Bab - 7

"Paman Monty," panggil Lisa dengan nada suara sedikit putus asa kepada paman ayahnya, yang datang untuk tinggal bersama dengan mereka dua tahun lalu ketika tak satu pun kerabat mau menerima dia.

Pria berperut buncit itu duduk di depan perapian kecil, kakinya yang sakit rematik ditumpukan di atas bangku kecil, ekspresi wajahnya sedih. "Kurasa kau datang untuk memarahiku soal gadis itu," gumamnya, sambil melirik sinis ke arah Lisa dengan mata yang dikelilingi lingkaran merah.

Pria itu tampak sangat mirip dengan bocah tua nakal sehingga Lisa tak dapat mempertahankan sikap tegasnya. "Ya," akunya sambil mengulum senyum, "dan aku juga tahu tempat kau menyembunyikan sebotol beer ilegal yang dibawa temanmu kemarin."

Paman Monty menanggapinya dengan berpura-pura tampak tak bersalah. "Dan siapa, kalau boleh aku bertanya, yang berani menganggap botol itu berada di ruangan ini?"

Ia memperhatikan dengan penuh curiga ketika dilihatnya Lisa tidak mengacuhkan pertanyaannya dan mulai mencari dengan seksama tempat-tempat persembunyian favorit Paman Monty, di bawah bantal sofa, di bawah kasur, dan di atas cerobong asap. Setelah mencoba mencari di enam tempat berbeda, Lisa berjalan ke arah kursi Paman Monty lalu mengulurkan tangannya dengan ramah. "Serahkan padaku, Paman Monty."

"Apanya?" tanya pria itu pura-pura tidak tahu, sambil bergerak-gerak tak nyaman lalu ia terkekeh. "Botol beer yang kau duduki itu."

"Maksudmu obatku," pria itu mengoreksi. "Kalau mengenai itu, Dokter Jeon bilang aku boleh menggunakannya untuk tujuan pengobatan, bila luka lama akibat perang kembali terasa sakit."

Lisa memperhatikan mata Paman Monty yang merah dan pipinya yang bersemu dadu. Ia dengan sangat ahli menilai tingkat kemabukan Paman Monty, keahlian yang didapatnya setelah dua tahun menghadapi pamannya yang ceroboh, tak bertanggung jawab, namun sangat disayanginya. Seraya mengulurkan tangannya lebih dekat kepada pria itu, ia memaksa, "Berikan padaku, Paman. Mama mengundang tuan tanah beserta istrinya untuk makan malam, dan beliau juga menginginkan kau hadir. Kau harus sadar seperti, "

"Aku harus diperdaya dulu agar bisa tahan menghadapi pasangan angkuh itu. Mari ku beritahu kau, Lisa anakku, mereka berdua membuatku merinding. Sikap alim itu hanya untuk orang suci dan orang suci bukan teman yang tepat  bagi manusia nyata seperti aku." Ketika Lisa terus mengulurkan tangnnya, pria itu menghela nafas dan menyerah, mengangkat pahanya lalu mengambil botol beer yang setengah kosong itu dari bawahnya.

"nah, begitu lebih baik," puji Lisa, sambil menepuk punggung pamannya dengan bersahabat. "Kalau kau belulm tidur waktu aku pulang, kita bisa main kartu dan,"

"Waktu kau pulang?" ujar Paman Monty terkejut. "Kau bermaksud untuk pergi dan meninggalkan aku dengan mamamu serta tamu-tamunya yang menyebalkan itu!"

"Aku memang mau pergi," ujar Lisa ringan, sambil berjalan keluar. Ia meniupkan ciuman lalu menutup pintu sementara pamannya menggerutu tentang "mati karena bosan" serta "dikutuk dalam dunia muram selamanya."

Lisa sedang melewati kamar tidur ibunya ketika sang mama memanggilnya dengan suara lemah namun menuntut,

"Lisa! Lisa, kaukah itu?"

Nada marah yang terdengar jelas dalam suara ibunya membuat Lisa menghentikan langkah dan memberanikan diri menghadapi satu lagi perdebatan tak menyenangkan mengenai putra sang tuan tanah. Sambil menegakkan bahunya yang kurus, Lisa melangkah masuk ke kamar tidur ibunya. Nyonya Bruschweiler tengah duduk di depan meja rias, mengenakan kimono usang yang ditambal di sana sini, dan mengerutkan kening ke arah bayangannya di cermin. Kecantikan Mama menurun drastis semenjak Papa meninggal tiga tahun lalu, pikir Lisa dengan sedih. Binar yang dulu sering muncul di mata ibunya dan membuat suaranya tersengar penuh semangat sekarang telah redup, berikut warna coklat kemerahan pada rambutnya yang lebat. Sekarang rambut itu berwarna coklat suram, dengan uban di sana-sini. Lisa tahu, bukan hanya duka yang telah melenyapkan kecantikan ibunya. Tapi juga amarah.

Tiga minggu setelah Tuan Bruschweiler meninggal dunia, sebuah kereta kuda yang mewah berhenti di depan rumah mereka. Kereta itu membawa keluarga ayahnya 'yang satu lagi', istri dan putri yang tinggal bersamanya di London selama dua belas tahun lebih. Pria itu menyembunyikan keluarga sahnya di dusun terpencil di Morsham hidup dalam kemiskinan, sementara dia tinggal bersama keluarga tidak sahnya dalam kemewahan. Bahkan saat ini pun, Lisa mengernyit pilu bila teringat saat-saat mengerikan ketika ia tanpa terduga berhadapan dengan saudara tirinya di rumah ini. Nama gadis itu Rose, dan dia sangat cantik. Tapi itu tidak membuat Lisa sakit hati. Yang membuatnya sangat sakit adalah ketika melihat liontin emas yang sangat cantik yang dikenakan Rose di lehernya yang putih dan jenjang. Tuan Bruschweiler  yang memberikan liontin itu kepadanya, sebagaimana kepada Lisa. Namun punya Lisa terbuat dari timah.

Liontin timah, dan kenyataan bahwa ayahnya lebih memilih untuk tinggal dengan gadis cantik berambut pirang, membuka mata Lisa dan ibunya mengenai sikap ayahnya selama ini.

Hanya pada satu hal ayahnya bersikap adil kepada keluarganya, dan itu berhubungan dengan harta. Pria itu meninggal tanpa mewariskan sepeser uang pun, meninggalkan kedua keluarga tanpa uang sama sekali.

Demi ibunya, Lisa mengubur penghianatan itu rapat-rapat di dalam hatinya dan berusaha bersikap seperti biasa, tapi kesedihan ibunya telah berubah menjadi amarah. Nyonya Bruschweiler  terus menerus mengurung diri di kamar membiarkan dirinya dibakar amarah, dan menyerahkan semua hal untuk diurus Lisa. Selama dua setengah tahun, Nyonya Bruschweiler sama sekali tidak memperhatikan keadaan rumah tangga maupun kesedihan putrinya. Kalau dia berbicara, paling-paling hanya mengeluh bahwa takdir telah berlaku tak adil kepadanya dan suaminya telah menghianatinya.

Tapi enam bulan lalu Nyonya Bruschweiler menyadari keadaan mungkin bisa tak seburuk yang dipikirkannya. Dia telah menemukan cara untuk kelaur dari kesengsaraan ini. Dan Lalisa adalah sarana untuk mencapai itu. Lisa, ia memutuskan, akan memikat suami yang dapat menyelamatkan mereka berdua dari kemiskinan. Untuk mencapai itu, Nyonya Bruschweiler mengalihkan perhatiannya kepada beberapa keluarga di sekitarnya. Di antara mereka hanya ada satu yang sesuai, yaitu keluarga Yu, yang menurutnya cukup kaya, jadi ia memutuskan akan menjodohkan Lisa dengan putra mereka, Christian, meskipun pemuda itu membosankan, cerewet, sangat dipengaruhi oleh orang tuanya, yang nyaris sangat puritan.

"Aku telah mengundang tuan tanah dan istrinya untuk datang makan malam," kata Nyonya Bruwchweiler kepada pantulan bayangan Lisa di cermin. "Dan Boo berjanji akan menyiapkan makanan istimewa."

"Boo itu kepala pelayan, Mama, dia tidak bisa memasak untuk tamu."

"Aku tahu persis jabatan Boo yang sebelumnya di rumah ini, Lalisa. tapi, masakannya lebih enak dari pada masakan istrinya atau kau, jadi malam ini kita terpaksa menggunakan keahliannya. Untuk memasak ikan, tentu," ujarnya, lalu bahunya yang kurus itu sedikit bergidik. "Aku benar-benar berharap kita tidak perlu makan ikan terus-menerus. Aku tidak begitu suka ikan."

Lisa, yang bertugas menangkap ikan dan menembak buruan apa pun yang dapat ditemukannya untuk disajikan di meja makan, merona malu, seakan-akan entah bagaimana ia telah gagal menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga yang aneh ini. "Maafkan aku, Mama, tapi binatang buruan sekarang jarang ditemukan. Besok aku akan berkuda ke pinggir desa dan mencari tahu apakah aku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik. Sekarang aku mau pergi, dan aku akan pulang larut malam."

"Larut malam?" ibunya terenyak. "Tapi kau harus berada di sini nanti malam, dan kau tahu tuan tanah dan istrinya sangat menghargai wanita yang tahu sopan santun dan etiket, meskipun hatiku masih sakit kalau teringat bagaimana pria itu meninggalkan kita hidup dalam kemiskinan sehingga harus puas dengan sekedar tuan tanah."

Lisa tidak perlu bertanya siapa 'pria itu' yang dimaksud ibunya. Ibunya selalu menyebutkan ayah Lisa sebagai 'pria itu' atau 'ayahmu', seakan-akan Lisalah yang salah karena memilih pria itu, sedangkan dia, Nyonya Bruschweiler sendiri, hanyalah korban atas pilihan yang salah itu.

"Kalau begitu kau tidak perlu menjamu tuan tanah," ujar Lisa lembut, namun tegas, "Karena aku tidak akan menikah dengan Christian Yu agar tidak kelaparan, dan itu sama sekali tidak akan terjadi."

"Oh ya, kau akan menikah dengannya," kata ibunya dengan nada rendah, penuh amarah yang muncul akibat rasa putus asa dan takut. "Dan kau harus bersikap layaknya gadis terhormat. Kau tak boleh lagi berkeliaran di desa. Keluarga Yu tidak akan menoleransi skandal yang berkaitan dengan calon menantu mereka."

"Aku bukan calon apa-apanya mereka!" tukas Lisa, berusaha keras tidak gemetar. "Dan asal kau tahu, aku tidak suka pada Christian," pungkasnya, berusaha tidak memedulikan kondisi kejiwaan ibunya yang rapuh, "Kata Rose, Christian lebih suka anak laki-laki daripada perempuan!"

Dampak mengerikan dari pernyataan itu yang Lisa sendiri tidak begitu mengerti, tidak masuk ke kepala Nyonya Bruschweiler yang mulai berwarna kelabu. "Well, tentu saja, kebanyakan pemuda lebih suka ditemani anak laki-laki. Meskipun begitu," lanjut Nyonya Bruschweiler, berdiri lalu mulai berjalan mondar-mandir tertatih-tatih seperti orang yang telah lumpuh bertahun-tahun, "mungkin itu alasan sebenarnya mengapa dia tidak menolak menikah denganmu, Lisa." Tatapannya berpindah ke tubuh kurus Lisa yang memakai celana ketat usang berwarna coklat, kemeja putih lengan panjang yang terbuka di bagian leher, serta sepatu bot cokelat yang tampaknya telah ia semir dengan susah payah. Gadis itu lebih tampak seperti pemuda yang orang tuanya pernah kaya tapi kemudian jatuh miskin dan terpaksa memakai pakaian yang sudah dipakainya bertahun-tahun. "Kau harus mulai memakai gaun yang panjangnya tidak di atas lutut."

"Kan sudah ku bilang perbaiki saja bajuku agar bisa kau pakai."

"Tapi aku tidak terampil menggunakan jarum, dan," Nyonya Bruschweiler berhenti berjalan mondar-mandir lalu memelototi Lisa. "Mau tak mau aku merasa kau menggunakan segala alasan untuk menggagalkan perjodohan ini, tapi aku sudah bertekad untuk mengakhiri kemiskinan yang kita jalani, dan putra tuan tanah adalah satu-datunya harapan kita." Ia mengerutkan kening dengan gusar melihat gadis muda keras kepala yang berdiri di ambang pintu, sekelumit rasa bersalah berkelebat di wajahnya yang pucat. "Aku sadar kita tak pernah benar-benar dekat, Lisa, tapi ini salah pria itu, dialah yang menyebabkan kau tumbuh menjadi gadis liar seperti sekarang, berkeliaran di pinggiran desa, memakai celana panjang, menembak dengan senapan, dan melakukan segala perbuatan yang seharusnya tak boleh kau lakukan."

Tak berdaya menyembunyikan nada marah dalam suaranya, Lisa dengan kaku berkata, "Kalau aku menjadi mahluk membosankan, menyedihkan, tak berdaya seperti harapanmu, keluarga ini akan kelaparan sejak dulu."

Nyonya Bruschweiler masih punya harga diri untuk terlihat malu. "Yang kau katakan itu memang benar, tapi kita tidak bisa terus menerus seperti ini. Meskipun kau telah berusaha keras, kita berutang pada semua orang. Aku tahu selama tiga tahun ini aku tidak menjadi ibu yang baik, tapi bukankah akhirnya aku sadar, dan aku harus mengambil langkah untuk menikahkanmu dengan sukses."

"Tapi aku tidak mencintai Christian," cetus Lisa putus asa.

"Dan itu ada bagusnya," ujar Nyonya Bruschweiler buru-buru, "Dengan demikian dia tidak dapat menyakitimu seperti ayahmu menyakiti hatiku. Christian berasal dari keluarga yang utuh. Kau takkan menemukan dia mempunyai istri lain di London serta menghabiskan semua hartanya di meja judi. "Lisa mengernyit mendengar kenangan buruk mengenai ayahnya, sementara ibunya melanjutkan, "Sebenarnya, kita sangat beruntung karena tuan tanah itu orangnya sangat ngotot, kalau tidak, aku berani berkata dia takkan mau menjadikan kau menantunya."

"Apa sebenarnya yang membuatku menjadi menarik untuk dijadikan menantu?"

Nyonya Bruschweiler tampak terkejut. "Kita kan masih punya hubungan dengan seorang bangsawan," jawab ibunya seakan-akan itu bisa menjawab pertanyaan Lisa.

Ketika Nyonya Bruschweiler diam termenung, Lisa mengangkat bahu dan berkata, "Aku mau pergi ke rumah Rose. Hari ini ulang tahun saudara laki-lakinya."

"Mungkin ada baiknya kau tidak hadir saat makan malam," ujar Nyonya Bruschweiler, tanpa sadar mengambil sikat rambut lalu menyisir rambutnya dengan keras. "Aku merasa keluarga Yu akan membicarakan pernikahan itu malam ini, dan tidak baik kalau kau berada di sini duduk sambil mengerutkan dahi dan memasang tampang bermusuhan."

"Mama," panggil Lisa dengan campuran rasa iba dan waspada, "Aku lebih suka kelaparan dari pada menikah dengan Christian."

Dari ekspresi Nyonya Bruschweiler tampak jelas bahwa dia, pribadi, lebih suka putrinya menikah daripada kelaparan. "Urusan seperti ini lebih baik diputuskan oleh orang tua. Pergilah ke rumah Roseanne, tapi cobalah memakai gaun."

"Tidak bisa. Untuk menghirmati ulang tahun adiknya, kami mengadakan turnamen menombak sambil mengendarai kuda, yang selalu diadakan oleh keluarganya setiap ada anggota kelularga yang berulang tahun."

"Kau sudah terlalu tua untuk bepergian memakai baju zirah karatan itu, Lisa. Tinggalkan baju itu di lorong, di tempat yang seharusnya."

"Aku tak kan merusaknya," Lisa berjanji. "Aku hanya akan membawa perisai, helm, tombak dan pelindung dada."

"Oh baiklah kalau begitu," kata ibunya mengangkat bahu dengan letih.

Terpopuler

Comments

Diii

Diii

anaknya jadi korban...kenapa ga ibunya aja yg nikah lagi ma orang kaya...🫣

2024-08-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!