Api amarah menyala di mata Mingyu. " Tak bisa mempertanyakan..." raungnya, tapi ia tak mengelesaikan kalimatnya, ia mengatupkan mulut erat-erat hingga otot di rahangnya berkedut. "Dan jika aku menolak?" sergahnya.
"Kalau demikian aku akan menuntutmu ke pengadilan tinggi di London. Jangan kau kira aku tak bisa," pekik Nyonya Bruschweiler.
"Kau tak kan melakukan hal itu," Kata Mingyu dengan yakin. "Menuntutku hanya akan membuat skandal yang menurutmu telah mencemari Lisa menyebar sampai ke London."
Terdorong oleh sikap tenang yang angkuh Mingyu serta kenangan akan perlakuan buruk suaminya, Nyonya Bruschweiler serta-merta bangkit dari kursi, tubuhnya bergetar karena marah. "Kau dengarkan aku, aku akan melakukan persis seperti yang ku katakan. Lisa akan mendapatkan kehormatan dari namamu atau dia akan membeli kehormatan itu dengan uangmu, setiap sen dari uangmu, kalau dengan caraku. Yang mana pun caranya, tak ada ruginya bagi kami. Kau mengerti?" wanita itu nyaris berteriak. "Aku tak kan membiarkan kau mengambil keuntungan dari kami seperti yang dilakukan suamiku. Kau seorang monster, sama seperti dia. Semua pria adalah monster, egois, menjijikkan...."
Mingyu menatap dingin ke arah wanita nyaris gila yang berdiri di hadapannya, mata wanita itu menyala, tangannya mengepal erat sehingga urat-urat birunya terlihat jelas. Mingyu sadar wanita itu bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Wanita itu tampak jelas sangat membenci suaminya sehingga bersedia menyebarkan skandal Lisa ke muka publik, hanya karena ingin membalas dendam kepada laki-laki, yaitu Mingyu.
"Kau telah menciumnya," geram Nyonya Bruschweiler dengan nada menuduh. "Kau telah meletakkan tanganmu di tubuhnya, dia mengakui itu,"
"Mama, jangan!" tangis Lisa, memeluk tubuhnya sendiri lalu membungkuk ke depan, entah karena malu atau kesakitan, Mingyu tidak yakin yang mana, "Jangan, ku mohon jangan lakukan ini," pintanya lirih dengan terbata-bata. "Jangan lakukan ini padaku."
Mingyu memandang wanita kecil yang membungkuk hingga menyerupai bola menyedihkan dan sungguh sulit membayangkan wanita itu wanita yang sama yang menyelamatkannya dua hari yang lalu.
"Hanya Tuhan yang tahu apa lagi yang kau biarkan dilakukannya terhadapmu,"
Telapak tangan Mingyu memukul meja dengan keras sehingga bunyinya menggelegar di seluruh ruangan berdinding kayu itu. "Cukup!" sergahnya dengan suara membahana. "Duduk!" perintahnya kepada Nyonya Bruschweiler, dan ketika wanita itu dengan kaku mematuhi, Mingyu bangkit dari kursinya. "Kau ikut aku," perintahnya singkat. "Aku ingin berbicara berdua denganmu."
Nyonya Bruschweiler membuka mulut untuk memprotes, tapi Nyonya Kim tua akhirnya berbicara, dan ketika wanita itu berbicara suaranya terdengar sedingin es. "Diam, Nyonya Bruschweiler! Kami sudah cukup mendengar perkataanmu!"
***
Lisa nyaris harus berlari agar tak tertinggal oleh Mingyu ketika pria itu berjalan melintasi ruang duduk, melalui ambang pintu, lalu ke koridor, dan masuk ke ruang duduk mungil yang didekorasi dengan warna lembayung. Begitu berada di dalam, Mingyu melepaskan tangan Lisa, melangkah ke seberang ruangan menuju jendela, lalu memasukkan tangannya ke saku. Kesunyian ruangan itu mendera saraf Lisa yang tegang ketika pria itu menatap kaku ke halaman, sosoknya tampak keras, tanpa ampun. Lisa tahu pria itu sedang berpikir keras mencari jalan agar tak perlu menikahi Lisa, dan ia juga tahu di balik sikap tenang terkendali itu ada amarah yang siap meledak, amarah yang tak diragukan lagi akan ditunjukkan kepadanya, tak lama lagi. Merasa amat sangat malu, Lisa menunggu dengan pasrah, memperhatikan pria itu mengangkat tangan lalu memijat otot yang tegang di lehernya, raut wajahnya semakin lama semakin suram dan mengancam.
Pria itu berbalik dengan tiba-tiba sehingga Lisa otomatis melangkah ke belakang. "Berhentilah bersikap seperti kelinci yang ketakutan," sergahnya. "Akulah yang terperangkap, bukan dirimu."
Ketenangan menguasai diri Lisa, menghilangkan segala hal kecuali rasa malu. Dagunya yang mungil terangkat ke atas, punggungnya menegak, dan Mingyu dapat melihat ia berusaha keras mengendalikan diri, usaha yang dimenangkannya. Lisa yang sekarang berdiri di hadapannya tampak seperti ratu tomboy yang angkuh, berpakaian lusuh, matanya bersinar bagaikan sepasang permata. "Aku tak dapat berbicara di ruangan yang tadi," katanya dengan suara yang hanya sedikit bergetar, "karena ibuku pasti tak kan mengizinkan, tapi andaikan kau tidak mengajakku untuk berbicara berdua, aku bermaksud ingin berbicara denganmu."
"Katakan apa yang ingin kau katakan, lebih cepat lebih baik."
Dagu Lisa terangkat lebih tinggi lagi mendengar nada suara dingin pria itu. Entah mengapa ia tadi berharap pria itu tidak memperlakukannya dengan penuh kebencian seperti pria itu memperlakukan keluarganya. "Gagasan mengenai pernikahan kita sungguh konyol," ia memulai.
"Tepat sekali," sambar Mingyu kasar.
"Kita berasal dari dunia yang berbeda."
"Sekali lagi benar."
"Kau tak ingin menikah denganku."
"Tepat, Nona Bruschweiler," ujar pria itu dengan nada mengejek.
"Aku juga tidak mau menikah denganmu," gerutu Lisa, malu sampai ke tulang sumsum mendengar setiap patah kata menghina yang diucapkan pria itu.
"Kau sungguh bijaksana," Mingyu mengiyakan dengan sinis. "Aku akan menjadi suami yang sangat buruk."
"lagi pula, aku tidak ingin menjadi istri siapa pun. Aku ingin menjadi guru seperti kakekku, dan menghidupi diriku sendiri."
"Hebat sekali," ejek pria itu sinis. "Padahal selama ini ku kira semua wanita ingin mendapatkan suami kaya raya."
"Aku tidak sama dengan semua wanita."
"Aku bisa merasakannya sejak pertama kali melihatmu."
Lisa mendengar nada mengejek dalam kalimat manis pria itu, dan nyaris tercekat. "Kalau begitu kita sepakat. Kita tidak akan menikah."
"Sebaliknya," kata pria itu, dan setiap suku kata diucapkan dengan penuh kegetiran. "Kita tak punya pilihan, Nona Bruschweiler. Ibumu itu akan menuntutku secara terbuka di pengadilan. Untuk menghukumku, dia akan menghancurkanmu."
"Tidak, tidak!" cetus Lisa. "Dia tidak akan melakukan tepat seperti ancamannya. Kau tak mengenal ibuku. Dia, sakit, dia tidak pernah pulih semenjak kematian ayahku." Tanpa sadar, ia mencengkram lengan jaket berwarna kelabu Mingyu yang dijahit rapi itu, sorot matanya mengancam, nada suaranya mendesak. "Kau tidak boleh membiarkan mereka memaksamu menikahi aku. Kau akan membenciku selamanya nanti, aku tahu itu. Para penduduk desa akan melupakan skandal itu, percayalah. Mereka akan memaafkanku dan melupakan peristiwa itu. Ini salahku karena dengan bodoh jatuh pingsan sehingga kau terpaksa membawaku ke penginapan. Aku tak pernah pingsan, kau tahu, tapi aku baru saja membunuh orang dan..."
"Cukup!" bentak Mingyu dengan kasar, dan merasakan tali pernikahan bertambah erat menjerat lehernya. Sampai Lisa mulai berbicara tadi, ia berusaha keras mencari segala cara untuk melarikan diri dari dilema ini. Ia bahkan mulai percaya pada kata-kata wanita itu bahwa ibunya tidak serius dengan ancamannya. Malah, ia sudah siap dengan daftar alasan mengapa Lisa tidak akan suka menikah dengannya.
Hanya saja ia tidak memperhitungkan wanita itu sendiri yang akan memohon agar ia tidak mengorbankan diri di altar pernikahan demi dirinya. Mingyu juga sempat lupa, selama beberapa saat, bahwa wanita itu telah menyelamatkan nyawanya.
Mingyu menatap gadis angkuh bergaun lusuh menyedihkan di hadapannya. Gadis itu telah menyelamatkannya, dan sebagai balasan ia praktis telah menghancurkan semua kesempatan gadis itu untuk mendapat suami. Tanpa kehadiran suami yang dapat meringankan bebannya, gadis itu terpaksa memikul beban rumah tangga yang aneh itu di bahunya yang kurus sepanjang hidupnya. Ia secara tak langsung, tapi efektif, telah menghancurkan masa depan gadis itu.
Dengan tak sabar, ia menarik tangan gadis itu dari lengan bajunya. "Kita berdua tak punya pilihan lain," tukasnya ketus. "Aku akan meminta surat izin khusus agar kita bisa menikah minggu ini. Ibu dan pamanmu," ujarnya dengan penuh permusuhan, "bisa tinggal di penginapan desa ini. Aku tidak mau mereka berada di bawah satu atap yang sama denganku." Pernyataan terakhir itu membuat Lisa malu daripada semua hal yang telah dikatakan pria itu.
"Aku akan membayar penginapan mereka," cetus Mingyu singkat, salah memahami ekspresi terkejut Lisa.
"Ini," Lisa memalingkan kepala, dengan putus asa melihat sekeliling ruangan kaku yang membosankan itu. "Semuanya! Semua ini salah. Bukan seperti ini pernikahan yang ku idamkan." Meskipun takut, ia menekan rasa takutnya yang tersisa. "Selama ini aku selalu membayangkan akan menikah di gereja desa, dengan sahabatku, Rose, menemani aku, dan semua,"
"Baik," sela Mingyu. "Undang temanmu ke sini, kalau itu bisa membuatmu lebih nyaman sebelum hari pernikahan. Beri alamatnya kepada kepala pelayan, nanti aku akan mengirim pelayan untuk menjemputnya. Alat tulis menulis bisa kau dapatkan di laci meja sebelah sana, Ku rasa kau bisa menulis, bukan?"
Kepala Lisa tersentak seakan Mingyu telah menamparnya, dan selama sesaat Mingyu dapat melihat wanita itu suatu hari nanti akan menjadi wanita angkuh dan penuh semangat. Matanya yang hazel kehijauan mengerjap kesal ketika menjawab, "Ya, My Lord, aku bisa menulis."
Mingyu menatap gadis cemberut yang memandang ke arahnya dari atas hidungnya yang mungil dan entah mengapa ia merasa kagum karena gadis itu berani menatapnya seperti itu. "Bagus," tandasnya tegas.
"...dalam tiga bahasa," imbuh Lisa dengan sikap anggun.
Mingyu nyaris tersenyum.
Ketika Mingyu telah pergi, Lisa dengan kaku berjalan ke meja kecil di sudut ruangan lalu duduk di belakangnya. Ia menarik lacinya lalu mengambil selembar kertas, pena bulu, dan botol tinta. Terlalu marah untuk berkonsentrasi menjelaskan musibah yang dialaminya, ia hanya menulis,
Roseanne tersayang,
Kumohon ikutlah dengan pembawa surat ini dan mengunjungiku sesegera mungkin. Musibah telah menimpaku dan aku diasingkan! Ibuku berada di sini juga begitu juga dengan Paman Monty, jadi ibumu tidak perlu mengkhawatirkan keselamatanmu. Kumohon, bergegaslah. Aku hanya punya sedikit waktu sebelum aku harus pergi meninggalkanmu...
Dua butir air mata mengembang di mata Lisa, bergetar di bulu matanya yang hitam dan lebat, lalu menetes ke pipinya. Satu demi satu, air matanya jatuh membasahi surat sampai ia menyerah dan tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menelungkupkan kepala di tangan, bahunya bergetar oleh isak tangis yang memilukan hati.
"Sesuatu yang indah?" bisiknya kepada Tuhan. "Apakah seperti ini yang kau sebut indah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments