“Kamu ... apa maumu?” tanya Pram kasar, begitu menerima panggilannya.
Pertemuannya dengan Anita tidak menyisakan kesan yang baik-baik saja. Mendengar ucapan Anita, ia tahu wanita itu masih memendam rasa sakitnya setelah sekian lama. Namun, itu kesalahannya juga. Ia begitu pengecut dan tidak bertanggung jawabnya saat itu, bahkan meninggalkan Anita hanya melalui sepucuk surat. Pram bahkan tidak punya nyali untuk memutuskan secara langsung.
“Hahaha. Turun dan temui aku di restoran hotel. Aku menunggumu, Reynaldi Pratama,” ucap si penelepon terkekeh.
Pram ingat, kemarin sore Anita menghubunginya untuk mengajak bertemu. Entah ia mendapat nomor ponsel Pram dari mana. Tadinya Pram ingin menolak, tetapi mengingat kesalahannya dulu pada Anita akhirnya pria itu memutuskan untuk menemui Anita bersama sopirnya. Tidak apa-apa, Pram mencoba memperbaiki hubungan. Toh, dulu ia memang kelewatan.
Mereka sempat mengobrol beberapa saat. Obrolan pun hanya sekadar pembahasan ringan, tanpa menyinggung kenangan-kenangan masa lalu mereka dulu.
Seingat Pram, setelah menyesap minuman, kepalanya terasa sedikit pusing. Ia masih mencoba mengerjapkan mata dan memijat tengkuknya, merespons pusing yang datang tiba-tiba. Namun, setelah itu ia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ia terbangun dalam kondisi yang tidak biasa dan bukan di kamar biasa ia menginap.
“Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Dan aku yakin ... Anita punya jawabannya,” gumam Pram. Segera ia bangkit membereskan pakaiannya yang berserakan di lantai.
***
Setelah membersihkan diri, Pram bergegas menuju restoran yang ada di hotel. Ia masih penasaran dengan tujuan Anita melakukan semua ini. Sebenarnya ia tidak mau lagi berurusan dengan mantan kekasihnya itu, tetapi ia juga membutuhkan kejelasan bagaimana ia bisa berada di kamar hotel dalam kondisi tanpa pakaian. Sedangkan orang terakhir yang ia temui kemarin sore adalah Anita.
“Apa maumu?” Pram bertanya langsung begitu berada di hadapan Anita. Matanya menatap tajam pada wanita yang mengenakan kaus putih sederhana dan celana jin pensil biru muda.
“Tenang, duduk dulu, Pram. Sebaiknya kamu pesan sarapan, baru kita membahas semuanya.” Anita mencoba berbicara dengan Pram.
“Langsung ke intinya saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu,” potong Pram menjatuhkan bokongnya di kursi tepat di hadapan Anita. Pram tidak berniat makan atau pun minum. Kejadian kemarin membuat ia lebih waspada lagi dengan wanita di hadapannya.
“Baiklah kalau begitu. Aku ingin kamu menyetujui proposal kerja sama yang aku tawarkan kemarin.” Anita berbicara tanpa menatap Pram sama sekali. Ia masih sibuk memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Kalau aku tidak menyetujuinya?” tanya Pram masih menatap ke arah Anita. Sejak tadi tatapan Pram tidak pernah beralih dari wanita di hadapannya. Entahlah, Anita yang sekarang jauh berbeda dengan Anita yang dikenalnya dulu.
“Hehehe. Aku rasa kamu bukan orang bodoh, Pram. Kamu tahu, aku bisa melakukan segala cara untuk memaksamu menyetujuinya,” sahut Anita penuh keyakinan sambil menyodorkan ponselnya kepada Pram.
Tampak foto-foto Anita dan Pram yang sedang berdua di atas ranjang tanpa busana, hanya tertutup selimut saling berpelukan. Melihat latar kamar di dalam foto, Pram yakin foto-foto itu baru diambil tadi malam.
BRAKK.
Pram menggebrak keras meja sehingga kopi tumpah sebagian ke atas meja dan membasahi layar ponsel Anita. Matanya memerah, garis rahang mengeras. Urat-urat membiru, menonjol di pelipis.
Terlihat ia berusaha menahan emosi dengan berkali-kali menarik napas kemudian mengembuskannya kasar. Pram mengepalkan kedua tangannya untuk mengontrol emosinya supaya tidak keluar. Buku-buku di jari tangannya tampak memutih. Kalau tidak begitu, bukan tidak mungkin Pram akan memukul perempuan di hadapannya saat itu juga.
“Kalau aku tetap tidak menyetujuinya?” Pram bertanya dan berusaha tenang. Nada menantang terselip di dalam kalimatnya.
“Hahaha. Aku pikir kamu cukup pintar untuk tidak membiarkan perusahaan Riadi Dirgantara hancur hanya karena skandal sang wakil direktur,” jelas Anita. Kalimat yang keluar dari bibir Anita, sanggup memancing emosi Pram. Pria itu meradang.
“Hanya perempuan murahan yang bersedia mengorbankan harga dirinya dan menggunakan cara rendahan seperti ini,” ejek Pram memandang jijik pada Anita.
Anita tetaplah Anita. Ia bergeming, tidak terpengaruh dengan kata-kata Pram. Tersenyum manis, ia menyesap sisa kopi di cangkir yang tadi sempat tertumpah keluar.
“Harga diriku sudah habis. Tak bersisa 17 tahun yang lalu, Pram. Jangan lupakan itu.” Anita menyindir balik Pram yang masih menatap sinis padanya.
“Untuk masa lalu, aku mengakui itu kesalahanku. Dan aku sungguh minta maaf untuk semua yang pernah aku lakukan padamu dan keluargamu. Aku tahu, maafku tidak dapat mengubah keadaan yang telah terjadi. Tapi itu kesalahanku pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perusahaan.”
“Aku tidak membicarakan dendam dan masa lalu, Pram. Aku hanya membicarakan kerja sama perusahaan,” jelas Anita lagi sambil tersenyum licik.
“Kamu benar-benar sudah berubah, Anita.” Pram berkata pelan sambil memijat kening setelah emosinya sedikit mereda. Tarikan napas panjang menandakan pria itu mulai lelah.
Entahlah, harus bagaimana menghadapi perempuan di hadapannya ini. Walau bagaimana pun, Anita pernah menjadi bagian dari masa lalunya, mengisi hidupnya selama beberapa tahun. Perubahan Anita sekarang ini, juga karena campur tangan dirinya dan Riadi Dirgantara.
Deg—
Kailla. Satu nama yang tiba-tiba melintas di pikiran Pram. Ia teringat dengan gadis kecilnya. Bukan tidak mungkin Anita akan menyakiti Kailla, bahkan kailla tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini. Bagaimana pun ia harus melindungi Kailla dari Anita. Pram harus melindungi gadisnya.
“Baiklah, aku menyetujuinya. Hubungi asistenku David, seterusnya ... David yang akan mengurus semua kontrak kerja sama ini. Aku berharap dengan semua ini, kamu bisa melupakan semua yang sudah terjadi di masa lalu. Jangan menemuiku lagi. Semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi. Selamat tinggal, An,” ucap Pram sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan disambut Anita dengan senyuman tipis.
Setelah bertemu dengan Anita, Pram segera menghubungi sopirnya untuk menjemputnya kembali ke hotel tempatnya menginap. Mereka akan kembali ke Jakarta secepatnya. Sekarang prioritasnya adalah menjaga Kailla. Ia yakin kalau Anita mengetahui keberadaan Kailla, gadis nakal itu pun akan menjadi sasaran. Apalagi kalau sampai Anita mengetahui kalau Kailla adalah calon istrinya. Semua pasti berantakan. Bagaimana pun, ia harus menjaga Kailla dengan kedua tangannya.
***
Terima kasih. Love you all.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Lienda nasution
jahat juga ini si Pram apa gak ada karma buat dia
2023-11-13
1
I Gusti Ayu Widawati
Anita masa lalu Pram.Hubungan mereka sdh terlalu jauh.
Shg Anita hamil Pram dak bertanggung jawab.
Sama2 bersalah sih Kenapa melakukan srjauh itu kan belum sah.???
2022-11-23
0
Siti Sarfiah
ingat kailla pram , kailla sedang d incar om om
2022-10-28
0