Halraf Saga: Rahasia Gelap Dan Petualangan Terang
Di tengah lahan yang luas terbaringlah seorang anak kecil sambil menggenggam sebuah tanaman kentang. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa melemah tak berdaya. Setiap hembusan napasnya terasa seperti helaan angin yang merobek-robek paru-parunya. Matanya berkunang-kunang, berusaha mempertahankan kesadaran dalam keadaan yang semakin kabur. Keringat mengucur deras dari dahinya, menjadikan wajahnya basah dan berkilau seperti permukaan air saat terkena cahaya matahari. Tubuhnya gemetar, mengisyaratkan kelelahan yang tak terbendung.
Dalam kesedihan dan kelelahan yang menyelimuti budak itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang lembut dan teratur. Mata budak itu terbuka lebar ketika ia melihat seorang wanita mendekat, membawa seember yang penuh dengan air segar. Wanita itu berhenti di dekatnya, memandanginya dengan simpati yang dalam.
"Ini air untukmu," ucapnya dengan suara lembut. Budak itu terkejut melihat kedatangan wanita tersebut. "Te-terima kasih tuan "
Wanita budak itu tersenyum sambil menyerahkan ember air kepadanya. "Aku bukan tuanmu, aku hanya seorang wanita budak yang juga hidup dalam belenggu ini," jawabnya dengan rendah hati. "Namaku Naran. Aku melihatmu bekerja dengan penuh kesungguhan setiap hari, dan hatiku tergerak untuk membawamu sedikit kenyamanan."
Budak itu menatap Naran dengan rasa terharu. "Terima kasih, Naran. Kupikir seseorang budak hanya mementingkan dirinya dan pekerjaannya” ucapnya sambil mengambil ember air dari tangan Naran. ”Tidak semua budak seperti itu, budak juga manusia, ia juga masih punya hati” jawab Naran. “ Apa kamu budak baru di sini?’’, lanjut tanya Naran. Budak itu mengangguk sambil mengangkat embernya ke atas dan memasukkan airnya ke mulut. “ Siapa namamu”. “ Aku tidak punya nama”. “Bagaimana jika kupanggil Hal?” “Hal?” tak sempat Naran menjawab, tiba-tiba tuan mereka datang "Apa yang kalian lakukan di sini Naran?!" ucap tuan mereka dengan keras.
Hal dan Naran saling pandang, namun dengan ketakutan yang terlihat jelas di mata mereka. "Saya hanya bersimpati kepada budak baru ini tuan, saya membawakan seember air dan mengajarinya beberapa pekerjaannya ," jawab Naran dengan hati berdebar. “Tak perlu, kamu pergi ambil air lagi dan lanjutkan pekerjaanmu” ucap tuannya. “ Baik tuan”. Lalu Naran mengambil ember bekas hal tadi dan langsung berlari melanjutkan pekerjaannya.
Tuan mereka sebenarnya memiliki hati yang baik, meskipun terkadang sikapnya terlihat tegas. Dia ingin mengajar dan membantu para budak agar menjadi lebih efisien dalam pekerjaan mereka. Dalam kesempatan ini, tuan itu memutuskan untuk mengajari Hal, tentang cara menanam kentang.
"Sekarang, dengarkan dengan baik," ucap tuan dengan suara yang tegas namun penuh pengajaran. "Untuk menanam kentang yang berkualitas, kamu harus memilih bibit yang baik dan menyediakan tanah yang subur. Pastikan kamu memberikan nutrisi yang cukup, seperti pupuk organik, dan jangan lupa untuk merawatnya dengan rajin."
Hal mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia merasa ada harapan baru, kesempatan untuk belajar dan meningkatkan keterampilannya. Meskipun masih kanak-kanak dan nasibnya terikat dalam perbudakan, pengetahuan yang diberikan oleh tuannya memberinya sedikit cahaya dalam kegelapan yang ada.
"Dengan tekad yang kuat dan kerja keras, kamu bisa menghasilkan panen kentang yang melimpah," lanjut tuan dengan nada yang lebih lembut. "Ingatlah, kamu memiliki potensi yang luar biasa. Jangan biarkan perbudakan meredam semangatmu. Gunakan pengetahuan ini untuk mengembangkan dirimu dan mewujudkan impianmu."
Hal menatap tuannya dengan perasaan campuran. Meski dia masih terikat oleh belenggu perbudakan, dia merasakan sentuhan kebaikan dan kesempatan untuk tumbuh. Dalam hatinya, tumbuh keyakinan bahwa suatu hari dia bisa meraih kebebasannya sendiri dan mengubah nasibnya.
Dengan bimbingan tuannya, Hal mulai mempelajari dengan tekun tentang cara menanam kentang. Dia mengaplikasikan pengetahuan baru yang dia dapatkan dan bekerja dengan semangat yang membara. Dia tahu bahwa meskipun masih ada rintangan yang harus dihadapinya, setiap langkah kecil adalah langkah menuju kebebasan dan kemandirian.
Hal terus mengerjakan apa yang tuannya suruh, dengan semangat dan efisien tanpa kelelahan seperti tadi. Dengan antusias ia juga menanyakan perihal yang tidak ia mengerti kepada tuannya. “Baiklah cukup sampai di sini aku mengajarimu, aku harus mengurus budak-budakku yang lain”. “ Kau adalah budakku yang ke 30, semangat, jika kau bisa membuatku senang dengan hasil panen yang berlimpah dari pekerjaanmu aku akan memberimu hadiah berupa kebebasan, ngomong-ngomong siapa namamu”. “ Namaku Hal tuan, terima kasih atas kebaikkan hati Anda” ucap Hal penuh semangat. “Panggil aku Tuan gandaf”. “baik Tuan Gandaf”. Tuan gandaf pun pergi.
Sebenarnya Tuan gandaf tidak ingin membeli budak seperti hal, namun ia merasa kasihan, karena ia masih kanak-kanak dan sudah menjadi budak. Ia pun berinisiatif untuk membelinya sekaligus mendidiknya agar ia bisa bertahan hidup di dunia.
Tuan gandaf memiliki 30 budak. Masing-masing budak diberikan pekerjaannya. Ada yang di pertanian, ada yang di bagian menempa logam, dan ada yang bagian rumah tangga. Namun sebagian budak ada yang sudah merdeka dan diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengikut Tuan gandaf atau menempuh hidup baru. Tuan gandaf juga memiliki beberapa penjaga lahan, untuk menjaga dan berpatroli, karena banyaknya kaum penjarah di luaran sana.
Suatu bangsa penjarah yang tak tertandingi dalam ketangkasannya menjelajahi tanah-tanah yang belum pernah mereka kuasai yaitu bangsa mongol. Dibawah panji-panji Kublai Khan, para penjarah Mongol menghancurkan apa pun yang berani menghalangi ambisi mereka. Mereka seperti badai yang ganas, datang dengan kecepatan tak terduga dan menguasai segala yang ada di depan mereka. Ketakutan tumbuh saat kabar kedatangan kaum penjarah Mongol mulai terdengar.
Mereka datang dengan jumlah yang tak terhitung, seperti pasukan kegelapan yang mengalir melalui hutan. Dalam kegelapan malam, panji-panji dengan tulisan Khan berkibar angkuh di atas kuda-kuda perkasa. Kaum penjarah Mongol itu menyerbu desa – desa yang ia lewatinya, dengan kejam, merampas harta benda, membakar rumah-rumah, dan melukai siapa pun yang berani menghalangi.
Namun tak masalah bagi Tuan Gandaf, karena wilayahnya aman dalam lindungan raja. Tanah milik Tuan gandaf terletak di wilayah kerajaan Singasari, tepatnya sekitar 20km dari kerajaan. Tiap panen tuan Gandaf selalu memberikan upeti berupa bahan makanan pokok. Dengan imbalan perlindungan wilayahnya dari para penjarah.
Waktu tak terasa, cahaya senja menyapa para budak yang telah menyelesaikan pekerjaan berat mereka. Dengan punggung yang membungkuk dan tangan yang penuh dengan lebam, mereka mulai membentuk antrean yang teratur, menantikan giliran untuk mendapatkan upah mereka. Sambil menunggu, suara kelelahan dan bersemangat bercampur aduk di antara para budak. Mereka saling berbagi cerita tentang hari-hari yang penuh perjuangan di bawah terik matahari dan beban kerja yang tak berkesudahan.
"Kerja keras kita pasti akan terbayar," kata seorang budak dengan suara bergetar. "Saya sudah bermimpi tentang kentang yang enak di malam ini. "Budak-budak yang lain tersenyum dan mengangguk, merasakan harapan yang sama. Mereka terus berbicara satu sama lain, mengobrol tentang cita-cita mereka dan kehidupan yang mereka impikan di luar ladang yang mengikat mereka.
Sementara itu, Tuan Gandaf mengamati dari kejauhan. Dia adalah Tuan pemilik ladang yang bijaksana dengan sorot mata yang penuh pengertian. Dia melihat betapa kerasnya para budak bekerja dan ingin memberikan penghargaan yang pantas untuk usaha mereka. "Tuan, bisakah kami segera mendapatkan kentang kami?" tanya seorang budak dengan penuh harap. Tuan Gandaf mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, kalian semua telah bekerja keras hari ini. Kentang yang kalian tanam dan rawat dengan penuh dedikasi adalah upah yang kalian pantas dapatkan. Mari kita segera berbagi hasil kerja ini."
Budak-budak itu berbaris di depan rumah Tuan Gandaf, menerima secarik kain yang berisi kentang segar. Ekspresi kegembiraan dan terima kasih terpancar di wajah mereka saat mereka menerima upah yang telah lama mereka nantikan. "Terima kasih, tuan," ucap salah satu budak dengan penuh rasa syukur. "Ini adalah hadiah yang berharga bagi kami. Kami akan menyantapnya dengan penuh rasa nikmat. "Tuan Gandaf tersenyum bangga melihat kegembiraan di wajah para budak. Dia percaya bahwa setiap manusia pantas mendapatkan penghargaan atas kerja kerasnya, meskipun mereka terikat oleh perbudakan. Dalam kentang-kentang itu, dia melihat harapan dan keinginan akan kehidupan yang lebih baik. Hal datang paling akhir, ia menghampiri tuan Gandaf, tubuhnya melengkung seperti pohon yang terkena badai, tangannya bergelantungan dibawah tak kuasa menahan daya tarik bumi, matanya sayu dan mencoba terus fokus menargetkan pandangan.
Lalu tuan Gandaf datang dan menghampirinya dan mengantarkan ke kelompoknya. Kemudian salah satu budak menyapanya.
“ Hey, bocah, sini, berkumpul dengan kita berempat” Hal pun menoleh dan menghampirinya.
” Kamu masih kecil, berapa umurmu” tanya seorang.
“ kenapa kamu bisa menjadi budak seperti ini’’ ucap seorang lagi.
“ Baru kali ini aku melihat budak seorang anak kecil, bekerja keras pula, saat aku masih seusia mu aku masih berlarian kesana kemari mengejar kupu-kupu loh anak”
Mereka berhenti agak lama hanya waktu menggigit kentang dan mengunyahnya Hal pun malu-malu duduk disamping mereka. Mereka duduk didepan gubuk. Hal mendengarkan saja dan mengucap beberapa kata. “ Namaku Hal”
“Mohon bantuannya untuk mengurus lahan ya Hal, oh iya namaku Aswin, orang yang menyapamu pertama itu Catra, kemudian yang kurus itu Darma, lalu yang sedang rakus makan kentang itu Param”
“ Hey siapa yang kau panggil rakus, aku makan untuk memperbaiki giziku, kau juga makan yang banyak hal supaya cepat besar, seperti aku ini lihat ototku” Ucap Param sambil merangkul Hal dan menunjukan otot lengannya yang jering penuh urat.
Dalam kesederhanaan mereka, para budak duduk bersama di bawah langit senja, menyantap kentang yang mereka peroleh. Mereka membagi cerita, tertawa, dan merasakan kelegaan setelah hari yang panjang. Meski terikat oleh perbudakan, momen ini membawa mereka dekat, mengingatkan bahwa kehidupan dan kebahagiaan ada di tangan mereka sendiri.
Di bawah sinar bulan yang terang, para budak menikmati hidangan sederhana mereka dengan penuh rasa syukur. Mereka mengucapkan doa-doa dalam hati, berharap agar masa depan bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi mereka dan sesama budak yang terjebak dalam belenggu perbudakan.
Sambil menikmati setiap gigitan kentang yang lezat, mereka berjanji untuk terus mempertahankan semangat dan keberanian, menghadapi setiap tantangan dengan tekad yang tak tergoyahkan. Dalam kesederhanaan makan malam itu, para budak merasakan kekuatan persatuan dan harapan yang tak terhingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Monica Lora
ceritanya bagus.. bny pesan nya
2023-09-11
0
deeyaa
jujur ya Thor, aku lebih suka cerita yang menceritakan sebuah perjuangan seperti ini. si tokoh utama gak semerta-merta langsung sukses dan bahagia. semua itu di lewati oleh kerja keras
2023-09-05
0
Alfan
baru pertama kali baca aku udah suka aja sama ini buku, sukses selalu buat author ✌️
2023-09-01
0