Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam, tetapi Devan belum juga tiba di rumah. Alina menunggunya dengan harap-harap cemas, tak biasanya sang suami pulang terlambat tanpa memberi kabar.
"Makanannya sampai dingin, tapi Mas Devan nggak pulang pulang. Ditelfon juga nggak aktif. Ke mana sih kamu, Mas?" gumam Alina sambil berjalan ke dekat jendela. Mengintip suasana luar, kalau saja mobil Devan sudah masuk ke halaman.
Namun, berulang kali Alina menelan kekecewaan. Di luar masih sunyi dan belum ada tanda-tanda kedatangan Devan.
"Tuan belum pulang, Nyonya?" Darmi—sang ART, mendekati Alina dan menanyakan perihal tuannya.
Ya, sejak dua minggu lalu Alina dan Devan memang sudah kembali ke rumahnya sendiri.
"Belum. Bibi tidur saja, nanti biar saya sendiri yang membereskan meja makan," jawab Alina.
"Ah, tidak apa-apa, Nyonya, saya tunggu saja. Kebetulan belum ngantuk."
"Tidak usah, Bi, tidurlah! Ini sudah malam," kata Alina dengan sedikit tegas. Ia tak mau dibantah lagi. Pikirnya, kasihan Darmi kalau harus menunggu, karena Devan belum tentu kapan pulangnya.
Ah, mengingat Devan, Alina kembali resah. Ia takut ada hal buruk terjadi pada suaminya. Namun, Alina berusaha menyembunyikan keresahan itu, dari pada nanti Darmi tidak mau meninggalkannya, malah repot.
Karena sang nyonya sudah berulang kali memerintahnya pergi, Darmi tak sungkan lagi. Ia pun melenggangkan pergi menuju kamarnya yang ada di belakang. Sementara Alina, tetap berdiri termangu menunggu sang suami.
Sekitar dua puluh menit kemudian, barulah mobil Devan memasuki pintu gerbang rumahnya. Antara senang dan gelisah, Alina berlari keluar dan menyambut lelaki itu
"Sayang, maaf aku pulangnya telat banget. Tadi di kantor banyak masalah," ucap Devan begitu turun dari mobil dan mendapati wajah resah wanitanya.
"Ya udah masuk dulu aja! Nanti cerita sambil makan," jawab Alina.
Keduanya pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju meja makan. Selagi Devan masih melepas jas dan menggulung lengan kemeja dengan asal, Alina mengisi piring Devan dengan bermacam hidangan yang telah tersaji. Sudah dingin, tapi tak apa. Devan sendiri yang menolak ketika Alina akan memanasinya. Dia hanya minta dibuatkan secangkir kopi.
"Maaf ya aku nggak ngasih kabar kalau pulang telat, jadinya kamu nunggu sampai selarut ini," ujar Devan ketika sang istri sudah kembali duduk di hadapannya.
Alina tersenyum, "Aku nggak apa-apa menunggu. Cuma lain kali, jangan lupa kasih kabar ya. Aku khawatir kalau kayak tadi, Mas, takut ada apa-apa."
"Iya, Sayang, aku lupa tadi kalau baterainya udah habis. Nggak sempat nge-charger, pikiranku udah kalut banget."
Alina menarik napas panjang sembari menatap suaminya lekat-lekat. Lantas, ia utarakan peryataan 'kenapa' yang sejak tadi sudah mendesak di benak. Ya, dia sangat penasaran dengan masalah yang terjadi di kantor suaminya.
"Novan berkhianat," ucap Devan dengan pelan.
"Maksudnya?"
"Kamu masih ingat kan dengan proyek yang diberikan Pak Burhan minggu lalu? Kemarin dananya sudah dikirim ke kantor, tapi ... dibawa kabur sama Novan."
Penjelasan Devan membuat Alina kesulitan menelan ludah. Perusahaan konstruksi yang didirikan suaminya bukanlah perusahaan besar. Ibaratnya baru merintis.
Devan memang berjuang sendiri. Meski sang ayah memiliki perusahan ekspedisi yang cukup besar, namun Devan tak mau terlalu bergantung. Dulu dia hanya meminta sedikit modal.
"Terus ... gimana, Mas?" Suara Alina sedikit gemetaran.
Devan menggeleng, "Aku belum tahu, Sayang. Dalam perjanjian, proyek harus selesai selambat-lambatnya enam bulan ke depan. Meski sekarang aku sudah lapor polisi, tapi belum tahu kapan Novan akan tertangkap dan mengembalikan semua uangnya. Aku takut keburu habis tenggang waktunya."
Alina menggigit bibir kuat-kuat, "Apa kita jual toko aja, Mas?"
Devan kembali menggeleng, "Jangan, Sayang, itu peninggalan orang tuamu. Harus dikelola dan dikembangkan, jangan dijual. Nanti, kalau Novan belum juga ditangkap, lebih baik aku mencari pinjaman di bank."
"Mas, dana untuk proyekmu itu nggak sedikit. Kalau kita ambil di bank, berapa angsurannya? Nggak berat kah?" Alina kurang setuju dengan pendapat Devan.
Meski berat melepas toko baju warisan orang tuanya, tapi menurut Alina itu lebih baik daripada mencari pinjaman.
"Atau nanti aku minta bantuan Mama aja," ucap Devan beberapa saat kemudian.
"Sebanyak itu, apa nggak memberatkan Mama?" tanya Alina.
Devan terdiam. Dia pun agak ragu dengan itu.
"Sebelumnya kamu ada masalah kah dengan Novan, kenapa tiba-tiba dia berkhianat seperti ini? Dulu kalian teman baik, kan?" Alina bertanya lagi.
Namun, Devan masih diam. Dia tertegun dan malah mengingat kejadian tempo hari—sebuah hal yang menjadi penyebab kehancurannya saat ini. Kendati begitu, dia tak berani bercerita pada Alina.
Sementara itu, Alina menunggu jawaban suaminya dengan harap-harap cemas. Selain teman, Novan juga merupakan partner terbaik sejak perusahaan itu berdiri. Bahkan, dulu Novan juga ikut andil modal dalam perusahaan Devan. Tak heran jika selama ini sangat dipercaya.
Namun, kini dengan tiba-tiba berkhianat dan membawa kabur uang yang tidak sedikit. Alina yakin ada alasan besar di balik semua itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
ria
penasaran😁
2023-07-18
1
Rhina sri
alasan apa nova bawa kabur uang itu jd penasaran sm kelanjutanya
2023-06-05
1
annin
Kutunggu lanjutannya dengan pinisirin. Semangat Thor💪
2023-06-04
2