Nararya Sangrama Wijaya

Di balik awan gelap yang bergelayut di langit, pasukan kediri dan para pemberontak maju menuju kerajaan siangasari dengan langkah berat, membawa beban kemenangan yang seharusnya membuat mereka bersukacita. Namun, di antara kerumunan prajurit yang mengenakan zirah dan perisai yang berkilat, ekspresi wajah mereka tergambar dengan kekhawatiran yang tak terelakkan. Tidak ada sorak sorai, tidak ada riuh rendah yang biasanya menyertai pemenang kembali ke tanah air. Seakan-akan kabar kemenangan itu tidak memiliki arti yang berarti, karena beban yang jauh lebih besar menghantui pikiran mereka.

Pemimpin pasukan, Jayakatwang yang licin dan juga cerdik, memandu barisan dengan pandangan yang dalam. Dia menyadari perubahan suasana hati para prajuritnya dan ketegangan yang menguasai barisan.

Hujan turun perlahan, mengingatkan pasukan akan ketidakpastian yang menyelimuti mereka sejak awal perjalanan. Setiap tetes hujan seperti rintik air jernih yang mengalir dari langit, menyirami perasaan gelisah dan kecemasan yang terpendam dalam diri mereka. Begitu mereka memasuki gerbang kota, langit yang telah mereka nikmati selama perjalanan kini menjadi teman setia hujan yang turun deras, seolah menyampaikan pesan bahwa, cuaca pun tunduk pada situasi tegang yang merayap di antara pasukan.

Namun berbeda dengan Jayakatwang, ia tampak begitu bahagia, seolah hujan adalah pelukan lembut dari alam yang memuji keberhasilannya. Matanya berkilauan dengan kegembiraan ketika dia memandang ke belakang melihat pasukannya yang lelah dan basah kuyup. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajah Jayakatwang, hanya senyuman puas dan keberhasilan yang sangat dia nantikan. Menggulingkan Kertanegara adalah impian Jayakatwang sejak lama.

Dalam hati para pemberontak, pertanyaan mendera. Apakah kemenangan sebenarnya menghantarkan mereka menuju perdamaian dan kemakmuran, ataukah ini hanya awal dari ketidakpastian dan pertumpahan darah yang lebih besar? Ataukah akan menjadi awal kehancuran kerajaan singasari? Dalam bahaya yang mengintai di balik senyuman sang pemimpin, mereka merasa bahwa kemenangan yang dirayakan itu hanyalah lapisan tipis dari tragedi yang sedang diolah.

Dalam suasana yang meradang di balik senyum dan hujan, pasukan itu bergerak maju dengan kekhawatiran yang masih melekat erat pada diri mereka. Mereka mungkin telah membawa kemenangan, tetapi pertanyaan tak terjawab tetap tergantung di udara, menggantung seperti kabut yang menutupi masa depan.

Di gerbang istana kota, suasana semakin tegang ketika langkah pasukan pemberontak melangkah masuk. Tapi alih-alih disambut dengan kehangatan dan ucapan selamat, pasukan pemberontak mendapati diri mereka dihadapkan pada barisan pasukan dari Bhre Wijaya. Bhre wijaya sangat setia terhadap kertanegara, ia tetap menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

Hujan semakin deras dengan gemuruh guntur yang menggelegar Langit senja yang merah menjadikan latar belakang yang dramatis untuk pertemuan ini. Tetesan-tetesan air hujan besar seperti anak panah yang jatuh dengan amarah, menghantam atap-atap dan jendela-jendela dengan keras. Warga singasari yang penasaran mengintip dimulainya pertempuran dari balik jendela rumah mereka.

Hujan yang turun membuat tanah di sekitar mereka menjadi licin, mengingatkan semua orang akan ketidakpastian yang menyelimuti perjalanan mereka, bukan hanya dari pasukan pemberontak melainkan juga dari pasukan bhre wijaya. Mereka ragu apakah bisa menahan pasukan pemberontak karena jumlahnya tak sebanding dengannya. Setiap tetes hujan tampak seperti embun kehidupan yang mencuci keraguan dan kekhawatiran yang ada di hati pasukan kedua sisi. Namun, mereka tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tindakan mereka telah membawa mereka ke ambang pertempuran yang tak terelakkan.

Tiba-tiba, suasana terasa seperti mendekati ledakan energi. Meskipun pertempuran belum pecah, tetapi di udara terasa tegangan yang melingkupi seakan guntur yang siap membelah langit. Wajah-wajah tegang dan mata yang penuh perhitungan menciptakan suasana penuh dengan antisipasi akan apa yang akan datang. Dalam ketegangan seperti ini, setiap detik terasa berharga, setiap hembusan angin terasa sebagai nafas yang ditahan, dan langkah-langkah seperti mendayung di lautan ketidakpastian. Kedua belah pihak menatap satu sama lain dengan mata yang tajam, menunggu siapa yang akan pertama kali mengambil langkah maju. Jayakatwang sang pemimpin pemberontak melangkah maju, diikuti oleh prajuritnya yang bergerak dengan kepastian yang mantap.

Pasukan Bhre Wijaya berdiri tegak dengan perisai dan pedang yang berkilauan terkena air hujan. Kehadiran mereka menunjukkan solidaritas dan loyalitas yang kokoh terhadap raja mereka, dalam kontras yang tajam dengan pasukan pemberontak yang datang dengan perasaan cemas dan ketidakpastian. Pasukan bhre wijaya mencoba untuk tetap tegak berdiri menghadang pasukan pemberontak di depan gerbang. Meskipun berhadapan dengan potensi konflik yang berbahaya, ekspresi Jayakatwang tetap tenang dan percaya diri.

“Bhre wijaya budak setia Kertanegara, atau haruskah kupanggil Nararya sangrama wijaya karena telah memperkuat kedudukan Kertanegara sebagai raja di singasari?” Ucap Jayakatwang dengan mengejek “Sangat beruntung sekali kertanegara mempunyai dirimu yang selalu ada disisinya, namun akulah sekarang raja singasari!!, jadi abdikan dirimu padaku wijaya!!”

Bhre wijaya membuang ludah di depannya “Tidak sudi aku mengabdi pada raja licik sepertimu”

“Oh begitu ya, memangnya kau sanggup menghadapiku hanya bermodal kan segelintir pasukan? Percaya diri saja tidak cukup loh!! Bagaimana kalau kita bertaruh, jikalau kau menang kau boleh menjadi raja dan jikalau aku yang menang kau harus menjadi budakku”

Belum sempat Jayakatwang mendengar jawaban dari Bhre wijaya tiba tiba ia dan pasukannya di hujani anak panah. Pasukan Jayakatwang dengan sigap mengangkat perisai mereka ke atas untuk melindungi kepala mereka. Kemudian Jayakatwang memerintahkan pasukannya untuk maju dan menangkap Bhre Wijaya hidup-hidup.

Ketika pasukan dari Jayakatwang semakin mendekat, pasukan Bhre wijaya dengan tiba-tiba bersiap-siap untuk pertempuran. Pedang dan perisai mereka siap diangkat untuk bertahan atau menyerang. Sedangkan bagian pasukan garis depan menggunakan perisai mereka untuk menutup gerbang.

Dalam momen berikutnya, dua pasukan itu bertabrakan dengan suara beradu pedang dan perisai yang bergema. Teriakan perang memecah derasnya suara hujan, dan suara gemuruh pertempuran bergema di udara. Seakan-akan alam sendiri ikut merespons pertempuran ini, petir menyambar di langit jauh, menyala seperti api amarah yang membara.

Dalam hujan darah dan keringat, pasukan Bhre wijaya berjuang dengan tekad yang sama-sama kuat. Di antara sorak sorai peperangan dan sentuhan pedang yang dingin, pertanyaan tentang pengkhianatan dan kesetiaan berbenturan dalam pertempuran yang mewakili perang di dalam diri manusia. Meskipun langit senja semakin gelap, kilauan harapan masih berkilau seperti bintang di tengah kegelapan malam.

Medan perang menjadi berantakan, langit mendung menyaksikan kelumpuhan pasukan Bhre wijaya yang kalah. Langkah para prajurit yang tadinya perkasa, kini terhenti dalam getaran yang penuh keputusasaan. Suasana itu seperti layar kelam yang menghadapi saat penurunan.

Para prajurit yang dulu mengikuti Bhre wijaya dengan setia, kini berserakan di sekitar dengan luka-luka yang merobek jiwa. Suara tangisan dan teriakan kesakitan memenuhi udara, menciptakan latar belakang yang suram. Tetesan hujan yang jatuh seperti tangisan alam yang turut berduka atas kekalahan ini.

Jayakatwang dan pasukannya menyusuri pasukan Bhre wijaya yang terluka dan menusukkan pedangnya untuk mengakhiri hidup mereka yang telah tumbang. Terlihat juga Bhre wijaya, seorang yang tangguh dan penuh tekad, kini tergeletak pingsan di atas tanah, seluruh badan dan mukanya berlumuran darah. Wajahnya yang dulu dihiasi dengan kepercayaan diri dan kebijakan, sekarang tercermin penuh dengan kelelahan dan kekalahan. Pedangnya kini tidak berada dalam genggamannya. Jayakatwang menghampirinya dan menjambak rambutnya untuk melihat mukanya, ia memastikan apakah Bhre wijaya masih bernafas atau tidak.

Setelah memastikannya masih hidup ia menyeretnya masuk ke istana, sedangkan pasukannya di istirahatkan karena kondisi mereka sudah terlalu lelah menghadapi perang 2 kali sekaligus. Para pasukan beristirahat di kedai-kedai dekat istana yang buka. Ada pula yang menjarah dari prajurit yang sudah gugur untuk dicari uang mereka atau barang berharga yang mereka bawa.

Setelah pertempuran dan hujan mereda, suasana yang ada di sekitar berbeda dengan sebelumnya. Ada perubahan yang dapat dirasakan, baik dari segi visual maupun perasaan yang dihadirkan oleh suasana setelah pertempuran dan hujan reda.

Di medan perang yang baru saja menjadi saksi dari pertumpahan darah dan perjuangan sengit, kini terdapat jejak-jejak yang mengingatkan akan keganasan yang baru saja terjadi. Pedang-pedang tergeletak di tanah, perisai-perisai retak, dan puing-puing pertempuran melintang di mana-mana. Langit yang sebelumnya gelap dan muram, kini mulai mengungkap cahaya keemasan matahari terbenam.

Tetesan air hujan yang masih menitik dari dedaunan dan ranting-ranting pohon menciptakan melodi lembut yang memecah keheningan. Cahaya matahari terbenam yang merah memancarkan kehangatan dan keindahan di atas lanskap yang penuh luka dan kerusakan. Di antara puing-puing dan jejak perang, ada rasa haru dan kelegaan yang mencampur aduk.

Sebuah kereta kuda melaju dengan perlahan melewati bekas area pertempuran. Rodanya menggelinding di atas lumpur yang basah, meninggalkan jejak-jejak cekungan yang dalam. Di atas kereta tersebut, tuan Gandaf seorang pria paruh baya dengan janggut abu-abu menahan kendali tali pengendali, matanya memandang ke depan dengan tegas. Tangannya yang kuat memegang kendali kereta, seolah mengendalikan nasibnya sendiri di tengah keadaan penuh kerusakan dan kehancuran.

Di sebelahnya, seorang anak laki-laki yaitu Hal duduk dengan pandangan penuh keingintahuan. Matanya yang cerah memancarkan semangat yang belum terlalu terpengaruh oleh pahitnya peperangan. Dia menatap ke luar dengan penuh rasa ingin tahu, mencoba mencerna pemandangan yang baru saja melalui mata anak kecil itu, tetapi dengan kereta kuda ini, dia dibawa melalui masa-masa yang sulit dan tak terlupakan.

Di sekelilingnya, pemandangan setelah pertempuran tampak terhampar. Puing-puing bangunan yang hancur berjajar di kedua sisi jalan, sebagai saksi bisu dari kehancuran yang telah terjadi. Sepasang burung gagak terbang rendah di atas kepala, seperti pembawa berita buruk dari medan perang. Derasnya hujan yang baru saja mereda meninggalkan bau tanah basah dan rasa segar di udara, seolah mencuci luka-luka bumi yang masih terbukti.

Namun, yang paling mencolok dalam pemandangan itu adalah barisan prajurit yang gugur. Mereka terletak dengan tenang di sisi jalan, dihormati oleh kereta kuda yang lewat. Pedang-pedang yang ditancapkan di samping mereka menghormati sang pengguna dengan hening, sebagai penghormatan terakhir bagi jiwa-jiwa pemberani yang telah mengorbankan segalanya. Meskipun perang telah usai, jejak-jejak pertempuran masih tetap nyata di setiap sudut.

Pedang itu menggambarkan sebuah cerita tak terucapkan, kisah peperangan yang kejam dan perjuangan yang berakhir sia-sia. Bukan hanya sebuah senjata, pedang ini telah menjadi monumen bagi jiwa-jiwa yang telah pergi, menghadapi akhir yang tragis di medan perang yang telah mereka pertahankan dengan gagah berani.

Tuan Gandaf dan Hal memasuki wilayah istana singasari. Suasana cukup ramai penuh dengan prajurit. Pandangan tajam para prajurit itu melayang ke segala arah, memantau setiap pergerakan yang melewati mereka. Mereka membasuh bekas darah di senjata-senjata mereka. Wajah para prajurit itu mencerminkan keresahan dan perenungan. Mereka berpikir tentang kisah-kisah penuh kehidupan yang telah berakhir oleh pedang ini, dan juga tentang teman-temannya yang telah gugur dalam peperangan tersebut. Namun, tugas membersihkan pedang menjadi seperti sebuah ritual, seolah-olah dengan setiap goresan kain, mereka juga membersihkan hati dan pikirannya dari beban perang yang melekat.

Kemudian Hal dan tuan Gandaf berjalan memasuki istana. Di pintu masuk mereka berdua dihadang oleh salah satu prajurit. Tuan Gandaf pun menjelaskan maksud kedatangannya menemui raja Kertanegara untuk membawakan upeti hasil panen. Namun prajurit itu menegaskan bahwa Raja kertanegara telah meninggal. Tuan Gandaf terkejut mendengarnya seakan akan tidak percaya, padahal ia telah membawa upeti satu gerobak penuh. Prajurit itu kemudian melapor kepada Raja Jayakatwang sedangkan Tuan Gandaf dan Hal disuruh menunggu di ruang .

Di dalam ruang tunggu, Tuan Gandaf terus merenung, ia telah kehilangan Raja kertanegara sebagai penyokongnya, kini ia harus menjalin hubungan baik kepada raja singasari selanjutnya. Beberapa menit waktu berlalu, prajurit yang melapor tadi menyuruh Tuan gandaf untuk masuk.

Di tengah aula, Tuan gandaf terkejut melihat Bhre wijaya yang diikat dan bersimpuh didepan. Bhre wijaya yang tadinya orang kepercayaan Raja Kertanegara kini dijaga oleh lima orang prajurit dan menjadi tawanan perang Jayakatwang. Bhre wijaya terus di paksa untuk tunduk dan mengabdi kepadanya, namun Bhre wijaya tetap keras kepala dan malah menantang sambil mengangkat kepalanya ke arah Jayakatwang. Jayakatwang sama sekali tidak marah malahan ia tersenyum sambil mengejek.

Kemudian Jayakatwang melihat kedatangan tuan Gandaf dan menyambutnya dengan ramah. Jayakatwang adalah seorang raja yang memiliki penampilan mencolok duduk diatas tahta mengenakan mahkota. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap, seolah-olah mencerminkan keberanian dan kekuatan yang terpancar dari dirinya. Wajahnya yang tegas dan penuh ketegasan menggambarkan karakter kepemimpinan yang kuat.

Rambut hitamnya yang lebat menjuntai ke belakang, mengingatkan pada keberanian dan semangat pejuang yang tak tergoyahkan. Tatapan matanya yang tajam dan penuh tekad mampu membuat siapa saja yang bertemu dengannya merasa bahwa ia adalah sosok yang patut diperhitungkan. Bekas-bekas luka kecil di wajahnya mungkin merupakan saksi dari pengalaman perjuangan dan ketekunan yang telah ia hadapi.

Tuan gandaf dan Hal disuruh maju untuk mendekat kepada Raja Jayakatwang, mereka berlutut di hadapannya. Hal juga berlutut penuh hormat tapi se-sekali ia melirik ke samping untuk melihat kondisi Bhre wijaya.

“Tuan Gandaf, aku sudah melihat pemberianmu, semuanya berkualitas tinggi, aku terima barangnya” ucap Jayakatwang penuh dengan wibawa.

“Maharaja, saya merasa terhormat”

“Apa semua tanaman itu ditanam di ladangmu?”

“Benar semuanya ditanam di ladang saya, mendiang raja kertanegara juga senang dengan produk dari saya” ucap Tuan Gandaf dengan tersenyum.

“Hmm, petani yang kuat sepertimu adalah harta karun bagi kerajaan singasari, kau harus terus melayani sebagai fondasi kekuatan bangsa kita dengan bangga”

Tuan Gandaf tercengang mendengarnya “Saya senang mendengarnya, Maharaja, saya harap bisa terus bisa mendapatkan dukungan dari Maharaja”

Arya wiraraja kemudian berbisik kepada Raja Jayakatwang. Ia menjelaskan keuangan SIngasari makin memburuk karena terus terusan berperang dan ia menjelaskan juga hasil penyelidikan dokumen tentang orang kaya dan petani di singasari, meski ia telah menekan upeti di banyak pihak dalam daftar dokumen, paling hanya dapat 4000 paun perak per tahunnya, sisanya tidak ada cara lain lagi selain menaikkan pajak pada seluruh rakyat. Namun jika Jayakatwang menaikkan pajak rakyat secara signifikan saat pertama kali jadi raja singasari, pasti langsung akan terjadi penolakan besar besaran. Arya wiraraja menyarankan untuk memanfaatkan Tuan Gandaf karena ia petani kaya yang memiliki tanah luas di wilayah utara.

Jayakatwang kemudian bangkit dari singgasananya.

“Tentu saja tuan Gandaf, aku akan terus memberikan dukungan kepadamu, tapi untuk satu gerobak upeti masih kurang, rakyat kita masih ada yang kelaparan, apakah kamu bisa menambahnya menjadi tiga kali lipat?”

“Apa tiga kali lipat Maharaja?” ucap Tuan gandaf dengan terkejut, “Kalau tiga kali lipat saya tidak sanggup Maharaja, saya dan anak buah saya tidak bisa makan kalau begitu”

“Tidak bisa ya, kalau begitu biar pihak istana yang akan mengelola lahan mu”. Ucap Jayakatwang sambil menyuruh ketiga prajuritnya untuk menangkap Hal dan Tuan Gandaf. Mereka berdua diancam menggunakan pedang di belakang mereka. Entah apa yang ada didalam pikiran Hal tiba tiba menghadap ke belakang dan menendang pedang itu. Pedang itu terlempar ke atas, semua mata tertuju kepada Hal, termasuk Bhre wijaya. Kemudian Hal berlari mengambil pedang itu. Kelima penjaga yang melihatnya langsung mengejar. Namun Jayakatwang melarangnya dan hanya menyuruh salah satu. Ia ingin menguji seberapa besar nyali seorang anak kecil melawan prajurit yang handal.

Setelah berhasil meraih pedang, Hal memegangnya dengan kedua tangan, kemudian ia berbalik menghadap musuhnya di depan. Prajurit itu memandang Hal dengan senyum mengejek yang meremehkan, seperti menganggap duel ini sebagai sebuah lelucon. Ia merasa bahwa pertarungan ini tidak sebanding, seolah-olah mengejek anak kecil tersebut.

Namun, Hal tidak terpengaruh oleh tatapan merendahkan itu. Dia menatap prajurit dengan ketegasan, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ukuran dan pengalaman bukanlah segalanya. Hal memasang sikap kuda-kuda kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang, dengan tegap dan sedikit merunduk ia perlahan maju.

Saat pertarungan dimulai, Hal dengan sekuat tenaga mengayunkan pedangnya, tapi dengan mudah di belokkan oleh musuh. Namun aneh sekali rasanya, Hal tidak pernah memegang pedang sebelumnya, tetapi ia merasa pas di tangannya. Ia tahu betul cara mengayunkannya, mungkin pengalaman mencangkul dan menempanya mempengaruhi pengalaman berpedangnya.

Seiring berjalannya waktu pedangnya bergerak dengan cepat, menunjukkan bahwa di balik kecil tubuhnya, ada ketekunan dan keterampilan yang diperhitungkan. Meskipun belum berpengalaman, anak kecil itu mengandalkan insting dan semangatnya untuk menghadapi tantangan ini. Dalam momen yang mengejutkan, Hal berhasil menghindari serangan prajurit dan dengan gesit ia hampir menekankan pedangnya pada jantung prajurit. Namun prajurit itu dengan sigap menahan laju pedang milik Hal. Prajurit itu merasa kesal karena Hal hampir bisa mengimbanginya. Kemudian ia menendang Hal saat sikap kuda kudanya tidak seimbang.

Hal terlempar jauh membentur punggung bhre wijaya. Nafas tersengal-sengal dan mata yang sedikit sayu menahan rasa sakit akibat benturan. Jayakatwang kemudian menyuruh prajurit itu untuk membunuhnya. Hal dengan cerdik menggesek gesek kan pedangnya tanpa ketahuan di tali yang mengikat Bhre wijaya, Ia memberi isyarat kepada Bhre wijaya untuk menggantikannya bertarung.

Saat prajurit itu mendekat Bhre Wijaya dengan sigap membalikkan badannya dan menghunus pedangnya tepat menusuk leher prajurit itu. Semua yang melihatnya tercengang termasuk Jayakatwang.

Kemudian Jayakatwang berteriak menyuruh membunuh mereka bertiga. Bhre Wijaya berdiri sebagai sosok yang mengerikan. Wajahnya tertutup lumpur dan darah, mata tajamnya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Tangan yang memegang pedang terlihat kuat dan siap untuk menghancurkan apapun yang menghalanginya.

Prajurit pertama mendekat dengan pedangnya yang terhunus. Dengan cepat, Bhre Wijaya menghindar dengan loncatan yang lincah ke samping. Ketika prajurit itu melepaskan serangannya, prajurit itu menggerakkan pedangnya dengan kecepatan kilat, meluncurkan serangan balasan yang memotong leher musuh dengan tajam. Dalam sekejap, musuh pertama roboh ke tanah dalam kekacauan.

Sebelum Prajurit kedua bisa merespons, Bhre Wijaya telah bergerak dengan cepat. Dengan pergerakan yang terampil, dia memutar tubuhnya dan menahan serangan lawan dengan pedanngnya. Kemudian, dia merespons dengan serangan tendangan keras untuk memberi sedikit jarak. Kemudian mengayunkan pedangnya, pedang itu menyapu udara dan dengan presisi yang mengagumkan, memotong lengan prajurit kedua.

Tidak ada jeda untuk bernapas. Bhre Wijaya beralih dengan lincah ke prajurit ketiga yang mendekatinya dengan tombak panjang. Dia melakukan gerakan menyerang, menendang ke udara dan meluncurkan serangan pedangnya. Pedang itu menusuk dada prajurit ketiga dengan kekuatan yang luar biasa, menghentikan pergerakannya dalam sekejap.

Prajurit ke empat berjalan mendekati Tuan gandaf, dengan sigap Hal mengambil pedang milik prajurit yang ada tangannya terpotong tadi. Dengan gerakan spontan ia menahan tebasan pedang yang hampir mengenai Tuan Gandaf.

Bhre Wijaya yang melihat prajurit yang masih tersisa, tanpa ragu, dia mendekatinya dengan langkah-langkah yang mantap. Ketika dia berhasil menyusul, Bhre Wijaya melompat dan melakukan serangan akhir yang mematikan, memotong kepala musuh keempat dengan tepat.

Dalam hitungan detik, empat prajurit telah terkapar di lantai. Hal duduk di samping Tuan Gandaf dengan tatapan mata yang kosong. Wajahnya pucat dan terlihat lelah, ia memegang erat pedang yang diambilnya tadi, seolah mencoba mencari pelukan dalam dunia yang penuh kecemasan.

Dalam matanya yang polos, terlihat kilasan yang mengerikan. Bayangan pembantaian yang baru saja dia saksikan secara langsung meresap ke dalam pikirannya, meninggalkan bekas trauma yang dalam. Dia teringat aroma besi dan bau darah yang mengisi udara, serta suara jeritan dan tangisan yang masih terngiang di telinganya.

Bhre wijaya setelah selesai membantai ke empat prajurit ia mengarahkan pedangnya ke arah Jayakatwang dan Arya Wiraraja dengan tatapan amarah ingin segera memburunya, namun Bhre Wijaya lebih memilih mundur dan memikirkan strategi lagi untuk merebut kekuasaan. Kemudian ia menggendong Hal yang masih terpaku oleh darah. Mereka bertiga berlari keluar, Jayakatwang memerintahkan prajurit yang ada di luar untuk mengejarnya. Mereka bertiga berlari menuju kandang kuda dan mengendarainya untuk kabur keluar. Pasukan Jayakatwang tidak berhasil mengejar karena mereka sudah terlalu lelah akibat pertempuran hebat tadi siang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!