Bab - 9

Otak Lisa menjerit ketakutan, ia bergulir ke samping, lalu menekan gagang senapannya dan membidik. Ketika si perampok mengangkat pistolnya, Lisa menembak. Daya dorong yang kuat adri senapan itu membuatnya terpelanting ke belakang, mendorong udara keluar dari dadanya. Sewaktu ia memutar kepalanya di atas tanah dan membuka mata, perampok itu sudah terbaring di tanah di bawah cahaya rembulan, ia telah menembak sisi kepala perampok itu.

Ia bukan saja melukai pria itu seperti yang diinginkannya semula, tapi juga telah membunuhnya. Erangan marah dan takut keluar dari tenggorokannya dan meledak di dadanya, lalu dunia mulai berputar, mula-mula pelan, lama-lama makin cepat. Dilihatnya pria jangkung itu menendang perampok yang dibunuhnya, lalu mulai berjalan ke arahnya, langkah kakinya yang panjang entah mengapa terasa mengancam. Dunia berputar lebih cepat lagi, menarik Lisa masuk ke pusaran. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lisa pingsan.

Mingyu berjongkok di samping ksatria yang pingsan itu, tangannya dengan kasar menarik lepas helm itu sehingga dapat menilai seberapa parah cedera yang diderita kstaria berbaju zirah itu. "Cepatlah Will!" teriaknya kepada kusir kereta yang sedang terhuyung-huyung berdiri, baru saja siuman dari pingsan akibat pukulan perampok tadi. "Bantu aku melepas baju zirah sialan ini."

"Apakah dia cedera, Your Grace?"  tanya Will, bergegas ke samping tuannya dan berlutut.

"Sepertinya demikian," jawab Mingyu cepat, mengernyit melihat luka di sisi wajah mungil itu.

"Dia tidak tertembak, kan?"

"Kurasa tidak, pegang kepalanya,"

"Pelan-pelan,"

"Brengsek!"

"Pegang kepalanya, sementara aku melepaskan baju mengerikan ini dari tubuhnya." Mingyu melempar helm itu ke samping dan menarik lepas pelindung dada. "Ya ampun kostum ini jelek sekali," gumamnya, tapi suaranya terdengar cemas ketika memperhatikan tubuh lemah di hadapannya, mencari luka tembak atau jejak darah dengan penerangan cahaya bulan. "Di sini terlalu gelap untuk melihat di bagian mana dia cedera. Putar arah kereta, kita akan membawanya ke penginapan yang kita lewati beberapa kilometer lalu. Pasti di sana ada orang yang tahu siapa orang tua anak ini, juga dimana tempat tinggal dokter terdekat." Mingyu meraih tubuh penyelamatnya lalu dengan lembut meletakkan tangannya di bawah ketiak anak itu dan mengangkatnya, dengan terkejut ia menyadari betapa ringan tubuh di balik baju zirah itu. "Dia hanya seorang bocah, usianya paling-paling baru tiga belas atau empat belas tahun," ujar Mingyu, suaranya parau karena rasa bersalah atas cedera yang diderita bocah pemberani yang telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa susah payah ia mengangkat bocah itu dalam gendongannya, lalu membawanya ke kereta.

***

Kedatangan Mingyu di penginapan sambil menggendong Lisa yang tak sadarkan diri mengundang berbagai komentar miring dan tak senonoh dari para pengunjung di ruang duduk, yang telah mulai mabuk karena hari sudah sangat larut malam.

Dengan menunjukkan sikap berwibawa seorang bangsawan terhadap rakyat jelata, Mingyu tak mengacuhkan komentar-komentar negatif itu dan berjalan dengan langkah tegas ke arah pelayan bar. "Tunjukkan padaku kamar terbaik kalian lalu suruh pemilik penginapan menemuiku secepatnya."

Si pelayan melirik punggung Lisa dengan rambut bergelombangnya yang kecoklatan lalu ke pria jangkung berpakaian bagus itu dan bergegas menjalankan perintahnya sesuai urutan, menunjukkan kamar terbaik yang ada di penginapan.

Dengan perlahan, Mingyu membaringkan bocah itu di tempat tidur lalu melepaskan pita di leher kemejanya. Bovah itu mengerang, kelopak matanya bergetar terbuka, dan Mingyu mendapati dirinya menatap sepasang mata yang sangat besar berwarna hazel kehijauan yang cemerlang, dihiasi bulu mata yang luar biasa lebat dan lentik, mata itu balas menatapnya dengan bingung. Mingyu lalu tersenyum menenangkan dan dengan lembut berkata, "Selamat datang kembali ke dunia, Galahad."

"Di mana," Lisa membasahi bibirnya yang kering, suaranya sangat parau. Ia berdeham lalu mencoba berbicara lagi, kali ini ia berhasil mengeluarkan suara yang lebih keras daripada sekedar bisikan parau. "Dimana aku?"

"Kau di penginapan di dekat tempat kau terluka."

Lisa teringat kejadian mengerikan itu dan merasa air mata yang panas membakar matanya. "Aku membunuhnya. Aku membunuh pria itu," katanya dengan suara tercekat.

"Dan berkat hal itu kau menyelamatkan nyawaku dan nyawa kusirku."

Dalam keadaan bingung, Lisa mempercayai kata-kata pria itu serta menggenggam rasa nyaman yang ditimbulkannya. Karena belum dapat memfokuskan penglihatan, ia hanya dapat melihat seakan-akan dari jarak jauh ketika pria itu meraba-raba kakinya. Belum pernah ada orang lain selain ibunya yang menyentuh tubuhnya, dan itu pun bertahun-tahun yang lalu. Lisa merasa sensasi itu menyenangkan sekaligus sangat mengganggu. tapi ketika tangan pria itu dengan lembut mulai meraba tulang rusuknya yang paling bawah, napasnya tercekat dan ia mencengkeram tangan pria itu. "Sir!" teriaknya parau dan putus asa. "Apa yang kau lakukan?"

Tatapan mingyu beralih ke jemari ramping yang mencengkeram tangannya kuat-kuat, kekuatan yang tampaknya timbul dari rasa takut. "Aku mencari kalau-kalau ada tulang yang patah, Nak. Aku sudah menyuruh orang memanggil dokter dan pemilik penginapan. Meskipun demikian, karena sekarang kau sudah sadar, kau bisa memberitahuku sendiri siapa namamu? Dan di mana kita bisa mencari dokter terdekat."

Waspada dan kesal terhadap mahalnya jasa dokter, dengan putus asa Lisa berkata, "Apakah kau tahu betapa mahalnya jasa dokter sekarang?"

Mingyu menatap bocah berwajah pucat namun bermata luar biasa indah itu dan sekelebat merasakan rasa sayang bercampur kagum, gabungan perasaan yang benar-benar asing baginya. "Kau cedera karena aku. Sudah sewajarnya kalau aku yang menanggung semua biayanya."

Pria itu tersenyum, dan Lisa merasa pusingnya tiba-tiba hilang. Pria yang sedang tersenyum kepadanya ini tak dapat dipungkiri lagi adalah pria terbesar dan tertampan yang pernah dilihatnya atau yang pernah dibayangkannya. Mata pria itu berwarna kelabu yang keras bagai baja namun lembut seperti satin, bahunya sangat bidang, suara baritonnya dalam dan mempesona. Wajahnya yang berwarna kecoklatan kontras dengan giginya yang ternyata sangat putih, dan meskipun garis rahang dan dagunya tampak kuat dan maskulin, sentuhannya terasa lembut, dan sudut-sudut matanya ada garis halus yang menandakan pria itu memiliki selera humor yang bagus.

Lisa menegadah menatap pria besar yang menjulang di atasnya, dan ia merasa sangat kecil dan rapuh. Anehnya, ia juga merasa aman. Lebih aman dari pada yang dirasakannya tiga tahun belakangan ini. Ia mengendurkan cengkramannya di tangan pria itu, lalu mengankat tangannya untuk menyentuh luka di dagu pria itu. "Kau juga terluka," ujarnya seraya tersenyum malu.

Mingyu terkesiap karena tak menduga akan melihat senyum yang begitu indah dari seorang bocah dan langsung tertegun ketika merasakan gelenyar aneh yang timbul dari sentuhan tangan bocah itu. Sentuhan seorang bocah. Ia buru-buru menepis tangan mungil itu sambil bertanya dalam hati apakah kejenuhannya terhadap hiburan normal telah mengubahnya menjadi pria yang mengalami penyimpangan. "Kau belum memberitahukan namamu kepadaku," kata Mingyu, nada suaranya dibuat seramah mungkin ketika ia mulai meraba tulang rusuk terbawah bocah itu, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya, mencari tanda apakah dia kesakitan.

Lisa membuka mulut untuk memberitahu namanya, namun alih-alih melakukan itu ia menjerit marah ketika pria itu tiba-tiba menyelipkan tangan ke ***********.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!