Matahari sudah tinggi, tapi Tiara belum juga beranjak dari tempatnya. Di atas ranjang yang berantakan, ia meringkuk memeluk selimut—satu-satunya kain yang menutupi tubuhnya saat ini.
Setetes air mata kembali jatuh, manakala mengingat kejadian semalam. Ia tak punya tenaga atau kuasa untuk menolak, hanya bisa pasrah dan menerima perlakuan hina dari seseorang yang pernah dicintai. Remuk rasanya setiap sendi dalam tubuhnya, namun tak sebanding dengan sakitnya hati yang kini benar-benar hancur. Bahkan seandainya, suatu saat nanti lelaki itu bersujud dan memohon maaf, dia tak akan bisa memaafkan.
"Aku pernah mendengarkan dia untuk nggak tes DNA ketika Tante Dewi memintanya, dan sekarang aku menyesali itu. Andai saja waktu itu aku mau, nggak akan sampai kayak gini. Mungkin ... aku hanya akan kehilangan muka di keluarga mereka, tapi nggak akan menjerat sampai kayak gini," gumam Tiara sambil menatap lebam di kedua lengannya, akibat cengkeraman semalam.
Tiara pun menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Dia harap, hatinya sedikit tenang dengan melakukan. Namun, salah. Beban beratnya tetap ada dan menyiksa.
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan," batin Tiara setelah cukup lama meratapi nasib.
Bersamaan dengan pikiran yang tiba-tiba muncul itu, Tiara bangkit dan menuju kamar mandi. Membersihkan diri yang rasanya lebih hina dari segala apa paling hina di dunia.
Usai mandi keramas, Tiara membalut tubuhnya dengan dress panjang. Dia ingin menutup semua bekas yang tersisa akibat kejadian semalam. Sebuah hal yang membuatnya izin kerja hari ini. Ya, bagaimana mungkin akan melayani pengunjung, menahan air mata saja kurang mampu. Jadi dengan alasan sakit, dia tidak masuk hari ini.
"Tiara! Tiara!"
Panggilan di luar menghentikan aktivitas Tiara yang hendak menyeduh teh. Namun karena suara itu wanita, Tiara berani membukanya.
"Mbak Alina. Silakan masuk, Mbak!" sambut Tiara dengan senyum lebarnya, meski terpaksa
Sementara itu, Alina terpaku lama, memandangi Tiara dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dua hal yang membuat Alina makin curiga dengan suaminya sendiri, yakni rambut basah dan juga wajah lelah Tiara. Jangan-jangan ... semalam mereka memang melakukan sesuatu.
"Mbak?" Tiara kembali bicara.
"Oh, maaf." Alina tersenyum kikuk. Lantas, melangkah masuk dan duduk di kursi.
"Mau minum apa, Mbak?" tanya Tiara.
"Nggak usah, aku ke sini nggak lama kok. Cuma mau ngomong bentar sama kamu."
Tiara mengernyit heran. Lalu, mendaratkan tubuhnya di hadapan Alina dengan perasaan yang tidak menentu.
"Kamu nggak kerja?" Pertanyaan pertama yang dilayangkan Alina. Awalnya tadi, dia tidak terlalu berharap jika Tiara ada karena pasti kerja. Tapi, tak disangka malah beruntung.
"Lagi kurang enak badan, Mbak. Jadi, izin dulu."
"Oh."
Tiara diam. Ia menangkap gestur lain di wajah Alina, tidak ramah dan ceria seperti biasanya.
"Langsung aja ya, Ra, aku nggak bisa basa-basi. Aku mau tanya ... semalam Mas Devan ke sini, kan?"
Tiara terkejut. Ludahnya serasa menyangkut di tenggorokan.
"Semalam aku sedikit berselisih dengannya, terus aku masuk kamar. Nggak lama kemudian, dia pergi karena katanya ada masalah di proyek. Ada satu pekerja yang kena serangan jantung dan sekarat. Tapi, pas dibawa ke rumah sakit nggak apa-apa. Malah katanya nggak ada riwayat penyakit jantung. Apa menurutmu itu masuk akal?" sambung Alina.
Tiara sedikit gugup, "Aku nggak tahu itu masuk akal atau nggak, Mbak. Tapi, Mas Devan nggak ke sini. Aku berani sumpah."
Alina tersenyum kecut, "Selama ini dia sangat perhatian ke kamu. Bahkan, menurutku agak berlebihan. Tiara, aku cuma mau tanya satu hal. Tolong kamu jawab jujur."
Perasaan Tiara makin tak karuan.
"Siapa ayah dari anak yang kamu kandung? Apa itu Mas Devan?" tanya Alina dengan wajah yang menegang. Dia takut jika Tiara mengangguk dan membenarkan tebakan itu. Ah, entah sehancur apa hatinya nanti.
Sementara belum bisa menjawab, ingatannya malah terpaku dengan kejadian semalam.
"Kalau dia benar-benar anak Shaka, kamu nggak akan menolak ketika Mama menyuruhmu tes DNA. Tiara, apa benar itu anak Mas Devan?" Lagi, Alina melayangkan pertanyaan itu.
"Mbak, ini memang anaknya Mas Shaka. Kamu, kenapa malah mencurigai suamimu sendiri?" jawab Tiara. Berusaha tenang, tapi tetap saja suaranya gemetaran. Hal itu pun meningkatkan kecurigaan Alina.
"Aku memang mandul, dan aku tahu sebenarnya Mas Devan juga menginginkan anak. Aku hanya butuh kejujuranmu, Tiara. Kalau memang iya, katakan saja. Aku nggak akan marah." Alina masih berusaha mendesak dan mengejar jawaban yang benar.
Ketakutan Tiara pun kembali melanda. Ingatan tentang ancaman semalam begitu menghantui, hingga tubuh Tiara lemas tak berdaya. Akhirnya, keberanian untuk jujur pun kandas lagi.
"Kamu salah paham, Mbak. Yang kukandung ini anaknya Mas Shaka, nggak ada hubungannya dengan Mas Devan. Kamu pergilah, Mbak, aku nggak suka dicurigai kayak gini!" jawab Tiara, masih tak menjelaskan identitas lelaki yang menghamilinya.
Lantas, tanpa banyak kata, ia menarik lengan Alina dan memaksanya bangkit. Kemudian mendorongnya keluar dan menutup pintu rapat-rapat, bahkan menguncinya dari dalam. Alina sudah menolak dan mencoba menahan, namun gagal. Alhasil, dia hanya berdiri terpaku di depan pintu.
Sedangkan Tiara, dia melangkah cepat menuju kamar. Ia bergegas mengambil ponsel dan menelepon Yessi—anak Yanti. Berbeda dengan orang tuanya, wanita yang sudah berkeluarga itu bisa memaklumi kesalahan Tiara. Meski tidak membantu secara finansial, tapi selama ini seringkali memberi dukungan dan semangat untuk Tiara.
"Ada apa, Ra?" tanya Yessi dari seberang sana.
"Yes, tolong telfon Paman dan Bibi. Suruh ke rumahmu sekarang! Kalau nggak ada biaya, aku ada sedikit tabungan untuk lahiran nanti. Pakai ini dulu, nanti aku transfer ke kamu. Usahakan pergi hari ini juga."
"Loh, memangnya kenapa?"
Tiara mengembuskan napas kasar, lantas bercerita panjang lebar terkait masalah yang ia alami.
"Ra, itu bahaya banget. Kamu ikut Ayah sama Ibu aja, ke sini. Aku khawatir kalau kamu sendirian di sana," ujar Yessi dari seberang.
"Aku akan bertindak kalau Paman dan Bibi udah aman. Selama mereka belum tiba di sana, aku akan tetap di sini. Untuk sementara, biarkan dia menganggap aku tetap dalam genggamannya," jawab Tiara.
Entah akan berhasil atau tidak rencana yang ia susun itu, tapi setidaknya sudah berusaha. Karena diam pun, dirinya juga akan terkubur lebih dalam lagi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Rhina sri
ternyata devan penjahat kelamin.. kasian alina
2023-06-10
0
annin
Aku keselnya ama Othor, suka banget bikin penasaran.
2023-06-09
0
Kendarsih Keken
kasihan Alina selama ini cuma di berakin si Devan , lelaki psycopat yng benar2 menakut kan 🙈
yes Tiara ungsikan dulu keluarga mu barulah setelah itu ungkal kebenaran nya
2023-06-08
3