapa hari lalu merupakan anak dari orang yang berpengaruh di kota mereka.
Kini Ulya dan Hans duduk saling berhadapan, seperti biasa wajah datar Hans tetap terpajang disana, walaupun begitu Ulya dapat melihat sebuah senyum tipis yang selalu tersunging di wajah Hans, mungkin jika orang lain tidak bisa melihat senyum itu, tapi tidak dengan Ulya. Dia dapat menangkap senyum Hans secara mudah.
"Langsung saja, jadi persyaratan apa yang ingin kamu ajukan?" tanya Hans tanpa basa-basi.
Ulya tak langsung menjawab, dia menghembuskan nafas pelan sejenak. Masalah ini sebelumnya sudah dia diskusikan pada kakaknya, jawaban yang diberikan Fahri, dia akan ikut apapaun keputusan sang adik, Fahri akan mendukung. Asal adiknya tidak dimanfaatkan.
"Banyak persyaratan yang harus saya ajukan, Pak. Tapi apakah bapak setuju?"
"Katakan."
"Pertama, saya setuju menjadi pengasuh Aditya, asalkan tidak mengganggu jadwal kuliah saya, karena sebentar lagi saya akan menyusun skripsi. Kedua saya setuju menjadi pengasuh Aditya asalkan tidak ada yang mengusik kehidupan saya. Ketiga apakah bapak, bisa membayar biaya rumah sakit ibu saya? Dan terakhir apakah bapak sanggup membayar biaya kuliah saja. Dan apa yang saya dapat setelah menjadi pengasuh Aditya." Ucap Ulya panjang lebar.
Hans hanya menyimak apa yang Ulya sampaikan tanpa protes, dia memaklumi atas syarat yang Ulya ajukan. Karena menjadi pengasuh Aditya bukan kemauan Ulya juga. Hans hanya menerima usulan dari Dika, lagipula melihat Aditya tersenyum tulus baru-baru ini, sejak bertemu dengan Ulya, membuat dirinya juga setuju akan usulan yang Dika ajukan.
'Apapun akan daddy lakukan demi kamu, Aditya.' Batin Hans, dia sudah pasti akan menyanggupi persyaratan yang Ulya berikan.
"Saya menyanggupi semua persyaratan kamu, saya juga memiliki satu syarat, apakah kamu bisa memenuhinya?"
Ulya mengakat bahunya acuh, dia belum tahu persyaratan apa yang harus dia penuhi. Hans paham jika Ulya harus tahu dulu persyaratan apa yang harus Ulya penuhi langsung mengatakan pada gadis di depannya ini.
"Kamu, harus tinggal di kediaman Kasa, bagimana apakah setuju?"
Gleg!
Gadis berhijab syar'i yang duduk tenang di hadapan direktur rumah sakit Harapan Bangsa ini menelan ludahnya kasar, ketika dia mendengar nama keluarga paling berpengaruh di kota mereka, siapa yang tidak mengenal keluarga Kasa. Pemilik rumah sakit terbesar di kota B, salah satu keluarga yang berpengaruh di kota tersebut.
"Keluarga Kasa, pak? Apakah tidak salah, maaf, kalau boleh tahu siapa nama lengkap, Aditya?"
"Aditya Kasa." Jawab Hans datar, "jadi bagaimana, apakah kamu menyanggupi syarat yang saya ajukan?" tanpa Ulya sadari kepalanya mengangguk sebagai sebuah respons untuk Hans.
"Kamu sudah setuju, sekarang tanda tangani surat kontrak ini. Mulai besok kamu sudah menjadi pengasuh, Aditya." Ulya tidak berpikir lebih dahulu, otaknya yang terasa blank langsung saja dia menandatangani surat kontrak yang Hans tunjukkan pada dirinya.
*****
Seorang gadis berjalan ringan di lorong Rumah Sakit Harapan Bangsa, rumah sakit paling terkenal di kota B, sebuah senyum tipis terbit kedua sudut bibir gadis itu, dia membawa sebuah kantong plastik yang entah apa isinya. Hari ini Ulya sudah resmi menjadi pengasuh Aditya Kasa.
"Bismillah, permudahkan lah, semuanya. Ya Allah." Dia menghampiri salah satu kamar rawat anak-anak disana. Baru saja Ulya juga dari kamar rawat ibunya.
"Assalamualaikum." Ucap salam Ulya sambil membuka pintu kamar rawat.
"Wa'alaikumsalam, mbak Lia." Anak kecil itu sangat bersemangat kala melihat siapa yang menghampiri dirinya di rumah sakit.
Kedua bola mata Aditya berbinar sempurna, dia sampai turun dari atas brankar tempatnya berada hanya untuk menghampiri gadis dengan hijab syar'i yang sudah berhasil mengambil hatinya. Ulya juga melangkah mendekati Aditya sebuah senyum tulus dia berikan pada balita menggemaskan itu.
"Aditya, sudah sarapan?" tanya Ulya kala berhadapan dengan Aditya, dia mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Aditya yang masih kecil.
"Aditya, tidak mau makan, mbak. Makanan di rumah cakit tidak enak." Tolaknya mentah-mentah.
Saat berkata kepala Aditya sambil menggeleng ke kiri dan kanan. Anak kecil itu memegang gamis yang Ulya kenakan, untuk mengajak Ulya mendekati brankarnya.
Merasa gemas sendiri dengan wajah imut Aditya tanpa meminta persetujuan dari orangnya dia mencubit pelan pipi tembem nan bersih itu, hal tersebut membuat Aditya dan Ulya tertawa bersama. Padahal biasanya Aditya akan marah kalau ada orang yang mencubit pipinya, dia paling tidak suka orang lain sembarangan menyentuh dirinya. Mungkin, pengecualian untuk Ulya.
'Aku memang tidak salah memilih gadis ini menjadi pengasuh Aditya, dia baik tidak dibuat-buat seperti beberapa pengasuh, Aditya sebelumnya.' Ungkap Hans dalam benaknya.
Tadinya Hans ingin melihat keadaan Aditya memastikan jika bocah itu baik-baik saja dan tidak kabur sembarang, Dia malah melihat pengasuh baru anaknya sudah berada di kamar rawat Aditya membawa sarapan untuk Aditya juga, padahal jam masih menunjukkan pukul 8 pagi.
"Aditya nggak mau makan, makanan rumah sakit?" Sebuah gelengan kepala dari Aditya membuat Ulya paham.
Orang yang berdiri di depan pintu kamar rawat Aditya segera pergi dari sana setelah memastikan sang anak baik-baik saja. Dia tersadar dari lamunannya kala mendengar suara lembut Ulya, tidak ingin tertangkap basah telah mengintip, walaupun sebenarnya Hans tidak sedang mengintip, dia segera meninggalkan kamar rawat Aditya.
Ulya sendiri tidak sadar akan kehadiran bapak dari anak laki-laki yang kini menjadi tanggung jawabnya. Sementara Aditya merasa ada daddnya tadi tapi dia masa bodo amat.
"Ayo makan." Ajak Ulya setelah dia menyajikan sepiring bubur nasi dan sayur sop untuk Aditya.
Harum dari sayur sop yang Ulya bawa benar-benar dapat menggugah selera makan Aditya, dia sepertinya sudah sangat penasaran akan rasa sayur sop yang masuk ke indra penciumannya. Wangi sedap, kata itulah yang dapat digambarkan untuk sayur sop yang Ulya bawa.
"Aaa…" Pinta Ulya mulai akan menyuapi anak asuhnya.
"Bismillahirrahmanirrahim Allahumma barik lana fima razaqtana waqina adza banar."
Setelah itu baru Aditya memasukan suapan yang Ulya berikan. Mendengar Aditya membaca doa sebelum makan senyumnya kembali mengembang di wajah cantik milik Ulya.
"Kamu, pintar sekali, Aditya."
"Terima kacih atas pujian yang, mbak Ulya berikan." Aditya bicara dengan mulut yang masih penuh makanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!