"Gerimis, aku harus cepat sampai rumah sebelum hujan lebih deras." Ujar seorang gadis yang tengah mengayuh sepedanya.
Namanya adalah Zana, ia baru saja pulang dari tempat kerjanya sebagai pelayan cafe.
Zana mengayuh sepedanya dengan cepat kala rintik-rintik hujan itu semakin deras berjatuhan, membuat jarak pandangnya terhalang dibawah langit malam beradu dengan derasnya hujan. Hingga akhirnya iapun memilih mencari tempat untuk berteduh sampai hujan mereda.
Disebuah rumah tak berpenghuni dan bisa dibilang seperti gubuk karena terbuat dari papan yang sudah sangat rapuh, disitulah Zana singgah untuk berteduh. Namun, ia tidak masuk kedalam melainkan hanya berdiri di teras gubuk tersebut.
Pakaiannya sudah setengah basah, ia mengusap-usap kedua lengannya untuk menciptakan rasa hangat dari hawa dingin yang menyelimuti kulitnya.
Dari kejauhan Zana melihat cahaya yang berasal dari lampu sebuah mobil. Ia memperhatikan pergerakan mobil itu yang perlahan melambat hingga berhenti tepat didepan gubuk tempat ia berteduh.
Samar-samar dari derasnya guyuran hujan yang sesekali diterangi kilatan-kilatan bisu, Zana melihat seorang laki-laki yang turun dari mobil itu dan terlihat tampak geram.
"Sial! Aku harus cepat sampai ke rumah sakit untuk mendapatkan obat penawar, tapi mobil sialan ini malah mogok disini!"
Dan benar saja, meski hujan sangat deras tetapi Zana masih dapat mendengar umpatan laki-laki itu yang kesal karena ternyata mobilnya sedang mogok.
Zana langsung mengalihkan tatapannya kearah lain, ketika laki-laki itu menoleh menatap kearahnya. Hawa dingin semakin membuat tubuhnya bergidik kala dari ekor matanya ia menangkap siluet laki-laki itu melangkah cepat kearahnya.
"Apa ini rumahmu?"
Zana tersentak dan refleks mengelus dadanya mendengar pertanyaan laki-laki itu yang telah berdiri disampingnya, "Bukan, ini rumah tak berpenghuni. Aku hanya berteduh disini." Jawabnya dengan acuh, dan tanpa melihat kearah lawan bicaranya. Dengan gerakan pelan Zana memutar tubuhnya membelakang laki-laki itu.
Dalam beberapa detik tak terdengar lagi suara laki-laki itu membuat Zana memberanikan diri untuk menoleh, ia bernafas lega mendapati laki-laki itu sudah tak berada dibelakangnya lagi.
Namun, kelegaannya hanya beberapa saat karena ternyata laki-laki itu berada didepan teras, lebih tepatnya dibawah atap yang mengalirkan air hujan yang berjatuhan tepat diatas kepalanya.
'Apa dia sudah tidak waras? Cuaca sangat dingin, tapi dia malah hujan-hujanan.' Celetuk Zana dalam hati.
Hingga beberapa saat sengaja membiarkan tubuhnya kehujanan, laki-laki itu kembali menghampiri Zana dan bertanya, "Apa kau sudah menikah?"
"Belum," jawab Zana dengan singkat.
Terbit senyum tipis di wajah tegang laki-laki itu, lalu mengedarkan pandangannya ke area sekeliling untuk memastikan jika tidak akan ada siapapun ditempat itu selain dirinya dan gadis yang sedang berteduh itu.
Setelah memastikan jika ditempat itu tidak ada siapapun, laki-laki itu dengan cepat menggenggam pergelangan tangan Zana, dan sebelum gadis itu melakukan pemberontakan ia sudah lebih dulu menariknya masuk kedalam gubuk itu. Sesuatu yang sedang bergejolak dalam dirinya benar-benar sudah tidak bisa ia tahan. Padahal hujan sangat deras namun tidak bisa menghilangkan rasa panas ditubuhnya. Jika saja mobilnya tidak mogok, pasti ia sudah sampai di rumah sakit dan segera mendapat penawar dari obat yang membangkitkan jiwa kelelakiannya saat ini.
"Lepas! Apa yang kau lakukan?" Dengan kuat Zana menarik pergelangan tangannya dari genggaman laki-laki itu. Tubuhnya mendadak gemetar karena tiba-tiba saja laki-laki asing itu menariknya masuk kedalam gubuk. Terlebih melihat sepasang mata didepannya menatapnya dengan tatapan lapar.
"Aku membutuhkan bantuanmu."
"Maaf, aku tidak bisa membantu orang asing!" Zana menatap laki-laki itu dengan tajam, kemudian membalikkan badannya hendak keluar dari gubuk itu. Namun, baru selangkah tangannya kembali ditarik dan kali ini ia terhempas ke dinding karena tarikan itu cukup kuat.
Seolah gelap mata laki-laki itu berjalan dengan cepat menghampiri Zana dan mendorong gadis itu hingga terjatuh ke lantai yang beralas karpet lusuh, kemudian langsung menindihnya.
Zana terkejut, ia memberontak berusaha melepaskan dirinya dari laki-laki yang menindihnya ini sambil berteriak berharap akan ada yang menolongnya. Namun, tanpa diduga laki-laki itu malah menciumnya dengan beringas sehingga ia kesulitan untuk bersuara.
Zana terus melakukan perlawanan, akan tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan. Semakin ia berontak laki-laki itu malah semakin beringas, sampai pada akhirnya Zana hanya bisa menangis, pasrah menerima nasibnya yang tragis.
Saat benda pusaka laki-laki itu menembus dinding pertahanannya, air mata Zana mengalir begitu saja. Hujan yang semakin deras beradu dengan petir yang menggelar serta kilat yang menyambar diluar sana, membungkam rintihan Zana didalam gubuk itu.
Hingga lamanya penyatuan paksa itu, hujan pun berhenti bersamaan dengan tercapainya puncak kenikmatan yang diperoleh laki-laki itu. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Zana.
"Aku lelah, aku ingin tidur sebentar. Tapi kau jangan pergi, tunggu aku bangun karena kita perlu bicara." Lirih laki-laki itu sebelum akhirnya memejamkan mata.
Namun, rasa sakit yang dirasakan Zana membuatnya tak dapat mendengar apapun lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya mengutuk laki-laki yang telah menodainya itu.
Dengan langkah tertatih Zana memunguti pakaiannya yang berserakan dilantai, lalu memakai nya. Setelah itu ia menoleh menatap wajah lelap laki-laki itu yang begitu tenang seolah tidak terjadi apapun.
"Aku sangat membencimu! Aku berharap Tuhan tidak mempertemukan Aku lagi denganmu. Laki-laki brengsek!" Zana mengumpat laki-laki itu dengan penuh amarah.
Zana pun mengayun langkah dengan tertatih keluar dari gubuk itu. Di bawah langit malam yang gelap gulita, ia mengendarai sepedanya dengan perasaan marah dan putus asa bercampur menjadi satu. Zana merasa, masa depannya telah hancur dalam waktu yang singkat.
Sesampainya di rumah, Zana langsung menuju kamar mandi. Ia mengguyur seluruh tubuhnya sambil menangis pilu, ia terus menggosok tubuhnya seperti menyikat pakaian agar noda nya terkikis. Namun, nyatanya bagaimanapun ia berusaha kesuciannya yang telah ternoda tentu tidak akan bisa kembali seperti semula.
Setelah kejadian itu sikap Zana yang terkenal humoris mendadak menjadi pendiam dan terkesan menutup diri. Kendati demikian, ia tetap harus bekerja untuk membantu keuangan keluarga dan mencoba melupakan kejadian di gubuk itu. Hingga tanpa terasa waktu satu bulan telah berlalu...
Hoek... Hoek... Hoek...
Suara Zana yang tengah muntah-muntah dikamar mandi membuat seisi rumah menjadi heboh pagi itu.
Ayah, ibu dan adik laki-lakinya langsung berhambur menuju kamar mandi dan menggedor pintu kamar mandi itu hingga Zana keluar dengan wajah yang nampak pucat.
"Ya ampun Zana, kamu pucat sekali."
Kedua orang tua Zana langsung membawa putrinya itu ke klinik terdekat untuk memeriksa kondisinya. Mereka khawatir Zana terkena penyakit yang serius karena ini adalah pertama kalinya Zana mengalami hal semacam itu.
Namun, dugaan mereka ternyata lebih parah daripada apa yang mereka kira. Zana tidak sakit, melainkan sedang mengandung 3 Minggu.
Kedua orang tua Zana tentu tidak mau menanggung malu karena putri mereka hamil tanpa suami, demi menutupi aib keluarga mereka pun mengusir Zana dari rumah.
Disinilah Zana memulai kisahnya bersama janin yang sedang tumbuh di rahimnya, ia mengasingkan diri keluar kota dan akan membesarkan anaknya seorang diri karena bagaimanapun janin yang sedang dikandungnya itu adalah darah dagingnya sendiri dan tidak bersalah apapun.
HINGGA WAKTU TUJUH TAHUN PUN BERLALU...
.
.
.
Disebuah rumah sakit. Zana duduk ditepi ranjang dimana putranya, Farzan terbaring tak sadarkan diri.
"Sayang, ayo bangun jangan buat Mama takut," lirih Zana sambil mengusap lembut pipi Farzan. Wajahnya terlihat khawatir dan cemas menatap wajah putranya yang pucat dan bibirnya nampak membiru.
Beberapa saat lalu, beberapa tetangganya menggotong Farzan pulang yang mereka temukan pingsan dipinggir jalan sepulang sekolah. Ini bukan pertama kalinya Farzan mengalami hal itu, sejak tujuh bulan terakhir putranya menderita sakit yang cukup serius. Pneumonia, penyakit yang menyerang paru-paru Farzan dan bisa saja mengancam nyawa putranya jika tidak mendapat penanganan yang tepat.
"Aku punya Papa." Igauan Farzan membuat air mata Zana menetes. Sekarang ia tahu, putranya itu pingsan pasti karena sehabis bertengkar lagi dengan teman-temannya yang suka mengolok putranya itu tidak punya papa.
Ibu mana yang tidak sakit hati melihat putranya selalu diolok, namun Zana hanya bisa diam karena dia tidak bisa menunjukkan siapa ayah dari putranya.
Pintu ruangan terbuka, seorang dokter wanita yang menangani Farzan masuk ke ruang rawat dengan wajah yang sedikit nampak cemas.
"Bu Zana, apa kita bisa bicara sebentar?"
Zana mengangguk, ia berdiri dari tempat duduknya kemudian mengajak dokter itu untuk duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu.
"Begini, Bu. Farzan sudah menjalani pengobatan rutin selama 6 bulan, namun keadaannya belum juga membaik. Tadi saya dan beberapa tim Dokter lainnya sudah mendiskusikan masalah ini, kami menyarankan agar Farzan dibawah ke luar negeri untuk menjalani pengobatan di sana. Di sana ada seorang Dokter ahli yang bisa menangani penyakit yang diderita Farzan. Namun, seperti yang kita tahu biayanya pasti tidak sedikit." Tutur dokter itu. Ia terpaksa mengatakannya. Sebenarnya ia merasa kasihan pada Zana dan juga Farzan. Menurut informasi yang didapatnya, Zana adalah seorang ibu tunggal yang hidup di kota ini tanpa sanak saudara.
Zana tertunduk lemas. Membawa putranya berobat ke luar negeri tentu ia tidak akan sanggup. Untuk pengobatan putranya saja di rumah sakit ini ia menghabiskan seluruh gajinya sebagai kasir sebuah minimarket dan terkadang ia masih harus mencari pinjaman ke beberapa teman, bahkan ia sudah menjual semua harta bendanya. Namun, putranya tak juga kunjung sembuh.
"Dok, akan saya usahakan." Ujar Zana berusaha terlihat tegar meskipun dalam hatinya kini terasa remuk redam.
"Baiklah, jika ada yang ingin ditanyakan jangan sungkan untuk menemui saya."
Zana mengangguk, kemudian mengantar dokter itu sampai ke depan pintu. Setelah dokter itu berlalu, Zana kembali menutup pintu ruangan seiring menghembuskan nafas panjang. Kini kehidupannya terasa semakin berat.
"Mama,"
Zana menoleh, ia langsung berlari kearah ranjang pasien begitu melihat kedua mata putranya perlahan terbuka.
"Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga, Mama khawatir banget." Zana menunduk memeluk putranya.
"Apa disini masih sakit?" Tanya Zana sambil mengusap dada putranya.
"Masih sedikit sesak, Ma."
Kedua mata Zana nampak berkaca-kaca mendengar jawaban putranya. Jika saja bisa, ia akan meminta kepada Tuhan untuk memindahkan penyakit putranya kepada dirinya saja.
"Ma, aku minta maaf karena sudah tidak menuruti perintah Mama. Tadi aku bertengkar lagi, soalnya aku kesal karena mereka selalu mengejek aku tidak punya Papa. Padahal sebenarnya aku punya Papa, iya kan Ma?"
Zana terdiam, hal yang selalu ia lakukan bila Farzan bertanya tentang papanya. Meski usia Farzan baru 6 tahun, tetapi putranya itu tidak seperti bocah pada umumnya yang dengan mudah bisa dibohongi. Farzan seakan mengerti jika papa dan mamanya berpisah karena suatu hal dan akan kembali bertemu disaat waktu yang tepat nanti.
"Sayang, dengarkan Mama ya," Zana mengusap rambut putranya dengan lembut. "Kamu tidak perlu memikirkan soal itu, yang perlu kamu pikiran adalah tentang kesehatan kamu. Farzan harus semangat untuk sembuh, dan Mama berjanji akan membawa Kamu untuk bertemu dengan Papa."
Seketika kedua mata Farzan berbinar, "Mama serius mau bawa aku ketemu sama Papa?" Tanyanya antusias.
Zana mengangguk kepalanya, apapun akan ia lakukan demi putra semata wayangnya. Meskipun harus bertemu kembali dengan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan masa depannya.
Dulu ia pernah meminta kepada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengan laki-laki itu. Namun, karena keadaan kini dirinyalah yang akan mencari laki-laki itu.
.
.
.
Holaaaa..... 🤗🤗🤗
Yang mampir tinggalkan like dan komennya dong karena itu sangat berharga buat author, dan mohon dukungannya ya karena novel ini sedang mengikuti event, terimakasih. 🙏🙏
'Jika bukan karena Farzan yang sedang sakit, aku tidak akan kembali ke kota ini untuk mencari mu. Sebenarnya aku bisa saja melakukan apapun untuk mencari biaya pengobatan Farzan, tapi dia sangat ingin bertemu denganmu. Maka aku akan melakukan apapun demi kebahagiaan putraku.' gumam Zana dalam hati ketika baru saja turun dari bus yang ditumpanginya bersama putranya. Setelah tujuh tahun, akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di kota kelahirannya.
Zana menatap gelang yang melingkar dipergelangan tangannya, sebuah gelang yang tersangkut dipakainya malam itu, yang ia yakini adalah gelang milik laki-laki itu. Di gelang itu terukir sebuah nama, Farhan yang mungkin saja adalah nama laki-laki itu. Namun, hanya berbekal gelang, bagaimana ia bisa mencari keberadaannya?
Zana mendesahh pelan, mencari keberadaan laki-laki itu akan ia pikirkan nanti. Sekarang yang perlu ia pikirkan dan yang harus dilakukan adalah mencari tempat tinggal dan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan Farzan yang sewaktu-waktu bisa saja kambuh.
"Bukannya Mama sudah berjanji akan membawaku bertemu dengan Papa, tapi kenapa kita malah kesini?" Tanya Farzan ketika ia dan mamanya sampai didepan sebuah kontrakan yang sangat sederhana, bahkan terlihat lebih kecil daripada kontrakannya di luar kota.
"Iya Sayang, tapi untuk sementara kita tinggal disini dulu ya. Kita tidak bisa langsung bertemu Papa." Zana tersenyum tipis, guna menutupi rasa yang berkecamuk di hatinya.
Farzan pun terdiam sembari mengangguk pelan, bocah berusia 6 tahun itu lagi-lagi seakan mengerti apa yang dimaksud mamanya.
.
.
.
Keesokan harinya...
Pagi-pagi sekali Zana sudah bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya. Kemarin setelah beristirahat sebentar dikontrakkan, ia pergi menemui temannya untuk meminta dicarikan pekerjaan, dan temannya itu memasukkannya ke sebuah perusahaan besar sebagai office girl.
"Sayang, baik-baik di rumah ya, Mama pergi kerja dulu. Nanti Bu Nini akan kesini menemani kamu." Ucap Zana seraya mengecup pucuk kepala putranya.
"Iya Ma, Mama hati-hati dijalan."
Zana mengangguk sambil tersenyum, kemudian iapun bergegas pergi. Ini adalah hari pertamanya bekerja dan ia tidak ingin sampai terlambat. Tak lama setelah Zana pergi, bu Nini pun datang.
Bu Nini adalah pemilik kontrakan, yang kebetulan tidak mempunyai anak. Beliau bersedia menjaga Farzan selagi Zana pergi bekerja.
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit menggunakan angkutan umum, Zana pun tiba disebuah perusahaan.
Pak Harto yang merupakan kepala OG dan OB, yang memang sedang menunggu kedatangan Zana langsung menuntunnya ke ruang ganti untuk mengganti seragam terlebih dulu sebelum memulai bekerja.
"Em, begini Zana, di perusahaan ini memiliki aturan bahwa siapapun yang melamar pekerjaan disini, dihari pertama dia harus diujicoba yang akan dites langsung oleh Pak Farhan yang merupakan CEO perusahaan ini." Ujar pak Harto, ketika Zana baru saja keluar dari ruang ganti.
"Apa?" Mendadak Zana menjadi gemetar, berhadapan dengan seorang CEO apa yang harus ia lakukan?
"Jadi kalau saya tidak lolos ujicoba, apa itu artinya saya tidak akan diterima bekerja disini?" Tanya Zana dengan nada khawatir. Jika itu benar, dimana lagi ia harus mencari pekerjaan dalam waktu singkat. Sementara ia sangat membutuhkan pekerjaan saat ini.
"Berdoa saja semoga Pak Farhan menyukai cara kerjamu. Dan kamu juga harus mengusahakan yang terbaik tentunya." Saran pak Harto.
"Sudah, jangan banyak mengulur waktu. Pak Farhan sudah menunggumu di ruangannya." Lanjutnya.
"Tapi Pak, apa yang harus saya lakukan?" Zana benar-benar tidak mengerti apa yang harus ia lakukan dalam ujicoba itu.
"Sederhana saja. Kamu hanya perlu mengantarkan kopi ke ruangan Pak Farhan, dengan catatan kamu harus memperhatikan kebersihan cangkir dan tatakan yang akan kamu suguhkan, karena Pak Farhan sangat tidak menyukai sesuatu yang tidak rapi dan tidak bersih. Dan satu lagi, rasa kopinya harus kamu pastikan pas di lidah Pak Farhan. Oke Zana, selamat bekerja dan semoga berhasil!" Pak Harto tersenyum kemudian meninggalkan Zana.
"Pak tunggu," namun Pak Harto tak menggubris. Zana menjadi kebingungan karena tidak tahu berapa takaran kopi dan gula yang disukai CEO yang bernama Farhan itu. Iapun tak punya pilihan selain bergegas menuju pantry.
Setelah beberapa saat kebingungan akhirnya Zana meracik kopi seperti yang pernah diajarkan oleh temannya yang seorang barista, ketika ia bekerja sebagai pelayan cafe.
Zana tersenyum menatap secangkir kopi buatannya, namun dalam hatinya tetap saja merasa was-was. Bagaimana jika Pak Farhan tidak menyukai kopi buatannya. Setelah membersihkan pinggiran cangkir dan tatakan, Zana pun bergegas menuju ruangan CEO.
Dengan pelan Zana mengetuk pintu ruangan CEO, dadanya berdegup dengan kencang seperti tabuh genderang. Ini adalah pengalaman pertamanya akan bertemu seorang konglomerat.
"Masuk," titah seorang laki-laki dari dalam ruangan dengan suara bariton yang membuat Zana semakin dilanda kekhawatiran akan kegagalannya dalam ujicoba ini.
"Selamat pagi, Pak. Saya adalah office girl baru disini. Dan saya membawakan kopi untuk Bapak, semoga Bapak suka." Ujar Zana ketika telah berdiri didepan meja dimana seorang laki-laki yang merupakan CEO itu duduk di kursi kebesarannya dengan posisi membelakangi Zana.
"Letakkan dimeja."
"Baik, Pak." Zana pun meletakkan secangkir kopi buatannya itu diatas meja.
Beberapa detik kemudian kursi kebesaran itu mulai berputar, melihat itu Zana langsung menundukkan kepalanya.
Sementara laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya itu, tatapannya langsung tertuju pada secangkir kopi yang sudah tersedia diatas mejanya.
"Aromanya wangi sekali."
Zana tersenyum tipis tanpa mengangkat pandangannya mendengar pujian kecil itu, ia berharap akan lolos dalam ujicoba ini.
Mendengar suara cangkir yang terangkat dari tatakannya, Zana kembali cemas. Ia langsung memejamkan mata ketika terdengar seruputan cairan hitam manis itu dicecap oleh bibir sensual milik laki-laki yang duduk dengan gagah di kursi kebesarannya.
"Hem, rasa kopi ini enak sekali. Sepertinya kamu sangat berpengalaman membuat kopi. Cangkir dan tatakannya juga bersih. Aku sangat menyukainya." Ujar Farhan, ia meletakkan cangkir kopinya, kemudian mengangkat pandangan menatap wanita yang berdiri didepannya. Untuk beberapa saat ia terdiam meneliti wajah yang tidak asing itu.
Seketika kedua matanya terbelalak. Dia...
Sementara itu Zana pun mengangkat pandangan. Ia sangat senang mendengar pujian CEO itu.
"Terimakasih, Pak..." Kalimat Zana terhenti, sama seperti laki-laki yang duduk didepannya. Zana pun terdiam dengan kedua mata yang tak berkedip.
"Kamu," refleks Zana mundur beberapa langkah setelah melihat dengan jelas wajah CEO itu. Wajah yang hingga saat ini tidak pernah ia lupakan. Namun, sangat ia benci.
Tatapan Zana beradu dengan Farhan. Jika Zana menatapnya dengan tatapan tajam, justru Farhan menatap Zana dengan sendu seakan menyiratkan sebuah kerinduan. Akhirnya wanita yang ia cari selama tujuh tahun, kini telah berdiri dihadapannya. Iapun tidak pernah melupakan wajah wanita yang telah menghabiskan malam panas bersamanya di gubuk itu.
"Bagaimana kabarmu, maksudku bagaimana keadaanmu setelah malam itu?" Tanya Farhan dengan sedikit terbata sembari melangkah maju. Sungguh lidahnya terasa keluh. Ia seperti tidak bisa berkata-kata. Padahal sejak lama ia sudah merangkai kata yang akan ia utarakan pada wanita itu bila berhasil menemukannya.
"Apa kamu pikir aku akan baik-baik saja setelah apa yang kamu lakukan padaku waktu itu, tidak! Kamu adalah laki-laki paling jahat yang pernah aku temui. Kamu adalah laki-laki brengsek yang sudah merusak masa depanku!" Zana berteriak marah, akhirnya ia mengeluarkan emosi yang sudah sejak lama ia tahan.
"Karena perbuatanmu itu aku diusir oleh keluargaku karena mereka tidak mau menanggung malu! Sungguh aku sangat membencimu, bahkan aku meminta kepada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi denganmu. Tapi demi putraku, aku kembali lagi ke ke kota ini untuk mencari mu." Air mata Zana tumpah ruah dengan bibir yang tampak gemetar, ia tak sanggup lagi menahan kesedihan dan amarahnya seorang diri. Selama tujuh tahun menahan diri, dan akhirnya hari ini ia tidak bisa menguasai emosinya lagi setelah bertemu dengan laki-laki itu.
"Dan sekarang putraku sedang sakit parah, nyawanya bisa saja terancam. Tapi aku hanya wanita miskin yang tidak bisa melakukan yang terbaik untuk pengobatan putraku." Perlahan Zana mulai melemah ketika mengingat putranya. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, kemudian menatap lelaki didepannya dengan lekat.
Dengan gerakan pelan dan tampak gemetar Zana mengangkat tangan dan mengatupkan kedua tangannya didepan laki-laki itu." Aku mohon, Pak. Tolong bantu putraku, hanya dia yang aku miliki saat ini, aku tidak ingin sampai kehilangan dia. Selain itu dia sangat ingin bertemu denganmu. Putraku sangat ingin bertemu dengan papanya. Tolong kabulkan permintaannya."
Untuk sepersekian detik, Farhan tampak kaget. Ia bagai tersambar petir disiang bolong, tenggorokannya serasa tercekik dan seakan kehilangan kemampuan untuk berbicara.
"Apa yang kau katakan? Putramu ingin bertemu denganku? Apa jangan-jangan setelah kejadian di gubuk itu kau hamil, anakku? Apa putramu adalah anakku?" Pertanyaan beruntun itu diajukan Farhan dengan nada tersendat-sendat. Kedua matanya nampak berkaca-kaca.
Melihat anggukan pelan wanita itu, tubuhnya seketika melemah. Ia mundur beberapa langkah hingga menabrak meja kerjanya. Ya Tuhan, usaha apa yang sudah ia lakukan selama ini. Hanya mencari seorang wanita ia tidak becus menemukannya, dan karena ketidakbecusannya itu ia menelantarkan darah dagingnya sendiri selama bertahun-tahun. Dan sekarang putranya itu sedang sakit parah.
"Dimana dia sekarang? Pertemukan aku dengannya!"
Tanpa menunggu jawaban wanita yang belum ia ketahui namanya. Farhan langsung menarik tangan Zana keluar dari ruangannya, namun langkahnya terhenti diambang pintu ketika baru saja membuka pintu ruangannya seorang wanita yang merupakan calon istrinya telah berdiri didepan ruangannya dengan kedua mata yang nampak memerah.
"Keyla," lirih Farhan, ia terkejut melihat keberadaan calon istrinya. Perlahan ia melepas tangan Zana dari genggamannya.
"Farhan, katakan kalau yang aku dengar tadi itu tidak benar. Kau tidak mungkin memiliki anak dari wanita itu?" Keyla melirik Zana dengan sinis. Wanita yang memakai seragam office girl itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya.
Farhan melirik Zana yang menundukkan kepalanya, kemudian ia maju beberapa langkah mendekati Keyla dan meletakkan kedua tangannya di pundak calon istrinya itu.
"Dengar Key, sebentar lagi kita akan menikah. Tapi sebelum itu aku ingin mengatakan sesuatu padamu agar tidak ada yang tertutupi diantara kita," Farhan menarik nafasnya kemudian kembali melanjutkan kalimatnya.
"Key, apa yang kau dengar tadi itu tidak salah. Bertahun-tahun yang lalu, aku pernah melakukan kesalahan dan sekarang aku ingin menebus kesalahanku itu. Jadi sekarang aku harus pergi menemui putraku." Farhan menatap calon istrinya dengan tatapan menghiba.
Namun, Keyla menggelengkan kepalanya, "Tidak Farhan, kau tidak boleh pergi. Kau tidak boleh tertipu dengannya. Jaman sekarang orang akan melakukan apapun demi uang termasuk wanita itu!" Dan kali ini Keyla menatap Zana dengan tajam.
"Tidak Key, aku bisa pastikan jika dia tidak berbohong. Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku hanya akan bertanggung jawab pada putraku saja, dan jangan pernah berpikir aku akan menikahi dia." Ujar Farhan sambil melirik Zana yang masih menundukkan kepalanya. Dan tanpa ia tahu ucapannya itu sangat melukai hati Zana.
"Key, aku harus pergi sekarang." Farhan menurunkan kedua tangannya dari pundak Keyla, kemudian kembali menarik tangan Zana untuk segera pergi menemui putranya.
Keyla menatap langkah keduanya dengan sorot mata yang tajam. Tidak perduli jika memang Farhan telah memiliki anak dari wanita itu, ia akan melakukan apapun untuk menjauhkan calon suaminya dari wanita itu dan putranya.
Dengan susah payah ia melakukan berbagai cara hingga akhirnya terjadilah perjodohannya dengan Farhan, dan tidak mudah ia menaklukkan hati laki-laki dingin itu. Maka dari itu ia tidak akan membiarkan Farhan terlepas begitu saja dari genggamannya. Ia tidak ingin mengambil resiko, jika sewaktu-waktu wanita itu dan putranya akan merebut Farhan darinya.
.
.
.
TBC....... ✨✨✨
Tinggalkan like dan komennya dong, terimakasih. 🙏☺️☺️☺️
.
"Sudah berapa lama dia sakit?" Tanya Farhan setelah beberapa saat mobilnya melaju meninggalkan pelataran perusahaannya.
"7 bulan. Dokter menyarankan agar membawanya berobat keluar Negeri tapi aku tidak punya biaya untuk itu. Biaya pengobatannya selama 6 bulan di rumah sakit saja aku sampai harus berhutang bahkan menjual semua yang aku punya." Jawab Zana dengan lirih. Sungguh ia merasa malu menyebutkan kemiskinannya pada laki-laki yang sangat dibencinya itu, namun ini terpaksa ia lakukan dan menyampingkan rasa malu demi putranya.
Farhan seketika menghela nafas kasar mendengar ucapan Zana. Ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri. Ia yang sejak kecil hidup dengan serba kemewahan, namun seorang anak kecil yang merupakan darah dagingnya hidup dalam kemiskinan diluar sana, bahkan membayangkan bagaimana kehidupan putranya selama ini ia merasa tidak sanggup. Yang jelas putranya pasti sangat menderita diluar sana.
"Kau tidak perlu khawatir soal itu, aku akan melakukan yang terbaik untuknya. Kita tidak perlu membawanya ke luar Negeri, tapi aku akan mendatangkan langsung Dokter dari luar Negeri untuk putraku." Ujar Farhan tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan didepannya.
Merasa sudah tak sabar untuk bertemu dengan putranya, ia menambah kecepatan laju mobilnya menuju tempat yang sudah diberitahukan Zana sebelum meninggal perusahaan. Sementara Zana sepanjang jalan hanya terdiam. Sungguh ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, kini ia duduk bersebelahan dalam satu mobil dengan laki-laki yang tidak ingin dilihatnya lagi.
Tak berapa lama kemudian, mobil Farhan pun telah berhenti didepan sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana. Farhan ternganga melihatnya. Lagi, ia merasa tertampar dengan kesombongannya selama ini. Ia yang selalu membatasi pergaulannya dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya, tetapi putranya hidup diantara orang-orang itu.
Seorang wanita muda yang berdiri didepan kontrakan Zana, langsung menghampiri Zana begitu melihatnya turun dari mobil bersama seorang lelaki. Dia adalah Nani, salah satu penghuni kontrakan dikawasan tempat Zana mengontrak.
"Syukurlah akhirnya Mbak Zana pulang, aku dari tadi menunggu kepulangan Mbak." Ujarnya dengan wajah yang nampak cemas.
"Memangnya ada apa menungguku pulang?" Tanya Zana bingung.
"Tadi Farzan merasa sesak dan tak lama Farzan pingsan. Bu Nini dan suaminya membawanya ke rumah sakit."
"Apa?" Zana menjadi syok, tubuhnya terhuyung kebelakang. Hampir saja ia terjatuh jika Farhan tidak dengan cepat menangkapnya. Menyadari tubuhnya berada dalam dekapan laki-laki itu, dengan cepat Zana menjauh.
"Di rumah sakit mana mereka membawanya?" Tanya Farhan dengan tidak sabar. Ia tidak kalah syok dari Zana mendengar putranya dilarikan ke rumah sakit.
"Rumah sakit Kemayoran."
Tanpa membuang waktu lagi, Farhan langsung menarik tangan Zana kembali masuk ke mobilnya dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit tersebut.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah sakit. Zana turun lebih dulu dari mobil dan diikuti oleh Farhan dibelakangnya. Laki-laki itu mengikuti Zana dengan langkah cepat menuju ruangan dimana putranya berada saat ini.
Bu Nini yang melihat kedatangan Zana, dengan cepat berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri wanita itu.
"Bu, Farzan ada dimana?" Tanya Zana dengan cemas bercampur takut.
"Farzan masih ditangani oleh dokter?" Jawab bu Nini sambil menunjuk pintu ruangan. Dimana Farzan mendapat penanganan dokter dan beberapa orang suster didalam sana.
Zana menoleh menatap pintu ruangan dengan mata berkaca-kaca, ia benar-benar takut terjadi sesuatu pada putranya.
"Zana, maafkan Ibu tidak bisa menjaga Farzan dengan baik. Tapi sungguh Ibu tidak tahu bagaimana Farzan bisa merasa sesak dan setelah itu dia tidak sadarkan diri." Bu Nini tampak gemetar, ia takut disalahkan atas apa yang terjadi pada Farzan.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku tidak memberitahu Ibu kalau Farzan memiliki penyakit yang bisa kambuh kapan saja."
Bu Nini pun sedikit merasa lega. Ternyata Farzan memang sedang sakit, bocah itu pingsan bukan karena kelalaiannya. Iapun mengajak Zana untuk duduk dan menenangkannya.
Sementara itu Farhan yang berdiri didepan pintu ruang rawat putranya. Menatap kedalam dari kaca persegi pada pintu ruangan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, yang jelas ada rasa senang mengetahui dirinya telah memiliki seorang putra yang bernama Farzan.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan itu akhirnya terbuka. Farhan dengan segera mengusap genangan disudut matanya, sementara Zana dengan cepat beranjak dari tempat duduknya menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Dokter, bagaimana keadaan putraku?" Tanya Zana dan Farhan serentak. Membuat keduanya saling menatap dalam beberapa detik.
"Dok, bagaimana keadaan putraku, apa dia baik-baik saja?" Ulang Farhan dengan tak sabar menunggu jawaban dokter.
"Keadaannya cukup serius, dan sekarang pasien sedang tertidur karena pengaruh obat." Dokter itu nampak menghela nafas berat. Merasa prihatin dengan Farzan yang masih kecil tetapi harus menanggung penyakit yang bisa mengancam nyawa bocah malang itu.
"Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk putraku. Jika perlu datangkan Dokter ahli dari luar Negeri, masalah biaya Dokter tidak perlu khawatir. Asalkan putraku bisa sembuh berapapun akan saya bayar!" Lelaki yang dulu terkenal arogan itu kembali menunjukkan sifat aslinya yang sempat hilang setelah kejadian yang dialaminya bersama Zana di gubuk itu. Ia nampak marah dengan keadaan, ia merasa tak sabar dengan kondisi putranya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Baiklah jika itu yang Anda inginkan. " Ujar dokter itu kemudian bergegas pergi untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Farhan.
Setelah dokter berlalu, Farhan dan Zana serentak melangkah masuk kedalam ruangan, mereka seolah berebut untuk lebih dulu menghampiri putra mereka.
"Farzan, ayo bangun Nak. Mama sudah menepati janji Mama. Ayo buka matamu dan lihat siapa yang Mama bawa." Ujar Zana sambil mengusap rambut putranya. Namun, Farzan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata.
"Kalau kamu tidak mau bangun, Mama akan menyuruh Papamu pergi dan Kalian tidak akan pernah bertemu lagi." Zana mengancam putranya dengan suara yang keras berharap putranya itu akan bangun. Ia sudah menepati janjinya untuk membawa laki-laki yang sangat ingin ditemui putranya tetapi Farzan seperti enggan untuk membuka mata.
"Apa yang kau katakan?" Farhan nampak tak terima dengan ancaman Zana pada putranya.
"Tidak Nak, jangan dengarkan Mamamu. Papa disini ayo bangun, Papa tidak akan pergi kemanapun, kita akan terus bersama-sama." Ujarnya sambil menggenggam erat tangan mungil putranya yang terasa dingin. Ia menatap lekat wajah putranya dan ia akui bahwa wajah bocah laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri itu sangat mirip dengannya.
Hingga beberapa menit berlalu Farzan tak kunjung membuka matanya, membuat Zana dan Farhan hanya bisa pasrah menunggu putra mereka bangun.
Sesekali Farhan melirik wanita yang hingga detik ini belum ia ketahui namanya. Ada beberapa pertanyaan yang sepanjang tujuh tahun ia nantikan jawabannya, dan sekaranglah waktunya ia bertanya.
"Kenapa malam itu kau pergi? Kenapa tidak menungguku bangun? Apa kau tidak berpikir untuk meminta pertanggungjawaban ku?"
"Tidak!" Jawab Zana dengan singkat dan tegas.
"Kenapa?"
"Karena aku sangat membencimu!"
Jawaban telak yang diberikan wanita itu membuat Farhan terdiam. Kini ia berpikir, jika saja putranya sedang tidak sakit pasti wanita itu tidak akan pernah datang mencarinya, dan ia tidak akan pernah tahu telah memiliki seorang putra dan selamanya ia akan hidup dalam rasa bersalah karena sudah merenggut kehormatan seorang gadis yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tanpa sempat ia menjelaskan apa sebab peristiwa malam kelam didalam gubuk itu bisa terjadi.
Sesaat ruangan itupun hening. Zana terus mengusap kepala Farzan berharap putranya itu akan segera bangun, ia benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengan laki-laki yang sangat dibencinya. Meskipun laki-laki itu adalah ayah putranya tetapi baginya laki-laki itu adalah laki-laki paling brengsek yang pernah ditemuinya.
Hingga beberapa saat kemudian, apa yang dilakukan Zana pun membuahkan hasil. Farzan akhirnya terbangun, bocah berusia enam tahun itu perlahan membuka matanya.
"Ma," panggilnya dengan suara yang lemah ketika tatapannya tertuju pada mamanya. Dan saat merasakan genggaman yang erat ditangan kanannya ia menoleh, keningnya mengkerut melihat keberadaan laki-laki asing itu. Namun, ketika mendapati wajah laki-laki itu mirip dengannya, iapun mengukir senyum diwajahnya yang pucat.
"Papa?"
"Iya Nak, ini Papa." Ucap Farhan tersenyum, ia segera mengusap sudut matanya yang berair. Ada perasaan haru mendengar Farzan memanggilnya dengan sebutan papa.
Dengan masih tersenyum, Farzan menoleh menatap mamanya, " Yang aku katakan waktu itu tidak salah kan, Ma. Papaku pasti sangat tampan." Ucapnya dengan bangganya.
Zana menanggapinya dengan senyum tipis yang hanya beberapa detik saja, kemudian mengalihkan tatapannya kearah lain. Ada perasaan takut yang kini menyergapnya, takut jika laki-laki itu akan mengambil Farzan darinya.
"Kau juga sangat tampan, Sayang." Farhan tak dapat lagi membendung perasaannya, ia langsung memeluk putranya kemudian menghujani wajah yang pucat itu dengan kecupan hangat yang bertubi-tubi.
Hingga terdengar dering ponselnya didalam saku jasnya, Farhan pun mengurai dekapannya dari tubuh mungil Farzan, kemudian mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jasnya.
"Keyla," gumamnya, namun masih dapat didengar oleh Farzan. Bocah laki-laki itu menggerakkan bola matanya nampak berpikir, apakah nama yang barusan disebut oleh papanya adalah wanita lain papanya?
"Pa,"
"Sebentar ya, Papa angkat telepon dulu." Farhan hendak berdiri, namun tangannya ditahan oleh Farzan.
"Jangan pergi lagi ya, Pa. Papa harus janji akan tetap disini menemani aku." Farzan menatap papanya dengan memohon.
Farhan menatap layar ponsel dan putranya bergantian. Sesaat ia menjadi bingung, Keyla menelponnya pasti untuk mengingatkan bahwa malam ini mereka ada janji untuk makan malam bersama. Tetapi putranya, ini adalah pertemuan pertamanya.
.
.
.
TBC.......✨✨✨
Tinggalkan like dan komennya dong, terimakasih. ☺️🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!