five teen

" Abang mana bi?" Jatnika sudah sadar sejak pukul 3 pagi tadi. Namun tidak menemukan keberadaan sang abangnya dari tadi.

Bi Rara yang ditanya hanya tersenyum, " Aden lagi pulang dulu, non. Lagi mandi sama ganti baju, bisa jadi Aden bawa baju ganti ke sini."

Jatnika mengerut heran, " kenapa harus bawa baju ganti segala, bi? Aku cuma kecapean doang, nanti siang juga pasti di bolehin pulang."

Dalam hati bi Rara sedih juga bingung. Bagaimana cara menjelaskan nya pada Jatnika tentang penyakit yang ia derita.

" Bi, aku laper." Keluh Jatnika memegangi perutnya yang keroncongan.

" Oh sebentar, bibi ke kantin rumah sakit dulu." Pamit Bi Rara di angguki Jatnika.

Tak lama setelah kepergian Bi Rara pintu kembali di buka membuat Jatnika bersemangat.

" Bang? Loh? Bang Reno?" Jatnika melunturkan senyumnya begitu mendapati Reno yang masuk, bukan Jenar.

Reno tersenyum canggung, " Sudah baikan?"

Tanyanya.

Jatnika mengangguk lesu, menghela nafas panjang. " Bang Jenar ke mana bang?" Tanya Jatnika.

Pertanyaan Jatnika mematik kerutan di dahi Reno. " Emang gak ada?"

Jatnika menggeleng pelan.

" Kata Bi Rara, abang pulang ganti baju. Tapi kok udah siang belum dateng juga." Keluhnya.

Reno menggaruk pipinya bingung, " ke mana tuh anak?" Batinnya. Seingatnya, saat Reno hendak pulang semalam, Jenar ada di ruangan menemani Jatnika.

" Gue telpon dulu." Pamitnya, namun ternyata ponselnya berdering menampilkan nama Jenar. Kebetulan, pikirnya.

Segera ia angkat panggilan tersebut. " Jen! Lo dimana?" Jatnika menatapnya dengan berbinar.

"..." Reno membelalak lebar, " A-apa? Apa lo bilang?"

"..."

Jatnika memperhatikan raut Reno yang nampak serius. Batinnya menjadi bertanya tanya apa yang terjadi pada abangnya.

Reno tiba tiba mengumpat, " Bangsat! Lo ada di kantor polisi mana? Gue kesana sekarang." Ucapnya berlalu dari ruangan Jatnika.

Namun Jatnika masih mendengar perkataan Reno. Gadis remaja itu termenung, " Kantor polisi?" Gumamnya pelan.

Pintu kembali di buka, namun Jatnika langsung memelas menatap sosok yang masuk kedalam.

" Ayah?"

...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...

Reno bergegas menuju kantor polisi ketika mendapatkan telpon dari Jenar bahwa dirinya ada di kantor polisi.

Pikirannya memikirkan hal buruk yang terjadi pada temannya itu. Reno benar benar khawatir, bahkan kecepatan motornya hampir mencapai angka 200 saking cepatnya.

Begitu sampai dia langsung masuk dan menanyakan pada petugas yang ada didepan.

Reno bisa melihat banyaknya orang yang berkumpul di sana. Tak sedikit anak muda sebaya dengan nya.

" Di mana tuh anak?" Gumamnya sambil mencari cari sosok Jenar.

Namun dia tidak menemukannya, Reno terus celingukan berharap melihat sosok temannya.

Kesal, Reno mengambil ponselnya dan segera menelpon nomor Jenar. Telinga Reno mendengar suara deringan khas temannya, dia mencari sumber suara.

" Ketemu lo." Maju beberapa langkah, Reno bisa melihat Jenar yang berjongkok sambil menyandarkan punggungnya pada dinding.

Tak mengindahkan raut kaget Jenar, tangannya segera menarik kerah baju milik Jenar dan segera melayangkan pukulan di rahang pria itu.

Reno di liputi rasa marah dan emosi, meski dirinya juga khawatir sedikit. Namun tetap saja pukulan itu tidak mengobati amarahnya.

" Lo punya otak ga sih?!" Sentak Reno menatap marah Jenar.

Jenar bangkit dengan sempoyongan, membuang muka ke samping dan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

Sejujurnya, Jenar masih merasa pusing akibat alkohol yang ia konsumsi semalam. Namun pukulan Reno sedikit menyadarkannya.

" Gue rasa gue kehilangan organ itu." Gumam Jenar terkekeh mengusap rahangnya yang terasa sakit.

Reno yang geram hanya bisa melampiaskannya pada dinding yang tidak bersalah.

" Anjing lo Jen! Di mana pikiran lo sih? Adik lo lagi sakit di rumah sakit, dan sekarang lo sok sok an bikin masalah gini?"

" Bangsat!" Tak puas, Reno terus mengeluarkan sumpah serapah nya pada Jenar. Belum lagi tangannya yang terus menerus memukul dinding. Tidak terlalu keras sampai retak.

Jenar memandang kosong kedepan, tanpa mengindahkan Reno yang berkicau di sampingnya.

" Yang di sana! Tolong jangan berisik." Tegur salah satu petugas pada mereka berdua, lebih tepatnya pada Reno.

Reno menghentikan aksi nya, mengeluarkan hembusan nafas panjang menatap Jenar dengan sendu.

" Plis Jen. Lo kalo mau bikin ulah, pikirin juga kesehatan lo. Seenggaknya lo jangan mabuk," Lirih Reno terdengar seperti bisikan.

Reno menatap Jenar yang bergeming, " Gue gak mau tau, lo harus jelasin semua kronologi nya sama gue."

Lama mereka menunggu, akhirnya giliran Jenar yang melakukan pemeriksaan sesuai prosedur.

Matahari sudah berada di atas kepala, baru keduanya di perbolehkan pulang. Selama itu, mereka hanya diam. Jenar belum menceritakan apapun pada Reno.

Lain dengan Reno yang menunggu Jenar membuka mulutnya. Mereka pulang dengan motor masing masing. Dengan posisi Reno mengikuti Jenar dari belakang.

Mereka sampai di rumah sakit, tanpa berlama lama masuk ke dalam dan menuju ruangan di mana Jatnika di rawat.

Namun begitu Jenar membuka pintu ruangan, yang ia lihat ranjangnya kosong. Dia lantas masuk ke dalam untuk memastikan.

" Ren?" Panggilnya.

" Kenapa?" Reno muncul menatap Jenar dengan tanda tanya. Namun dia juga bertanya-tanya ketika Jatnika tidak ada.

" Tunggu sebentar! Gue telpon mang Jamal dulu." Katanya seraya keluar.

Jenar terdiam dan duduk di kursi. Dia mengusap wajahnya kasar dan menarik rambutnya frustasi.

Kehidupannya begitu kacau akhir akhir ini. Jenar tidak bisa fokus sama sekali. Rasanya kepala Jenar bisa meledak kapan saja.

" Jen!" Reno masuk dengan tergesa. Jenar langsung bangkit menatap pria itu penasaran.

" Tadi pagi bokap lo dateng dan bawa adik lo pergi ke rumah nya." Jelas Reno dengan raut yang khawatir. Jelas khawatir, dia takut akan respon Jenar yang berlebihan.

" Bajingan itu!" Mata Jenar menajam merasakan emosi yang hampir meluap. Dengan sekali hentakan dia mendorong Reno karena menghalangi nya keluar.

" Jen! Tunggu dulu!" Reno menyusul dengan tergesa. Dia menekan rasa sakit pada lengannya yang menabrak pintu. Jenar dengan amarahnya itu bisa menghabisi seseorang dalam sekejap.

Bahaya jika terjadi sesuatu padanya.

Di sisi lain, Jatnika menatap kamarnya yang berganti nuansa. Semuanya sangat berbeda dari yang ia lihat terakhir kali nya.

Tadi pagi, begitu Reno pergi dari ruangannya di rumah sakit, Haris -ayahnya- masuk dengan sebuket bunga.

Flashback on

" Sayang." Haris tersenyum lembut padanya. Jatnika tentu bingung, ada rasa tidak suka melihat keberadaan ayahnya, namun dia tidak sampai mengusirnya begitu saja.

" Duduk, yah." Ucapnya pelan.

Dia tidak mau repot repot menatap pria yang sudah mengecewakannya. Haris sendiri, sadar diri untuk tidak mengacaukan suasana hati putrinya yang berubah sejak kedatangan nya.

" Bagaimana keadaan kamu?" Tanyanya dalam riak kecanggungan antara ayah dan anak itu.

" Sudah lebih baik." Jawab Jatnika singkat.

Gadis itu merasa gugup, juga takut. Kejadian hari itu masih terbayang di benaknya. Itu yang membuat Jatnika tidak mau menatap wajah ayahnya.

" Bagus lah." Gumam Haris pelan. Pria itu dengan canggung menyimpan buket bunga di samping Jatnika.

Jatnika menipiskan bibirnya, mencoba menambahkan keberanian pada dirinya sendiri. " Apa ayah datang ke sini untuk menjemput lagi? Kalo iya, aku gak mau." Ujarnya setelah membulatkan keberanian.

Jatnika menatap wajah ayahnya yang nampak tertegun. Haris bergeming, menatap putrinya dengan sendu.

" Ayah-" pria itu menghembuskan nafas, ketika tatapan putrinya tertuju padanya.

" Ayah minta maaf. Selama ini ayah tidak ada di samping kamu, sekalipun ayah ada. Ayah malah memperburuk keadaan. Ayah tau kamu pasti benci ayah." Ucap Haris tersenyum miris.

Jatnika menundukkan kepalanya menahan air mata yang ingin mengalir, " Ayah tidak perlu minta maaf, cukup biarkan aku tinggal berdua sama abang. Itu cukup buat aku," katanya pelan.

Haris menampilkan seulas senyum, " Kamu mirip sekali dengan ibumu."

Kata kata yang harus ucapan sama sekali diluar pemikiran Jatnika. Gadis itu mendongak menatap ayahnya yang termenung namun ada senyum pedih di wajahnya.

" Kamu mau denger sebuah cerita?" Tanya Haris terkekeh. Matanya memandang jendela dengan senyum tipis di wajahnya.

" Dulu ada tiga sahabat yang selalu bersama sejak zaman sekolah. Dua perempuan dan satu laki laki, mereka selalu bersama kemana mana, satu kelas sejak masa SMP."

Tak menunggu jawaban Jatnika, Haris langsung bercerita padanya.

" Tapi ternyata kedua perempuan itu sama sama menyukai sahabat mereka. Tapi mereka tidak saling mengetahui hal itu, sampai si pria menyatakan isi hatinya jika dia suka pada salah satu dari mereka."

" Perempuan itu sangat senang, ketika tau bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi hari itu, dia tau kalau teman perempuan nya juga sama sama menyukai sahabat mereka." Haris menatap jatnika yang mendengarkan dengan fokus.

" Karena merasa bersalah, dia langsung menolak cinta pria itu dan membiarkan kedua temannya itu. Kemudian pergi jauh tanpa memberitahu kedua temannya."

" Kedua temannya sangat sedih akan kepergian nya. Terlebih pria itu, sangat mencintai perempuan itu. Hingga akhirnya setelah dewasa, mereka berdua memutuskan menikah." Haris menjeda sebentar, hatinya terasa berat menceritakan semua itu.

" Pernikahannya berjalan lancar, mereka memiliki satu orang putri dan satu orang putra. Sampai akhirnya-"

" Perempuan itu kembali datang pada sang pria dan meminta bantuan." Ujar Harus menghela nafas panjang.

" Perempuan itu memiliki suami yang selalu melakukan kekerasan padanya. Beruntungnya dia meminta tolong pada pria itu, karena jika tidak, anak yang di kandungannya tidak selamat." Jatnika tiba tiba merasa tertarik dengan cerita ayahnya.

" Sejak hari itu, pria itu selalu abai pada keluarganya sendiri dan sibuk mengurus perempuan yang dulunya ia cintai."

" Kamu tahu?" Haris menggenggam erat tangan Jatnika. " Perempuan itu, sakit parah. Sangat parah hingga bisa mengancam nyawanya. Karena itu, pria itu benar benar harus menjaga perempuan itu. Sampai mengabaikan istri dan anaknya sendiri."

" Sampai pada akhirnya, perempuan itu pergi meninggalkan anaknya yang berusia dua tahun pada pria itu." Haris menyeka air yang hendak mengalir.

" Sayang, kamu tahu?" Tanya Haris mengeratkan genggaman nya pada tangan Jatnika. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

" Anak kecil yang berusia dua tahun itu-"

" Kamu."

Jatnika terpaku, menatap ayahnya yang tersenyum tak berdaya.

" Maaf... Tapi itu kenyataan yang harus kamu ketahui." Haris langsung menarik tubuhnya ke dalam dekapannya.

Jatnika masih diam tanpa membalas ataupun menolak. Gadis itu masih shock dengan kenyataan yang baru ia ketahui.

" Jadi aku bukan anak ayah?" Bisik Jatnika dengan suara bergetar. Air matanya luruh seketika, membuat Haris mengeratkan pelukannya.

" Maaf.."

...-Bersambung-...

...Guys ada yang nungguin ga? ...

...Fyi, ni cerita bakal tamat di chapter 20 wkwk...

...Kira kira happy end atau sad end? ...

Terpopuler

Comments

Tahubulat8

Tahubulat8

next di tunggu thorr

2023-06-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!