Lisa menurunkan tatapannya dari langit dan melihat ke arah Mingyu. "Kau menganggap aku bodoh," ujarnya sambil menghela napas. Ia menegakkan tubuh dan berusaha menghalau kerinduan yang dirasakannya terhadap pria itu. Lalu dengan tenang dan penuh harga diri ia berkata, "Kita tidak bisa menikah."
Alis mata mingyu yang hitam bertaut di atas mata kelabunya yang indah. "Kau memutuskan tidak menikah, hanya karena aku tidak berpendapat tanah basah beraroma seperti parfum?"
"Kau tidak mengerti sepatah kata pun yang ku katakan," kata Lisa gigih. "Kenyataannya yang ada adalah jika aku menikah denganmu, kau akan membuatku menjadi orang yang tidak bahagia seperti dirimu. Dan jika kau membuatku tak bahagia, sudah pasti aku akan membalasnya dengan membuatmu tidak bahagia, lalu dalam beberapa tahun, kita berdua akan sama kecutnya seperti nenekmu. Jangan berani tertawa," hardik Lisa ketika melihat bibir Mingyu berkedut.
Mingyu meraih tangan Lisa lalu membawanya berjalan-jalan menyusuri jalan setapak yang memisahkan kebun-kebun mawar dan mengarah ke sebuah gazebo yang ditutupi pepohonan berhiaskan bunga-bunga musim semi. "Kau tidak memasukkan satu fakta penting ke dalam pertimbanganmu. Sejak aku membawamu ke penginapan, hidupmu sudah berubah total. Meskipun ibumu hanya menggertak mengenai akan menuntutku ke pengadilan umum, reputasimu sudah hancur." Mingyu berhenti di gerbang gazebo dan bersandar di batang pohon lalu berbicara dengan nada datas dan blak blakan, "Aku khawatir kau tak punya pilihan selain memberiku kehormatan dengan menjadi istriku."
Lisa terkikik geli, terpukau oleh sosok pria itu dan sopan santunnya, meskipun saat ini ia dengan tidak sopan menolak ajakan pria itu untuk menikah. "Menikahi gadis biasa dari Morsham sama sekali bukan kehormatan bagi seorang bangsawan sepertimu," Ia mengingatkan Mingyu sambil bercanda lepas, "dan meskipun kau tidak mengatakannya dengan tulus ketika terakhir kali kita berpisah, kau bukan pelayanku. Mengapa kau mengatakan kata-kata itu kepadaku?"
Mingyu menyengir tertular sikap ceria Lisa. "Kebiasaan," akunya.
Lisa menelengkan kepala, tampak seperti seorang gadis mempesona yang punya keberanian dan cerdas untuk beradu argumen dengan Mingyu. "Apakah kau tak pernah mengatakan segala sesuatu dengan tulus?"
"Jarang."
Lisa mengangguk sok tahu. "Sepertinya, mengatakan apa yang ada dalam pikiran seseorang hanya berlaku bagi apa yang dengan menghina disebut oleh nenekmu sebagai 'kelas bawah'. Mengapa kau selalu kelihatan ingin tertawa setiap kali melihatku?"
"Untuk suatu alasan yang tak bisa ku mengerti," jawab Mingyu dengan geli, "aku menyukaimu."
"Itu bagus, tapi tidak cukup untuk menjadi dasar suatu pernikahan," Lisa tetap berkeras, kembali kekhawatirannya yang pertama. "Ada beberapa hal penting lain, seperti......" Suaranya menghilang dalam keheningan. Seperti cinta, pikirnya. Cinta adalah satu-satunya yang penting.
"Seperti apa?"
Tak mampu mengutarakan kata itu, Lisa lekas-lekas mengalihkan pandangannya dan mengangkat bahu tak acuh.
Cinta, Mingyu tanpa berkata-kata menuntaskan kalimat itu sambil mendesah panjang, ia amat ingin kembali ke rapat dengan pengelola tanah neneknya yang terpotong tadi. Lisa menginginkan cinta dan romantisme. Ia lupa bahwa gadis lugu seusia Lisa pastinya mengharapkan sedikit kasih sayang dari calon suaminya. Bersikeras tidak ingin berdiri di tempat itu seperti pria bodoh mabuk kepayang dan berusaha membujuk Lisa dengan kata-kata manis yang hampa, ia memutuskan kecupan singkat adalah cara tercepat, paling efektif, dan paling ampuh untuk menjalankan kewajibannya dan menghilangkan kecemasan wanita itu, dengan demikian ia bisa melanjutkan rapatnya.
Lisa melonjak gugup ketika Mingyu tiba-tiba mengangkat tangan lalu menangkup pipinya, memaksanya untuk berhenti memperhatikan pintu gerbang gazebo.
"Tatap aku," pinta pria itu dengan suara rendah, merayu dan asing yang membuat tulang punggung Lisa menggelenyar penuh antisipasi.
Lisa perlahan-lahan mengalihkan tatapannya ke wajah kecoklatan pria itu. Meskipun belum pernah ada orang yang mencoba menciumnnya, sekali lihat ke ekspresi merayu dan mata sayu itu Lisa tahu sesuatu akan terjadi. Dengan segera ia merasa cemas dan tanpa basa-basi ia berkata, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Jemari Mingyu dengan sensual mengelus pipi Lisa, lalu tersenyum. Senyum malas dan perlahan yang membuat jantung Lisa melompat ke tenggorokan. "Aku berpikir ingin menciummu."
Imajinasi Lisa yang sangat aktif langsung bekerja ketika teringat kembali novel yang pernah dibacanya. Ketika dicium oleh pria yang diam-diam mereka cintai, tokoh wanita selalu jatuh pingsan, atau mengorbankan kehormatannya, atau berkata jatuh cinta setengah mati. Takut akan mempermalukan diri sendiri seperti itu, Lisa dengan tegas menggeleng. "Tidak usah, sungguh," ujarnya parau. "Aku... Aku rasa sebaiknya kau tidak melakukannya. Jangan sekarang. Kau sungguh baik karena sudah menawarkan, tapi tidak sekarang. Mungkin lain kali bila aku...."
Tak memperdulikan protes Lisa, dan berusaha keras menyembunyikan rasa gelinya, Mingyu meletakkan ujung jarinya di bawah dagu wanita itu lalu mengangkat wajahnya agar dapat dicium.
Mingyu memejamkan mata. Lisa membuka mata lebar-lebar. Mingyu menundukkan kepala. Lisa menyiapkan dirinya untuk diterpa rasa cinta. Mingyu menyentuhkan bibirnya dengan ringan ke bibir Lisa. Lalu semuanya selesai.
Mingyu membuka mata dan menatap Lisa untuk melihat reaksi wanita itu. Namun yang terlihat bukan reaksi gembira yang polos seperti yang diharapkan. Mata Lisa melebar kebingungan, dan, ya, kecewa!
Lega karena dirinya tidak mempermalukan diri sendiri seperti tokoh-tokoh wanita di dalam novel, Lisa mengerutkan hidungnya yang mungil. "Apa ciuman hanya sebegitu saja?" tanyanya kepada pria terhormat yang ciuman panasnya terkenal dapat membuat gadis melepaskan kegadisannya dan wanita bersuami melupakan janji pernikahannya.
Selama sesaat, Mingyu terdiam tak bergerak, ia mengamati Lisa dengan mata kelabunya yang sayu dan penuh perhitungan. Tiba-tiba Lisa melihat sesuatu yang menggairahkan dan berbahaya berpendar di dalam mata kelabu di hadapannya. "Tidak," gumam Mingyu, "Masih ada lagi," lalu tangannya melingkari lengan Lisa, menariknya mendekat sehingga tubuh mereka nyaris saling bersentuhan satu sama lain.
Hati kecilnya, yang disangka Mingyu telah mati sejak lama, memilih saat yang tidak tepat itu untuk tiba-tiba menggeliat bangun setelah bertahun-tahun diam. 'Kau merayu anak kecil, Mingyu!' Hati kecilnya memperingatkan dengan jijik. Mingyu ragu-ragu, lebih karena terkejut menyadari hati kecilnya yang telah terlupakan itu tiba-tiba muncul dan bukan karena merasa bersalah atas perbuatannya. 'Kau sengaja merayu anak kecil yang masih polos untuk melakukan kemauanmu karena kau tidak mau repot-repot memberi penjelasan kepadanya.'
"Sekarang kau sedang memikirkan apa?" tanya Lisa khawatir.
Beberapa ide muncul di benak Mingyu, tapi ia lalu teringat Lisa tidak suka pujian hampa, oleh karena itu ia memutuskan untuk berkata jujur. "Aku berpikir aku melakukan tindakan yang tak dapat diampuni karena merayu anak kecil."
Lisa, yang lebih merasa lega ketimbang kecewa karena ciuman Mingyu tidak mempengaruhinya, merasa ingin tertawa. "Merayuku?" ulangnya sambil terkekeh geli lalu menggeleng sehingga rambut bergelombangnya menjadi berantakan. "Oh tidak, untuk hal itu kau boleh tenang. Ku rasa aku lebih kuat dari pada wanita lain yang akan pingsan kalau dicium dan menyerahkan kehormatan mereka. Aku," ia menyelesaikan kalimatnya dengan jenaka, "sama sekali tidak terpengaruh oleh ciuman tadi. Bukan," ia menambahkan, "berarti aku merasa ciuman itu menjijikkan, karena memang tidak begitu, sumpah. Ciuman itu... cukup enak."
"Terima kasih," Kata Mingyu, dengan wajah datar. "Kau sungguh baik." Sambil mengaitkan tangan Lisa di lekukan tangannya, ia membalikkan badan lalu membimbing wanita itu beberapa langkah memasuki gazebo.
"Kita mau kemana?" tanya Lisa sekenanya.
"Ke tempat yang tidak terlihat dari rumah," jawab Mingyu datar, berhenti di bawah dahan-dahan pohon apel yang sedang berbunga. "Kecupan ringan diperbolehkan dilakukan di taman mawar antara pasangan yang akan menikah, tapi, ciuman yang lebih bergairah harus dilakukan di tempat yang lebih tertutup, atau di gazebo."
Lisa, yang salah memahami penjelasan lugas dan panjang lebar itu, tidak segera menyadari maksud dari kata-katanya. "Luar biasa!" ujarnya sambil tertawa memandang pria itu. "Di kalangan bangsawan ada peraturan untuk setiap hal. Apakah ada buku yang membahas semua itu?" Tapi sebelum Mingyu dapat menjawab, ia terkesiap, "Me-menciumku dengan penuh gairah? Kenapa?"
Mingyu mengerling ke arah gerbang gazebo untuk memastikan mereka sendirian, lalu mengarahkan seluruh keahlian merayunya lewat tatapan mata kelabu dan senyum malasnya terhadap wanita yang berdiri di depannya. "Egoku," godanya dengan suara rendah. "Egoku terluka membayangkan kau nyaris tertidur waktu aku menciummu tadi. Sekarang, coba kita lihat apakah aku bisa membangunkanmu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments