Rencana Licik

Malam hari di rumah Dewi. Lima orang berkumpul di ruang keluarga dengan canggung. Setelah semalam mendapat perintah dari sang ibunda untuk datang, hari ini Alina dan Devan benar-benar bertandang. Kendati begitu, wajah Alina tidak menampilkan keceriaan. Justru kekesalan yang paling jelas terlihat. Apalagi alasannya kalau bukan cemburu karena Tiara.

"Sebenarnya, ada hal penting apa, Ma?" tanya Devan, mengakhiri keheningan yang sejak tadi menyelimuti.

Dewi menghela napas panjang. Berat baginya untuk menanyakan itu semua di hadapan Alina. Namu, mau bagaimana lagi. Mereka sudah menikah, sepatutnya tak ada rahasia apa pun, termasuk skandal yang dilakukan Devan. Meski lelaki itu adalah anaknya, tapi dia tak mau mendukung perselingkuhan.

Jika Devan memang nyata bersalah, Dewi tidak akan membelanya. Malah dia akan bersimpati pada Alina, wanita baik hati yang selama ini tak pernah berulah.

"Bagaimana kabarnya Novan?" tanya Dewi, sedikit basa-basi.

Devan menghela napas panjang, "Belum ditangkap, Ma. Aku juga nggak tahu kenapa pintar sekali dia kabur. Mungkin, ada orang besar yang sengaja melindunginya."

"Mama ingin jawaban yang jujur, Devan," sahut Dewi sembari menatap anak sulungnya.

Devan mengernyitkan kening, "Aku udah jujur, Ma. Memang kayak gitu kenyataannya."

Perasaan Devan mulai tak enak. Ada firasat buruk yang begitu kuat menghantui.

"Kita ini keluarga, sudah sewajarnya saling membantu dan mengingatkan bila ada yang salah. Devan, bukannya Mama marah, tapi hanya butuh kejujuran. Mama nggak mau kamu makin terjerumus dalam kesalahan yang pada akhirnya menjadi penyesalan. Jadi, kita selesaikan ini bersama-sama," sambung Dewi.

"Ma, aku nggak paham dengan apa yang Mama omongin. Aku nggak ngerasa melakukan kesalahan, kecuali terlalu memercayai Novan, sampai akhirnya ketipu dia," sahut Devan. Bukan membela diri, melainkan memang berterus terang.

Namun, Dewi hanya geleng-geleng. Dia masih menganggap bahwa anaknya berbohong.

"Ma!" panggil Devan.

"Kalau begitu, coba jelaskan ini, Devan!" ujar Dewi sambil menunjukkan beberapa bukti yang selama ini sudah dikantongi, yakni informasi tentang Novan dan juga Nala.

"Ini apa, Mas?" Alina yang lebih dulu menyambar lembaran foto itu, di mana ada gambar suaminya bersama Nala. "Ini adiknya Novan, kan? Dia kerja di kantor juga?" lanjutnya.

Devan gelagapan. Sulit baginya menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

"Mama juga nggak tahu, Alina, Nala ini kerja atau hanya main ke sana. Makanya, Mama menyuruh kalian ke sini, ya untuk membicarakan ini. Karena selain keberadaan Nala yang penuh tanda tanya, Mama juga baru tahu kalau Novan sudah diberhentikan kerja sebelum Pak Burhan memberikan anggaran proyek. Jadi, kami juga bertanya-tanya, bagaimana bisa orang yang sudah keluar dari kantor, tapi membawa kabur anggaran. Bukankah itu nggak masuk akal?" Dewi menjelaskan dengan panjang lebar.

Alina terperangah. Ternyata bukan Tiara yang patut dicurigai, namun ada banyak hal lagi, dan itu lebih menyakitkan. Oh Devan, sejak kapan dia menjadi sekejam itu?

"Mas ... aku masih belum mendapat jawaban yang jelas atas hubunganmu dengan Tiara, tapi ... sudah ada masalah ini. Katakan, Mas, seberapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan dariku!" Alina setengah menangis. Sungguh, sedetik pun ia tak pernah membayangkan sang suami akan tega menyakitinya.

"Sayang, soal Nala aku bisa jelasin. Dia memang sering datang ke kantor, alasannya untuk menemui Novan. Belum lama aku tahu jika mereka memang sengaja. Katanya, Nala tertarik ke aku dan mau jadi istriku. Aku marah, nggak mau khianati kamu. Dari situ aku dan Novan berselisih paham. Sempat bertengkar kami. Tapi, akhirnya dia minta maaf dan janji nggak akan biarin adiknya ke kantor lagi. Aku percaya. Cuma ternyata itu sekedar trik. Novan memanfaatkan kepercayaanku untuk membawa kabur anggaran proyek," terang Devan.

"Jujur aku nggak yakin dengan pengakuanmu, Mas. Karena selama ini kamu juga diam, nggak pernah sedikit pun menyinggung hal itu."

"Maaf, aku memang sengaja menyembunyikan ini. Tapi, bukan untuk hal buruk. Aku hanya ingin menjaga perasaan kamu. Kamu tahu ... alasan Nala dan Novan berbuat kayak gitu ... karena menganggap kamu punya kekurangan. Aku nggak nyinggung masalah ini, karena nggak tega ngomong kayak gini ke kamu," jawab Devan dengan serius.

Alina dilema. Di satu sisi ingin memercayai Devan, tapi di sisi lain juga mencurigainya.

"Mas, mumpung kita sedang bicara kayak gini. Aku juga boleh nanya sesuatu, kan? Ini soal ... hutang yang terakhir. Jadi, kapan akan Mas kembalikan? Waktu itu janjinya hanya sebulan, tapi ini sampai dua bulan lebih. Dengan Mas nyuruh aku diam dan nggak ngomong sama Mama, aku nggak enak kalau digantung lama-lama, karena itu juga uang perusahaan. Aku takut jika nanti dianggap menyelewengkan dana itu, Mas," timpal Karel. Sontak mendapat perhatian dari Dewi, Alina, dan Devan.

"Ini hutang apa lagi, Mas?" tanya Alina.

"Kamu hutang dan nyuruh Karel untuk diam. Apa maksudnya, Van?"

Devan gelagapan. Dia tidak paham dengan ucapan adik iparnya.

"Sebentar ... ini hutang apa yang kamu maksud? Aku hutang hanya waktu itu, di depan Mama. Separuhnya sudah kucicil, dan nggak ada hutang lagi."

"Mas, kok kamu jadi gini? Setelah hutang yang di depan Mama waktu itu, kamu hutang lagi, kan? Kamu suruh aku diam dan mengirim uangnya ke rekening bawahanmu. Aku masih ada bukti loh, Mas, jadi jangan mengelak. Aku nggak mau dikambinghitamkan. Aku waktu itu hanya niat bantu, tolong jangan dipersulit."

Devan makin tak paham. Lantas, sesaat kemudian Karel mengeluarkan sesuatu dari dalam dompet, yakni bukti transfer ke rekening Alan—tangan kanan Devan setelah Novan tidak ada.

Devan membelalak. Nominal yang tertera tidak sedikit, 600 juta. Lalu, ke mana uang itu sekarang?

"Rel, aku nggak pernah hutang sebanyak ini. Kamu___"

"Mas, waktu itu kamu datang sendiri ke aku. Bilang butuh uang segitu dan nyuruh aku diam. Jangan-jangan ini tujuanmu, Mas, mau mengelak dan lepas dari tanggung jawab." Karel memotong ucapan Devan dengan tampang paniknya, membuat Dewi terpaksa mengeluarkan suara tinggi.

"Kamu jangan fitnah, Rel! Aku nggak pernah mendatangi kamu sendiri dan hutang sebanyak itu! Kamu kemanakan uang itu?" bentak Devan.

"Mas, aku udah bantu kamu, ini balasannya? Kalau memang uang ini untuk menutupi skandalmu, katakan saja dengan jantan, Mas, jangan jadi pengecut dan mengambinghitamkan orang lain." Karel pun tak mau kalah.

"Kurang ajar kamu, Rel!"

"Kamu yang kurang ajar, Mas!"

"Cukup! Jangan saling emosi! Kita bicarakan ini baik-baik. Ke mana sebenarnya uang itu?" Dewi menatap Karel dan Devan secara bergantian.

Karel tetap pada jawaban awal, yakni dipinjam Devan dan dilarang memberitahu siapa pun. Sedangkan Devan, berani bersumpah bahwa dia tidak pernah meminjam uang itu. Bahkan, dia sampai usul untuk mendatangkan polisi dan Alan agar semuanya jelas.

Dewi jadi bingung. Dia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun, lain halnya dengan Alina. Sekarang rasa curiganya kepada Devan makin besar.

"Apa itu kamu berikan untuk Tiara, Mas?" tanyanya dengan suara serak akibat tangis yang tak tertahan.

"Sayang, percaya padaku. Aku nggak pernah hutang sebanyak itu. Aku juga nggak ada hubungan apa-apa dengan Tiara. Ini hanya salah paham, Sayang."

"Tiara? Kenapa melibatkan dia juga?" timpal Dewi.

"Mbak Alina, apa yang kamu maksud ini?" Karel menyodorkan ponsel yang berisi foto Devan dan Tiara, sedang berdekatan dalam pencahayaan yang remang. "Aku nggak bermaksud ikut campur, cuma nggak mau disalahkan atas uang itu tadi. Memang benar Mas Devan yang minjam, dan mungkin benar juga memang untuk Tiara. Selama ini ... Tiara nolak tes DNA. Kalau benar bayi yang dia kandung milik Shaka, harusnya nggak usah takut, kan?" lanjutnya.

Devan tak bisa menahan lagi. Dengan satu kali gerakan, ia berhasil mendaratkan bogeman di wajah Karel.

"Apa maksudmu, hah? Kamu sengaja memprovokasi keadaan agar semua kesalahan ada padaku?" teriak Devan sambil mencengkeram kerah kemeja Karel.

Dewi dan Sherin berusaha melerai mereka, namun tidak mudah. Devan sudah telanjur kalap.

"Pasti kamu sendiri yang tahu ke mana uang itu. Iya, kan? Kamu brengsek! Kamu mau menghancurkan keluarga ini, hah!" Satu kali lagi bogeman mendarat sempurna, menyisakan luka memar di sudut bibir Karel.

"Mas, udah! Nggak perlu pakai kekerasan, karena aku tetap nggak akan percaya sama kamu! Kita cerai aja, Mas!" teriak Alina. Spontan, menghentikan gerakan tangan Devan yang hendak melayangkan bogeman ketiga.

"Sayang!" panggil Devan.

Akan tetapi, Alina tak peduli. Begitu banyak kecurigaan telah membuatnya lelah dan hilang kepercayaan. Lantas, ia pun berbalik dan berlari meninggalkan ruangan itu.

"Sayang, tunggu, Sayang!" teriak Devan sambil mengempaskan tubuh Karel begitu saja.

"Devan, kita___"

"Aku akan mengejar Alina dulu, Ma. Masalah ini, pasti segera kuselesaikan nanti. Mama jangan terlalu percaya lagi dengan dia. Semua ini hanya fitnahnya, nggak tahu apa yang menjadi tujuannya," potong Devan sambil melirik tajam ke arah Karel.

Kemudian, ia berlari mengejar Alina. Dia juga akan membuat perhitungan dengan Alan, membuat lelaki itu buka mulut dan membeberkan masalah yang sebenarnya.

Sementara di sisi lain, Karel mengulas senyum smirk. Dalam batinnya ia berkata, "Kamu bisa lolos dari kematian, tapi nggak akan bisa lolos dari kehancuran. Devan, sedikit lagi ... kamu akan dicoret dari keluarga ini. Kamu akan hilang ... sama seperti adikmu."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Luzi

Luzi

waduhhh,,,,ada intrik lain lagi ,,

2024-03-12

0

Fitri Riyani

Fitri Riyani

novel kedua yang aku baca..
dan alurnya gak bisa ditebak.
kereeen thor

2024-02-05

0

🌹🪴eiv🪴🌹

🌹🪴eiv🪴🌹

plot twist yang bikin........(isi sendiri)

2024-01-27

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!