Sambil menyangga dagu mungilnya di atas kepalan tangan, Lalisa Bruschweiler memperhatikan kupu-kupu kuning hinggap di ambang jendela pondok kakeknya, lalu kembali mengalihkan perhatian ke pria berambut putih yang ia sayangi, yang duduk di meja di depannya. "Kau tadi bilang apa, Grandpapa? Aku tidak dengar."
"Aku bertanya mengapa hari ini kupu-kupu itu lebih menarik dari pada Socrates," kata orang tua yang ramah itu, sembari memberikan sneyum lembutnya yang cerdas ke gadis mungil berusia tiga belas tahun berambut coklat ikal mengilap mirip ibu gadis itu dan mata hazel kehijauan milik si pria tua. Dengan geli, ia mengetukkan jarinya ke buku karya Socrates yang ia tugaskan kepada gadis itu untuk dibaca.
Lisa tersenyum penuh penyesalan yang meluluhkan hati, tapi ia tak membantah bahwa perhatiannya memang teralihkan, karena, seperti yang selalu dikatakan kakeknya yang baik dan terpelajar, "Kebohongan adalah penghinaan terang-terangan terhadap jiwa, dan juga menyepelekan kecerdasan orang yang dibohongi." Dan Lisa bersedia melakukan apa pun selain menyepelekan pria baik hati yang telah menanamkan filosofi kehidupan dalam dirinya, berikut mengajarkan matematika, filsafat, sejarah dan bahasa latin.
"Aku tadi bertanya-tanya," aku Lisa seraya mendesah penuh angan, "apakah mungkin sekarang ini aku sedang dalam 'tahap menjadi ulat' dan suatu hari nanti akan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik?"
"Apa salahnya menjadi ulat?" Lagi pula," kakeknya bercanda sambil mengutip, "Di dunia ini tak ada yang sempurna." Mata kakeknya berkilat jenaka ketika menunggu apakah Lisa mengenali kalimat yang dikutipnya.
"Horace," celetuk Lisa dengan segera, dan balas tersenyum.
Kakeknya mengangguk puas, lalu berkata, "Kau tak perlu mengkhawatirkan rupamu, sayangku, karena kecantikan sejati memancar dari hatimu dan bersemayam di matamu."
Lisa menggelengkan kepala, tapi ia tak dapat mengingat filsuf mana yang mengatakan kalimat itu, baik di masa lalu maupun di masa kini, "Siapa yang mengatakan itu?"
Kakeknya tertawa geli. "Aku."
Lisa membalasnya dengan tertawa riang, memenuhi ruangan yang bermandikan cahaya matahari itu dengan suaranya yang merdu, lalu tiba-tiba berhenti. "Papa kecewa karena aku tidak cantik, aku bisa merasakannya setiap kali dia datang berkunjung. Dia punya alasan kuat untuk mengharapkan aku menjadi lebih cantik, karena Mama kan cantik, sedangkan Papa selain tampan juga sepupu ke empat seorang bangsawan, lewat pernikahan."
Nyaris tak dapat menyembunyikan ketidaktertarikannya terhadap sanga menantu dan hubungan tak jelasnya dengan bangsawan yang tidak jelas. Kakek Bae mengutip dengan penuh makna, "Keturunan tak ada artinya jika tanpa harga diri."
"Moliere." Lisa otomatis menyebutkan nama pengarang kalimat itu. "Tapi." lanjutnya muram, kembali merasa khawatir, "kau harus mengakui betapa tak adilnya takdir karena memberinya anak perempuan yang wajahnya sangat biasa-biasa saja. Mengapa," ia meneruskan dengan sendu, "aku tidak terlalu tinggi dan tidak pirang? Itu lebih enak dilihat daripada seperti aku ini, seperti yang selalu dikatakan Papa."
Lisa menolehkan kepala untuk memperhatikan kupu-kupu itu lagi, dan mata Kakek Bae bersinar-sinar penuh rasa sayang dan gembira, karena cucunya sama sekali tidak biasa-biasa saja. Ketika Lisa masih berusia empat tahun, ia sudah mulai mengajari anak itu dasar-dasar membaca dan menulis, sama seperti ia mengajarkan anak-anak desa yang menjadi muridnya, namun otak Lisa lebih cerdas dibanding mereka, lebih tanggap, dan lebih cepat memahami konsep. Anak-anak petani hanyalah murid-murid yang tidak terlalu serius datang ke sekolah. Mereka datang hanya beberapa tahun kemudian pergi bekerja di ladang untuk membantu ayah mereka, menikah, melahirkan dan memulai kembali siklus kehidupan. Tapi Lisa lahir dengan minat untuk belajar yang mirip dengan dirinya.
Pria tua itu tersenyum kepada cucunya, "siklus kehidupan" tidak jelek-jelek amat pikirnya.
Jika waktu masih muda ia mengikuti kata hatinya untuk tetap membujang dan menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk belajar, alih-alih menikah, Lalisa Bruschweiler tidak akan lahir di dunia. Padahal Lisa adalah anugerah terindah bagi dunia. Anugerah untuknya. Pikiran itu membanngkitkan semangatnya lalu membuatnya jengah karena sepertinya terlalu sombong. Meskipun demikian, ia tak dapat membendunng deburan rasa senang yang mengalir di dalam jiwanya ketika menatap anak berambut bergelombang yang duduk di depannya, Lisa persis seperti yang ia harapkan, bahkan lebih. Anak itu cerminan kelembutan dan sifat riang, cerdas dan penuh semangat. Terlalu bersemangat, mungkin, dan juga terlalu sensitif. Karena dia terus-menerus berusaha keras menyenangkan hati ayahnya yang adngkal, jika ayahnya kadang-kadang berkunjung.
Ia bertanya-tanya pria seperti apa yang akan menikahi Lisa. Jangan seperti yang menikahi anakku, harapnya dengan sepenuh hati. Putrinya sendiri tidak memiliki sifat bijaksana seperti Lisa. Aku terlalu memanjakannya, pikir Kakek Bae dengan sedih. Ibu Lisa lemah dan egois. Dia menikah dengan pria yang sifatnya sama persis seperti dirinya, tapi Lisa, akan dan berhak mendapat pria yang jauh lebih baik.
Dengan perasaan peka seperti biasa, Lisa menyadari suasana hati kakeknya yang tiba-tiba muram dan segera menghiburnya. "Apakah kau merasa tak enak badan, Grandpapa? Kepalamu pusing lagi? Mau aku pijat lehermmu?"
"Aku memang agak pusing," jawabnya sambil mencelupkan pena bulunya ke botol tinta, menulis kata-kata yang suatu hari nanti akan menjadi "Disertasi Lengkap Mengenai Kehidupan Voltaire," Lisa berjalan ke belakang kakeknya dan dengan tangannya yang mungil mulai menghilangkan ketegangan di pundak dan leher pria tua itu.
Tak lama setelah tangan mungil itu berhenti memijat, Kakek Bae merasa sesuatu menggelitik pipinya. Karena tenggelam dalam pekerjaannya, ia mengangkat tangan dan secara acuh tak acuh mengusap pipinya yang terasa geli. Beberapa menit kemudian, giliran lehernya yang geli dan ia pun mengusapnya lagi. Rasa geli itu pindah ke telinga kirinya, dan Kakek Bae pun tersenyum tak berdaya ketika menyadari cucunya sedang menggelitikinya dengan pena bulu. "Lisa, sayangku," katanya, "Sepertinya di sini ada burung kecil yang nakal, yang berusaha mengalihkan perhatianku dari pekerjaan."
"Karena kau bekerja terlalu keras," jawab Lisa, tapi ia mendaratkan ciuman di pipi keriput kakeknya lalu kembali ke tempat duduknya untuk mempelajari Socrates. Beberapa saat kemudian, perhatiannya sudah beralih ke seekor cacing yang sedang merayap melewati pintu terbuka pondok beratap jerami itu. "Kalau semua hal di dunia ini dibuat Tuhan dengan maksud tertentu, menurutmu mengapa Dia menciptakan ular? Ular amat jelek. Malah sangat menjijikkan."
Kakek Bae mendesah mendengar celetukan Lisa, lalu meletakkan pena bulunya, namun ia tak kebal terhadap senyum cerah anak itu. "Aku akan mengingat hal itu untuk ditanyakan kepada Tuhan kalau aku bertemu dengan-Nya nanti."
Bayangan bahwa kakeknya akan meninggal membuat Lisa tiba-tiba murung, tapi suara kereta kuda yang datang mendekat ke arah pondok membuatnya melompat berdiri lalu berlari ke jendela yang terbuka. "Itu Papa!" teriaknya gembira. "Papa akhirnya datang dari London."
"Dan sudah waktunya juga," gerutu Kakek Bae, tapi Lisa tidak mendengar. Dengan memakai pakaian kesayangannya yang berupa celana selutut dan kemeja longgar, ia berlari menuju ambang pintu lalu melompat ke pelukan enggan ayahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments