Bab - 4

Kim Mingyu perlahan-lahan menurunkan tangannya yang masih menggenggam pistol berasap dan menatap dengan tak acuh pada sosok suami Nyonya Lee yang tergeletak diam di tanah. Suami-suami pencemburu memang merepotkannya dengan istri-istri mereka yang menyedihkan dan bodoh. Mereka bukan saja sering berprasangka buruk, tapi juga berkeras mendiskusikan ilusinya itu dengan adu tembak saat fajar. Tatapannya yang datar masih tertuju pada lawannya, pria paruh baya yang terluka, yang sekarang sedang dirawat oleh dokter dan saksi. Mingyu mengutuk wanita cantik namun licik yang terus-menerus merayunya sehingga duel ini harus terjadi.

Mingyu yang saat ini telah berusia dua puluh tujuh tahun sejak lama memutuskan bahwa bermain-main dengan istri orang lebih banyak mendatangkan masalah daripada kesenangan. Akibatnya, ia sejak lama membatasi diri hanya berhubungan dengan wanita-wanita tak bersuami. Tuhan pun tahu jumlah mereka begitu banyak, sebagian besar bersedia dengan senang hati. Walaupun demikian, saling menggoda adalah hal yang jamak dalam kehidupan para bangsawan. Namun hubungan yang baru-baru ini  ia jalin dengan Una Lee, yang dikenalnya sejak masih kanak-kanak, memang lebih dari sekedar itu. Goda-menggoda yang tak berbahaya itu berkembang ketika wanita itu kembali ke Inggris setelah bepergian keluar negeri setahun lebih. Permainan yang tak lebih dari sekedar tegur sapa biasa, memang dengan nada sedikit mengundang antara dua sahabat lama itu sebenarnya takkan berlanjut, namun suatu malam di minggu lalu Una berhasil masuk ke rumah Mingyu tanpa sepengetahuan pelayannya, dan ketika Mingyu pulang ke rumah ia melihat seorang wanita telah berada di tempat tidurnya, dengan tubuh menggiurkan. Biasanya, ia akan menarik wanita itu dari tempat tidur dan menyuruhnya pulang, tapi malam itu akibat minum anggur bersama teman-temannya, dan sementara ia mempertimbangkan apa yang sebaiknya ia lakukan terhadap wanita itu, tubuhnya telah mengambil alih pikirannya dan memerintahkan agar ia menerima tawaran menggiurkan itu.

Seraya menoleh ke arah kudanya yang diikat ke pohon di dekatnya, Mingyu menegadah melihat sinar redup matahari di langit. Ia masih bisa tidur beberapa jam sebelum menjalani hari melelahkan dengan bekerja dan bersosialisasi yang akan ditutup tengah malam nanti dengan pesta dansa di kediaman Joen.

***

Lampu-lampu kandelir dengan ratusan ribu kristal bersinar terang di atas ruang dansa berdinding kaca yang luas, tempat para tamu berbusana satin, sutra dan beludru berputar-putar sesuai irama waltz. Pintu-pintu Prancis berdaun ganda yang menuju balkon dibiarkan terbuka sehingga angin sepoi-sepoi bisa berhembus masuk, dan agar beberapa sejoli yang menginginkan sedikit privasi di bawah sinar rembulan bisa keluar.

Sedikit di luar pintu terujung, sepasang pria dan wanita berdiri di balkon. Sosok mereka sebagian terlindungi oleh bayangan rumah, sepertinya tak peduli pada kehebohan yang mereka timbulkan di antara para tamu karena meninggalkan ruang dansa.

"Sungguh memalukan!" kata Nona Oh kepada sekelompok pria dan wanita muda yang menemaninya seraya melemparkan tatapan sinis penuh kebencian, serta cemburu, ke arah pintu tempat pasangan yang baru saja keluar itu, lalu menambahkan, "Una Lee bertingkah seperti murahan, mengejar-ngejar Mingyu seperti itu, sementara suaminya terbaring di rumah karena berduel dengan Mingyu tadi pagi!"

Tuan Choi menatap Nona Oh yang sedang marah itu dengan ekspresi sinis bercampur geli, yang menjadi ciri khasnya, dan juga ditakuti, oleh semua kalangan atas. "Tentu saja, kau benar, cantikku. Una harus belajar darimu dan mengejar Mingyu secara diam-diam, tidak dihadapan banyak orang."

Nona Oh menatapnya dengan tatapan angkuh, tapi pipi halusnya yang merona merah jambu berkata lain. "Hati-hati, Tuan Choi, kau mulai kehilangan kemampuanmu untuk memisahkan mana yang lucu dan yang sinis."

"Jangan samakan aku dengan Una Lee," tukas Nona Oh dengan nada marah. "Kami sama sekali tidak mirip."

"Ah, tapi kalian memang mirip. Kalian sama-sama mengincar Mingyu. Dan itu membuat kalian sama dengan enam lusin wanita lain yang ku kenal, terutama" ia mengangguk ke arah penari balet  berwajah cantik dan berambut merah yang sedang berdansa waltz dengan seorang pangeran Rusia, "Nona Jung, tetapi tampaknya Nona Jung mengalahkan kalian semua, karena dia sekarang menjadi wanita simpanan Mingyu yang baru."

"Aku tak percaya padamu!" tukas Nona Oh, mata birunya terarah ke wanita anggun berambut merah yang kata orang telah memesona raja Spanyol dan pangeran Rusia. "Mingyu belum ada yang punya!"

"Apa yang sedang kita bicarakan, Nona Oh?" tanya salah satu wanita sembari menoleh ke arah pengagumnya.

"Kita sedang membicarakan fakta bahwa dia pergi ke balkon bersama Una," hardik Nona Oh. Tak perlu dijelaskan lagi siapa 'dia' yang dimaksud. Di kalangan para bangsawan, semua orang tahu bahwa kata 'dia' selalu mengacu kepada Mingyu Kim, bangsawan dan pemilik kerajaan Kim Group yang mencengkeram kondisi ekonomi seluruh negeri.

'Dia' adalah impian para gadis, jangkung, misterius, dan sangat tampan dengan pesona berbahaya. Para wanita muda bangsawan sependapat bahwa mata kelabunya yang dingin dapat merayu biarawati atau membekukan musuh di tempat. Para wanita yang lebih tua cenderung lebih memercayai pendapat yang pertama dan mengabaikan yang kedua, karena Mingyu Kim terkenal telah membunuh ratusan tentara Prancis, bukan dengan matanya, tapi dengan keahliannya menembak dan bermain pedang. Tapi tak peduli berapa pun umur mereka, semua wanita kalangan bangsawan sependapat akan satu hal. Hanya dengan sekali lihat orang akan tahu bahwa Kim Mingyu adalah pria yang berasal dari keturunan yang baik, menawan, dan anggun. Pria yang bersinar bagai berlian. Dan sering kali juga sekeras berlian.

"Tuan Choi bilang Nona Jung telah menjadi wanita simpanannya," kata Nona Oh, mengangguk ke arah wanita cantik berambut merah yang sepertinya tidak menyadari kepergian Mingyu dan Una.

"Omong kosong," kata debutan berusia tujuh belas tahun yang menjunjung tinggi tata krama. "Kalau benar wanita itu simpanannya, dia pasti tidak akan membawanya ke sini. Tidak bisa."

"Dia bisa dan dia akan membawanya," kata seorang wanita muda lainnya, tak melepaskan tatapannya dari pintu Prancis tempat Mingyu dan Una baru saja keluar, sembari menunggu dengan tak sabar untuk melihat kelebat sosok Mingyu yang legendaris.

"Mamaku bilang Mingyu melakukan apa pun sesuka hatinya dan pria itu tak peduli pada pendapat orang banyak!"

Tepat pada saat itu, objek pembicaraan mereka dan  banyak orang di dalam ruang dansa itu sedang bersandar pada susuran balkon yang terbuat dari batu, menatap mata biru Una yang berkaca-kaca dengan rasa sebal yang sangat kentara. "Reputasimu hancur di dalam sana, Una. Kalau kau masih punya akal sehat, kau akan beristirahat di desa beberapa minggu untuk 'merawat' suamimu sampai gosip mengenai duel itu mereda."

Sambil coba-coba tampak tak acuh, Una mengangkat bahu. "Gosip tak kan dapat menyakitiku Mingyu. Aku sekarang telah menjadi seorang bangsawan dengan gelar cukup tinggi." Nada getir terdengar dalam suaranya, membuatnya tercekat. "Meskipun usia suamiku tiga puluh tahun lebih tua daripada diriku. Sekarang orang tuaku memiliki gelar dalam keluarga, sesuatu yang mereka inginkan."

"Tak ada gunanya menyesali masa lalu," ujar Mingyu, berusaha keras untuk bersabar. "Apa yang telah terjadi biarkanlah terjadi."

"Mengapa kau tidak melamarku sebelum kau berangkat untuk berperang ke Spanyol?" tanya Una dengan suara tercekat.

"Karena," jawab Mingyu dengan terus terang, "Aku tidak ingin menikah denganmu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!