Tiga tahun telah berlalu, di pelabuhan yang sibuk bernama Quanzhou, armada ekspedisi Mongol bersiap-siap untuk memulai pelayaran menuju Nusantara. Kapal-kapal perang yang telah dirancang dengan teliti berjejer di dermaga, menunggu untuk menjalankan peran mereka dalam perjalanan besar ini. Angin laut yang sejuk bertiup perlahan, seolah memberikan restu kepada pasukan yang siap mengarungi lautan yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.
Suasana di pelabuhan berubah menjadi riuh rendah dengan kehadiran Jenderal Shi Bi. Dalam pakaian yang mencerminkan kepemimpinannya, ia mengenakan baju zirah kulit yang kokoh, melindungi dirinya dari bahaya yang mungkin terjadi. Helm baja ringan diletakkan di kepalanya, menjaga keamanan kepala dan wajahnya yang dipenuhi tekad.
Para prajurit berkumpul di sekitarnya, seragam mereka mengkilat di bawah sinar matahari. Dengan sikap yang tegap, mereka mempersiapkan diri dengan berbagai senjata yang beragam. Tombak-tombak yang menjulang, kapak-kapak tempur yang mengesankan, dan busur-busur refleks yang siap meluncurkan anak panah. Bahkan senjata yang lebih modern seperti roket dan granat yang diluncurkan dengan ketapel juga ada, menunjukkan kesiapan mereka menghadapi berbagai situasi di medan perang yang mungkin beragam.
Kuda-kuda yang tegap dan kuat juga hadir. Kehadiran kuda-kuda ini memberi dimensi mobilitas yang lebih besar pada pasukan Mongol. Mereka siap membawa pasukan melintasi medan yang sulit, memberikan keunggulan taktis yang sangat penting dalam pertempuran.
Di antara barisan prajurit, terdapat seorang prajurit pendek, badannya tegap dengan tekad yang membara. Ia adalah Halraf yang telah tumbuh menjadi prajurit yang tangguh dan cerdas. Ia juga menjadi inspirasi bagi teman-temannya yang melihat semangat dan kerja kerasnya. Meskipun awalnya hanya seorang budak jarahan, Hal akhirnya menjadi sosok yang dihormati oleh sesama prajurit dan diakui oleh panglima Shi Bi.
Namun, yang paling menonjol dari seluruh pemandangan itu adalah semangat yang mengalir dalam mata para prajurit. Mata mereka penuh semangat dan tekad, siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi dalam perjalanan mereka.
Dengan komitmen dan kedisiplinan yang kuat, para prajurit Mongol memenuhi panggilan tugas mereka dengan penuh semangat. Keteguhan mereka tercermin dalam seragam yang mereka kenakan, senjata yang mereka genggam, dan tatapan mata penuh semangat yang mereka tunjukkan. Mereka siap mengarungi lautan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, dengan keyakinan bahwa keberhasilan dan kemuliaan akan menjadi bagian dari perjalanan mereka yang besar ini.
Jenderal Shi Bi, dengan pakaian yang khas dan wajah yang penuh tekad, memimpin prosesi ke pelabuhan. Di sekelilingnya, para prajurit yang telah bersiap dengan seragam dan peralatan, menunggu untuk memasuki kapal-kapal. Mata mereka penuh semangat dan keteguhan, karena mereka menyadari bahwa misi ini bukanlah hal yang ringan.
Para awak kapal, yang telah dilatih oleh Laksamana Guo Xing, bergerak dengan sigap. Mereka memastikan semua perbekalan telah terkumpul, mengecek tali-tali dan tali layar, memastikan semua persiapan telah selesai. Kapal-kapal diberkati oleh para imam sebagai tanda perlindungan, sementara para prajurit berseragam diberikan semangat terakhir oleh Jenderal Shi Bi.
Ketika semua siap, tanda diberikan, dan kapal-kapal perlahan mulai meninggalkan pelabuhan. Melaju perlahan ke tengah laut, kapal-kapal tersebut menjadi semakin kecil di cakrawala, tetapi semangat dan tekad para prajurit semakin besar dan tak tergoyahkan.
Di atas kapal, Angin menderu seperti raksasa yang berang di atas langit, bertiup dengan begitu kencang sehingga membelah kabut tipis di langit. Seperti alat musik luhur yang menggema dalam harmoni keras, tiupan angin itu menciptakan simfoni tanpa henti. Di bawahnya, lautan merespons dengan gemuruh yang megah, bergelombang setinggi gunung kecil. Ombak-ombak menjulang seperti pasukan raksasa yang ingin memaksa kapal untuk menyerah pada takdirnya.
Namun, di atas geladak yang terombang-ambing, para prajurit bertahan dengan ketabahan yang mengagumkan. Mereka adalah lentera-lentera yang tak padam di tengah badai, memancarkan semangat yang tak tergoyahkan di tengah tantangan. Seolah-olah badai ini adalah ujian dari laut yang memanggil mereka untuk membuktikan keberanian mereka.
Di dalam perut kapal yang bergerak dalam irama ombak, makanan adalah barang langka. Para prajurit seperti burung-burung yang haus di tengah padang gersang, mencari tetes kehidupan yang sangat dibutuhkan. Tetapi rasa lapar mereka adalah api yang membakar semangat mereka, mengilhami mereka untuk tetap bersatu dan kuat.
Setelah badai berlalu dan lautan akhirnya mereda, para prajurit merasa lega, meskipun lelah dan lemah akibat menghadapi badai yang dahsyat, semangat mereka tetap tak tergoyahkan. Mereka merasa seperti pemenang yang menghadapi ujian berat dan muncul dengan kepala tegak di tengah tantangan.
Dalam cahaya matahari yang kembali bersinar terang, kapal yang telah bertahan dalam badai itu kini berlayar dalam keadaan jauh lebih tenang. Para prajurit dengan hati-hati mulai membersihkan geladak dari sisa-sisa kerusakan yang ditinggalkan oleh ombak dan angin. Mereka bekerja bersama, saling membantu untuk memulihkan kapal dan membuatnya siap melanjutkan perjalanan.
Salah satu tugas pertama adalah merestorasi persediaan makanan yang telah terkuras habis selama badai. Para prajurit mengumpulkan sisa-sisa yang masih layak dikonsumsi dan mulai merencanakan cara untuk memperoleh makanan baru. Beberapa di antara mereka mungkin pergi memancing atau menjaring ikan untuk mengisi kembali persediaan. Dengan semangat yang tinggi, mereka berusaha mengatasi segala keterbatasan yang mungkin mereka hadapi.
Selain memulihkan persediaan makanan, para prajurit juga fokus pada perawatan kapal itu sendiri. Mereka memeriksa kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi selama badai, memperbaiki tali-tali yang rusak, dan menjalankan perawatan rutin lainnya. Kehadiran mereka yang tangguh dan tekad mereka yang kuat adalah tulang punggung dari usaha perbaikan ini.
Di tengah usaha perbaikan fisik, para prajurit juga saling berbagi cerita dan pengalaman selama badai. Mereka tertawa mengenang momen-momen kocak atau menyemangati satu sama lain dengan kisah inspiratif. Saat malam tiba, mereka berkumpul di geladak, menikmati angin lembut dan bintang-bintang yang bersinar di langit. Mereka merasa lebih dekat satu sama lain setelah menghadapi cobaan yang berat bersama-sama.
Di tengah canda tawa para prajurit, Ike Mese tenggelam dalam pikirannya, ia adalah seorang pemikir ulung yang sedang menyusun rencana yang akan membuka pintu ke dunia tak terjangkau. Dengan wajahnya yang tegas dan pengetahuannya yang luas, ia merangkul tugas besar yaitu merencanakan rute pelayaran.
Ia memandang peta dengan mata yang tajam, memahami bahwa Jawa terletak jauh di seberang lautan, lebih jauh daripada Champa. Pikiran-pikirannya membentuk jalur di lautan biru yang menghubungkan daratan-daratan yang belum dikenal. Ike Mese tahu bahwa pelayaran melintasi lautan tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga pengetahuan yang mendalam tentang aliran air dan hembusan angin.
Pikirannya berputar-putar seperti roda besi yang berkarat, mencari jalan keluar. Ide-ide dan pemikiran bermunculan seperti air terjun yang tak henti mengalir, namun tak satupun di antaranya tampaknya mampu memberikan solusi yang membuatnya tenang. Ike Mese kemudian memutuskan untuk menemui Laksamana Guo xing di ruangannya untuk meminta saran darinya.
Dalam sebuah ruangan yang tenang, diterangi sebuah lampu minyak , Ike Mese bertemu dengan seorang tokoh berwibawa, Laksamana Guo Xing. Wajahnya yang penuh pengalaman dan tatapan tajam mencerminkan kebijakan dan pengetahuan tentang lautan yang dalam. Di hadapannya, Ike Mese merasa hormat dan sedikit gugup, karena ia tahu bahwa di hadapan Laksamana ini, rencana pelayaran mereka akan menjadi kenyataan.
Laksamana Guo Xing menyambut Ike Mese dengan senyuman lembut dan mengundangnya untuk duduk. "Silahkan duduk, Ike Mese," ucapnya dengan suara yang penuh kebijaksanaan. "Saya telah mendengar tentang pelayaran Anda sebelumnya ke Nusantara untuk mengantar utusan ke kerajaan Singasari”
Ike Mese memandang Laksamana dengan penuh hormat. "Terima kasih, Laksamana, atas sambutan Anda. Kami pernah berlayar ke Jawa, sebuah tanah yang baru pertama kali kami jelajahi. Namun saya ragu jika melewati rute yang sama seperti saya berlayar ke Jawa sebelumnya, karena kita membawa begitu banyak kapal perang yang besar, itu akan menimbulkan kecurigaan di kerajaan sekitarannya”
Laksamana Guo Xing mengangguk mengerti. "Saya mengerti saya mengerti kekhawatiran dan kecemasanmu. Coba biar kulihat dulu rute yang kamu gambar di petamu"
Ike mese menyerahkan petanya kepada laksamana Guo Xing, ia menjelaskan jika rute perjalanannya di mulai melewati kerajaan Champa, kemudian langsung lurus menuju pulau jawa. Guo Xing berpikir sejenak, ia merasa jika langsung menuju ke jawa, itu akan memperburuk keadaan para prajurit.
“Ike Mese, bagaimana jika kapal bersinggah dulu sementara di Champa, untuk mengisi perbekalan dan memperbaiki kapal?, bagaimana menurutmu, apa kamu mempunyai pengetahuan mengenai kerajaan Champa ini?”
Ike mese menjelaskan bahwa penduduk Champa cukup aneh, sifat alami dan bahasa mereka sukar untuk dimengerti oleh bangsa mongol dan tionghoa, kebiasaan dan produksi kerajaan Champa tidak diketahui namun barang yang di jualnya memiliki harga yang berkualitas tinggi.
Setelah mendengarkan dengan seksama, Laksamana Guo Xing akhirnya angkat bicara "Berlayar ke tanah yang belum dikenal adalah sebuah tugas yang tak bisa dianggap enteng. Kita mungkin akan berhadapan dengan bangsa yang beragam, namun Champa sepertinya mempunyai kualitas barang yang kita butuhkan untuk melanjutkan perjalanan menuju jawa”
Setelah perbincangan yang panjang dan penuh makna, Laksamana Guo Xing menunjukkan peta-peta yang lebih rinci dan memberikan nasihat berharga tentang bagaimana menghadapi situasi yang mungkin terjadi di perjalanan. Ike Mese merasa terhormat dan terinspirasi oleh kebijaksanaan dan pengetahuan Laksamana.
Di antara angin laut dan deburan ombak, pasukan Mongol berlayar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Mereka membawa pengetahuan, semangat, dan keberanian untuk menjelajahi wilayah-wilayah yang masih misterius. Sebuah ekspedisi yang dipenuhi dengan tantangan, tetapi juga potensi yang tak terhingga.
Dalam perjalanan yang berhari-hari, mereka menghadapi berbagai ancaman dan tantangan. Teriknya matahari yang membakar kulit mereka, badai yang mengguncang kapal, dan gelombang yang menghantam dengan kuat, semuanya menjadi bagian dari pengalaman berharga dalam persiapan ekspedisi ini. Namun, di balik semua kesulitan itu, mereka terus menjaga semangat dan tetap fokus pada tujuan mereka.
Pelayaran ini juga menjadi waktu untuk melatih ketahanan fisik dan mental, serta untuk memperkuat kohesi dalam tim. Mereka belajar untuk saling mendukung, berbagi pengalaman, dan beradaptasi dengan kondisi yang terus berubah di lautan yang belum dikenal. Pelayaran ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan menuju kedewasaan dan persatuan.
Dengan tekad yang tak tergoyahkan dan semangat yang tinggi, armada ekspedisi Mongol terus maju melintasi lautan yang luas. Mereka menyadari bahwa setiap gelombang yang mereka taklukkan membawa mereka lebih dekat kepada tujuan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments