Tak lama David pun tiba di lokasi dengan mengendarai Bentley hitam milik Pram. David tersentak dan tertegun sejenak saat melihat Pram dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan. Begitu netranya menangkap bayangan putri atasannya berdiri tidak terlalu jauh dari sang wakil direktur, ia pun langsung memaklumi.
Saat David tiba, hujan sudah berhenti. Segera ia menghampiri Pram sambil menyerahkan baju ganti kepada atasannya itu. Senyum terkulum di bibir, melihat kondisi Pram yang menyedihkan.
“Apakah ini harga yang harus dibayar untuk sebuah kursi wakil direktur?”
“Dave, kamu tunggu di sini sebentar, aku mau ganti pakaian di mobil,” ujar Pram membuyarkan lamunan sang asisten.
Setelah berganti pakaian, Pram bergegas menghampiri David dan memintanya untuk mengantar Kailla pulang ke rumah.
“Dave, tolong antar Kailla, aku mau mengambil mobil dulu. Nanti aku naik taksi saja ke lokasi. Mobilku tertinggal di tepi jalan,” perintah Pram.
“Kai, kamu pulangnya diantar Dave, ya,” teriak Pram dari tempatnya berdiri. Kailla yang masih duduk diam, tidak menjawab sama sekali.
“Dave, aku titip Kailla, ya.” Pram berjalan sambil menepuk pundak asistennya. Segera ia menyeberang jalan untuk mencari taksi.
Setelah mengambil mobil sport hitamnya, Pram memilih mengendarai kendaraan itu menuju kediaman Kailla. Bagaimanapun, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Kailla. Besok, ia harus berangkat keluar kota.
Sebelum melajukan mobilnya ke rumah Riadi Dirgantara, ia mampir ke salah satu supermaket untuk menarik uang tunai di ATM. Selama ia di Bandung, ia harus memastikan semua kebutuhan Kailla tercukupi. Apalagi semua kartu kredit gadis itu telah diblokir. Walaupun ia sudah menitipkan kartu pada David, paling tidak Kailla harus punya pegangan untuk kebutuhan sehari-harinya.
***
Di kediaman Pak Riadi.
Ketika Pram masuk ke dalam rumah tampak Kailla sedang berbaring di pangkuan Pak Riadi sambil menonton televisi. Sesekali mereka tertawa cekikikan melihat acara lawakan di salah satu channel lokal. Begitu melihat kedatangan Pram, Kailla langsung bangun menatap tajam ke arah pria itu.
“Dad, aku ke kamar dulu, ya. Tiba-tiba kantuk menyerangku,” pamit Kailla dengan wajah cemberut. Ia berjalan sambil mengentakan kakinya, menimbulkan suara yang nyaring di setiap langkah.
“Pram ....” Pak Riadi menyapa, tetapi Pram yang masih setia menatap Kailla yang sedang menapaki anak tangga rumah menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
“Selamat malam, Presdir,” sahut Pram. Suaranya terhenti saat terdengar suara kencang dari lantai dua
Brak. Kailla membanting pintu kamarnya dengan kencang, mengagetkan dua orang yang sedang berdiri di depan televisi.
“Astaga! Anak itu," gerutu Pak Riadi sambil mengelus dada. “Kenapa lagi? Ada apa dengan anak itu?” tanya Pak Riadi ditujukan kepada Pram.
Pram tersenyum, “Putrimu sungguh luar biasa, Presdir.”
“Hahaha. Karena itu aku memilihmu untuk menanganinya,” sahut Pak Riadi terbahak. Ia tidak yakin kalau orang lain akan sesabar Pram. Ia melihat sendiri bagaimana Pram memperlakukan putrinya selama ini. Oleh sebab itu, ia memantapkan hatinya, menyerahkan masa depan Kailla kepada Pram. Walaupun usia Kailla terpaut jauh, tetapi ia yakin Pram adalah pilihan terbaik untuk Kailla.
Pram memilih duduk sebentar menemani Pak Riadi berbincang. Ia juga melaporkan masalah proyek di kantor cabang yang mengharuskannya ke Bandung besok pagi. Pram melirik sekilas Patek Philippe yang melingkar di pergelangan tangannya, buru-buru menyudahi obrolannya. Ia masih harus menyelesaikan masalah dengan Kailla.
“Boleh aku menemui Kailla di kamarnya, Presdir?” tanya Pram meminta izin Pak Riadi.
Pak Riadi hanya mengangguk. Bergegas Pram menapaki anak tangga demi anak tangga yang mengantarnya ke kamar Kailla.
Tok ... tok ... tok.
“Kai ... Kai, Om mohon buka pintunya.” Pram memanggil Kailla sembari punggung tangan mengetuk pelan pintu panel di hadapannya.
Hening. Tidak ada respons sama sekali dari dalam kamar. Pram kembali mengetuk dan memanggil Kailla.
“Kai," panggil Pram lagi. Masih tidak terdengar suara apa pun di dalam kamar. Satu menit berlalu, lima menit terlewati, sampai tiga puluh menit Pram menunggu di depan pintu kamar Kailla. Terlihat ia bersandar di depan pintu dan memijat tengkuknya. Meladeni Kailla benar-benar menguras tenaga dan kesabarannya. Seharian ini, sebagian besar waktunya habis untuk mengurus Kailla.
“Kai, kamu sudah tidur?” panggil Pram lagi dengan tangan setia mengetuk pintu kamar.
Masih tetap sama dan tidak ada tanda-tanda pintu kamar akan dibuka. Sebenarnya Pram yakin gadis itu belum tidur, ia sempat mendengar bunyi ponsel di dalam kamar.
Pram mencoba bersabar sebentar lagi, memaksa Kailla tidak akan berhasil. Padahal ia bisa saja masuk dengan kunci duplikat, tetapi itu hanya akan membuat Kailla semakin marah padanya dan ia sendiri yang akan kesulitan.
Lima belas menit kemudian, kesabaran Pram mulai habis. Kembali ia mengetuk pintu kamar untuk ke sekian kalinya.
“Kai, buka pintunya! Om tahu, kamu belum tidur,” panggil Pram lagi.
“Dalam lima menit kamu tidak membuka pintunya, Om akan mendobrak pintu kamarmu. Dan setelah itu kamu tidak akan bisa memegang kartu kredit selamanya,” ancam Pram. Berdiri, bertolak pinggang di depan pintu kamar tidur Kailla.
“Om akan menghitung mundur, Kai.10, 9, 8, 7, 6, 5 ....”
Ceklek.
Pintu kamar pun terbuka tepat pada hitungan ke lima. Pram mendorong pintu lebih lebar, melangkah masuk dan melihat Kailla kembali berbaring telungkup di atas ranjang. Pram memilih duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Kailla.
“Kai, besok Om harus keluar kota. Ada masalah dengan proyek kita yang di Bandung," ucap Pram membuka pembicaraan dengan Kailla.
“Setelah Om kembali, Om akan mengurus semua kartu kreditmu,” jelas Pram sambil mengeluarkan dompetnya dan meletakkan di sisi Kailla.
“Ambillah! Sementara kamu bisa memegang uang tunai sampai Om kembali. Berapa pun yang kamu butuhkan, Kai. Bahkan kamu boleh mengambil semua isi dompet Om” ucap Pram.
“Benarkah?” Seketika Kailla langsung bangkit dan meraih dompet kulit tersebut. Wajahnya berubah cerah.
Pram mengangguk, membiarkan gadis itu membongkar semua isi dompetnya dengan penuh semangat.
Kailla benar-benar menguras habis semua isi dompet Pram. Mengambil semua uang tunai senilai tujuh juta rupiah, setelahnya masih mengacak-acak semua kartu kredit milik Pram.
“Tidak untuk kartu kredit, Kai.” Pram segera meraih dompetnya kembali dari tangan Kailla.
“Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa minta Sam menghubungi asisten Om,” jelas Pram kemudian.
“Om pergi berapa hari?” Kailla bertanya sambil memperbaiki duduknya dan bersandar di kepala ranjang. Menatap laki-laki tampan yang sudah begitu sabar meladeninya hari ini.
“Paling cepat tiga hari. Ingat, jangan menyusahkan Daddy, Kai. Kasihan Daddy sudah tua, sudah tidak sanggup meladeni kenakalanmu. Apalagi kalau kamu sudah mengambek,” ucap Pram sambil mengacak-acak pucuk kepala Kailla.
“Ya, Om.” Kailla menjawab singkat mempersembahkan senyum termanisnya.
“Ok. Om pamit. Jangan marah lagi. Selamat malam, Kai.” ucap Pram sambil mengecup pucuk kepala Kailla.
Kailla hanya mengangguk dan tersenyum sumringah, sambil menatap tumpukan uang yang sekarang sudah ada di atas ranjangnya.
***
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Siti Sarfiah
seperti anak kecil d iming" mau
2022-10-28
1
Dian Min Young
sabar banget sih om
aku jadi bucin banget sama karakter pram
2022-09-26
0
Nur Lizza
ank sultan bebas iakn kai
2022-09-16
0