Bab - 19

"Sudah ku bilang, aku tidak mau melakukannya," cetus Lisa, pipinya merona karena marah. Ia cemberut ke arah penjahit yang selama tiga hari tiga malam ini mengukur, menjepit, mendesah dan menggunting kain aneka warna yang sekarang berserakan dalam berbagai tahapan di seantero kamar untuk dijadikan gaun siang, pakaian berkuda, pakaian untuk berjalan kaki, dan gaun pesta. Lisa merasa dirinya seperti manekin kain yang dianggap tidak punya perasaan dan tidak pernah capek, yang kegunaannya hanyalah untuk berdiri diam, ditusuk, diraba, dan ditekan, sementara sang Nyonya Kim mengawasi dan mengkritik setiap gerakan dan tindak-tanduk Lisa.

Selama tiga hari ia berulang kali meminta bertemu dengan calon suaminya, tapi Kim Mingyu sedang 'sibuk' begitu kata Will, sang kepala pelayan yang berwajah seperti patung, berulang kali kepadanya. Sekali-kali Lisa melihat sepintas sosok pria itu di perpustakaan, sedang berbicara dengan beberapa pria hingga sore hari. Makanan untuknya dan Roseanne dihidangkan di kamar Lisa, sementara Mingyu sepertinya lebih suka ditemani neneknya. 'Sedang dibuk,' bagi Lisa itu menandakan Mingyu tidak ingin diganggu olehnya.

Setelah tiga hari seperti ini, Lisa mulai stress, kesal, dan yang lebih parah lagi, sangat ketakutan. Ibu dan Paman Monty boleh dibilang sudah menghilang. Meskipun  mereka sebenarnya tinggal di penginapan beberapa kilometer dari rumah ini, mereka tidak diizinkan datang ke rumah ini. Kehidupan membosankan terpampang di hadapannya, lubang menganga yang sepi tempat ia tidak boleh ditemani keluarganya dan Roseanne, bahkan para pelayan tua yang telah menemaninya sejak bayi.

"Ini benar-benar konyol!" kata Lisa kepada Roseanne, mengentakkan kakinya dengan frustasi, dan memelototi tukang jahit yang baru saja selesai menjepit keliman gaun dengan kain muslin kuning jeruk yang dipakai Lisa.

"Berdiri diam, Nona, dan hentikan sandiwaramu itu." hardik Her Grace, atau calon nenek mertuamya dingin sambil berjalan masuk ke ruangan.

Selama tiga hari, sang Nenek belum mengatakan spatah kata pun kepadanya, kecuali untuk mengkritik, menggurui, memerintahkan, atau menyuruh. "Sandiwara...?" tukas Lisa, sementara darahnya mulai mendidih, panas dan menggelegak. "Kalau kau pikir ini sandiwara, tunggu sampai kau dengar selanjutnya!" Sang Nenek membalikkan badan seperti akan pergi dan, bagi Lisa, ia sudah sampai di batas kesabaran. "Aku sarankan tunggu sebentar dan biarkan aku selesai berbicara, Nyonya."

Sang Nenek membalikkan badan lalu menunggu sambil mengangkat alis aristokratnya. Sikap Nyonya Kim yang benar-benar angkuh membuat Lisa sangat marah hingga suaranya bergetar. "Tolong beri tahu cucumu yang tidak pernah kelihatan itu bahwa pernikahan dibatalkan, atau, kalau dia memutuskan untuk muncul, kau bisa menyuruhnya menemui aku dn aku akan memberitahunya sendiri." Takut air matanya akan tumpah, dan ia tahu wanita itu akan menertawakannya, Lisa berlari keluar dari ruangan, menyusuri balkon lalu menuruni anak tangga.

"Apa," tanya sang kepala pelayan ketika membukakan pintu untuk Lisa, "yang sebaiknya saya katakan kepada Tuan Mingyu, seandainya beliau menanyakan dimana Anda berada?"

Lisa berhenti menuruni anak tangga yang panjang lalu menatap Will lekat-lekat dan menirukan gayanya, "katakan padanya aku sibuk."

Satu jam kemudian, ketika berjalan-jalan di taman mawar, hatinya sudah lebih tenang, berkat kendali dirinya yang kuat. Dengan kesal, Lisa membungkuk lalu memetik sekuntum mawar merah jambu yang cantik lalu mengangkatnya ke hidung, menghirup aromanya, lalu tanpa sadar mulai mencabuti kelopak bunganya satu per satu, pikirannya sangat kusut. Kelopak bunga berwarna merah jambu melayang jatuh di sekitar roknya, bergabung dengan kelopak mawar merah, mawar putih dan mawar kuning yang tanpa sadar juga telah dicabutinya.

"Berdasarkan pesan yang kau tinggalkan pada Will," kata sebuah suara dalam dan tenang di belakangnya, "sepertinya kau tidak senang pada sesuatu?"

Lisa dengan terkejut membalikkan badan, rasa lega karena akhirnya bisa berbicara dengan pria itu sirna oleh rasa panik yang selama beberapa hari ini berusaha diredamnya. "Aku tidak senang pada semua hal."

Tatapan geli pria itu beralih pada kelopak bunga yang berserakan di sekeliling rok Lisa. "Termasuk pada bunga-bunga mawar, sepertinya," ujar Mingyu penuh perhatian, agak merasa bersalah karena tidak mengacuhkan Lisa beberapa hari belakang ini.

Lisa mengikuti arah tatapan pria itu, pipinya memerah karena malu, lalu dengan nada frustasi bercampur tegang ia berkata, "Bunga mawarnya cantik, tapi.."

"..tapi kau sudah bosan pada rupa mereka jika mereka masih memiliki kelopak, benar begitu?"

Menyadari dirinya digiring ke dalam diskusi tentang bunga padahal hidupnya sedang kacau balau, Lisa menegakkan tubuh lalu berkata dengan tegas namun tenang, "Your Grace, aku tidak akan menikah denganmu."

Pria itu memasukkan tangan ke saku lalu memandang Lisa dengan rasa ingin tahu, "Benarkah? Kenapa?"

Berusaha memikirkan cara terbaik untuk menjelaskannya, Lisa menyisirkan jarinya yang gemetar ke rambutnya yang indah. Mata Mingyu terangkat, memperhatikan gerakan tanpa sadar yang anggun itu, untuk pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan. Cahaya mentari menyinari rambut wanita itu, mengeluarkan kilau, dan mengubah matanya yang besar menjadi berwarna kehijauan bercahaya. Gaun kuningnya menonjolkan warna kulitnya yang bernuansa krem dan pipinya yang sewarna buah persik.

"Ku mohon," kata Lisa dengan nada tersiksa, "Maukah kau berhenti memandangiku seperti sedang menilai dan menimbang-nimbang, seakan-akan kau berusaha membedah tubuhku dan mencari semua kekuranganku?"

"Apakah itu yang ku lakukan?" tanya Mingyu sekenanya, untuk pertama kali memperhatikan tulang pipi Lisa yang tinggi dan bibirnya yang ranum. Ketika mengamati wajah mempesona yang indah bagai dipahat dengan alis mata bagai semut berarak dan bulu mata yang lebat, ia tak mengerti mengapa ia bisa salah menyangka gadis itu sebagai anak laki-laki.

"Kau membuat hidupku seperti drama Pygmalion, dan aku tidak suka."

"Aku apa?" tanya Mingyu, perhatiannya tiba-tiba beralih dari wajah yang mempesona itu.

"Dalam mitologi, Pygmalion adalah..."

"Aku tidak asing dengan mitologi itu, hanya saja aku terkejut ada wanita yang suka bacaan klasik."

"Pengalamanmu dengan wanita pasti sangat terbatas," kata Lisa dengan terkejut. "kakekku bilang sebagian besar wanita sama pintarnya dengan pria."

Lisa tiba-tiba bisa melihat ada kilau geli di mata pria itu tapi disangkanya pria itu menertawakan pendapatnya mengenai intelegensi wanita dan bukan pernyataannya tentang kurangnya pengalaman Mingyu dengan wanita. "Ku mohon berhentilah memperlakukanku seakan-akan aku tidak berotak! Semua orang di rumahmu memperlakukanku seperti itu. Bahkan pelayanmu pun bersikap angkuh dan memperlakukanku dengan aneh."

"Aku akan menyuruh kepala pelayan menyumpal kupingnya dengan kapas dan berpura-pura tuli," canda Mingyu, "Dan aku akan menyuruh para pelayan memakai penutup mata. Apakah itu akan membuatmu lebih kerasan?"

"Ku mohon maukah kau lebih serius!"

Mingyu langsung berhenti bercanda mendengar nada menghardik dalam suara Lisa. "Aku akan menikahimu," ujarnya dingin. "Itu cukup serius."

Sekarang karena ia telah memutuskan untuk tidak menikah dengan pria itu dan telah mengutarakannya, rasa perih karena keputusan itu sedikit berkurang karena ia tidak lagi merasa takut dan tidak nyaman berada di dekat pria itu. "Apakah kau menyadari," kata Lisa dengan senyum kemenangan sambil menggelengkan kepala sedikit, "wajahmu menjadi sangat muram bila mengucapkan kata menikah?" Ketika pria itu tidak menjawab, Lisa meletakkan tangannya di lengan baju pria itu, seakan-akan pria itu sahabatnya, lalu menatap mata kelabunya yang tak dapat dibaca, melihat sikap sinis mengintip di bawah dasarnya. "Aku tidak bermaksud lancang, Your Grace, tapi apakah kau bahagia dengan kehidupan? Maksudku, hidupmu?"

Pria itu tampak tidak senang dengan pertanyaan itu, tapi dia tetap menjawabnya. "Tidak begitu."

"Nah, kau lihat, bukan! Kita tidak akan cocok. Kau tidak suka dengan kehidupan, tapi aku suka." Keceriaan, keberanian, dan semangat yang dirasakan Mingyu pada malam mereka bertemu, sekarang muncul kembali dalam nada suara Lisa ketika menegadah menatap langit yang biru, raut wajahnya yang berseri-seri tampak optimis, lugu, dan penuh harap. "Aku menyukai hidupku, bahkan meskipun aku mengalami peristiwa buruk. Aku tidak bisa berhenti menyukainya."

Mingyu terpukau menatap Lisa sementara wanita itu berdiri di depan latar belakang mawar aneka warna dan bukit hijau di kejauhan. Seperti dewi yang menatap ke langit dengan suara lembut dan merdu, "Setiap musim datang dengan janji bahwa sesuatu yang indah akan terjadi pada diriku suatu hari nanti. Sejak kakekku meninggal aku selalu mendapat perasaan seperti itu. Seolah-olah dia memberitahuku agar menunggu saat itu tiba. Pada musim dingin, janji itu datang bersamaan dengan aroma salju di udara. Pada musim panas, aku mendengarnya dalam gelegar petir dan kilat yang membelah langit dengan cahayanya yang biru . Tapi terutama, aku merasakannya sekarang, pada musim semi, ketika semuanya berwarna hijau dan hitam..."

Suara Lisa menghilang dan Mingyu dengan bingung mengulangi, "Hitam?"

"Ya, hitam, kau tahu, seperti batang pohon saat basah, dan lapangan yang baru dibajak dan beraroma seperti..." Ia menarik napas, berusaha mengingat dengan tepat aromanya.

"Tanah," usul Mingyu tidak romantis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!