thirteen

Tak selang beberapa waktu, ayah dan ibu Reno datang bersamaan dengan Bi Rara juga mang Jamal. Mereka mendapat informasi soal Jatnika yang di bawa ke rumah sakit dari orang tua Reno karena tak sengaja bertemu.

" Gimana keadaan Jatnika?"

Jenar hanya mengangguk saja, tidak berkata lebih. Menatap mang Jamal dan Bi Rara secara bergantian.

" Mang, tolong jagain Jatnika dulu, aku mau pergi dulu. Ada urusan sebentar," katanya. Bi Rara sempat ingin menahannya, namun sang suami menggelengkan kepalanya.

Bi Rara menghela nafas, menganggukkan kepalanya.

" Hati hati ya." Jenar mengangguk sebagai jawaban. Menatap kedua orang tua Reno dia segera berpamitan dan pergi dari sana meninggalkan mereka.

" Apa gak apa apa Jenar pergi?" Tanya Bi Rara cemas.

" Mas harap tuan muda tidak kenapa kenapa. Mau bagaimana lagi, kita gak punya kuasa untuk itu." Ujar mang Jamal.

Pak Theo menepuk pundaknya merasa prihatin. " Tidak apa apa mang."

" Bagaimana kalau kita liat nak Jatnika?" Tanya Rain mencoba mengalihkan pembicaraan. Suasana sedikit membuatnya tidak nyaman.

" Ah, iya. Ayo kita lihat." Mereka pun segera masuk satu per satu untuk melihat keadaan Jatnika.

Lain dengan sosok Jenar yang baru saja tiba di mansion Wijaya. Dia membuat kerusuhan di gerbang dengan menekan klakson.

Pak satpam segera membuka gerbang mempersilahkan motor miliknya masuk.

" Dia sudah pulang?" Tanyanya pada mang Jono.

Yang di tanyapun merasa gugup. Lantaran aura Jenar nampak tidak baik. " Anu- tuan besar belum pulang den."

Tanpa kata Jenar turun dari motornya, berjalan masuk kedalam rumah yang nampak sepi itu. Begitu membuka pintu, suasananya asing.

Jenar mengepalkan tangannya erat, ada amarah, sedih dan kecewa melingkupi hatinya.

Dia marah pada ayahnya, karenanya Jatnika sekarang terbaring di rumah sakit.

Lalu Jenar sedih, suasana ini membuatnya mengingat sosok lain. Dan kecewa karena dirinya tak bisa mempertahankan sesuatu itu.

Kakinya melangkah menaiki tangga menuju lantai atas. Kepala pelayan yang melihatnya hendak menyapa, namun Jenar terlihat buru buru membuat nya mengekori.

Jenar sampai di depan sebuah ruangan. Tanpa aba aba menendang nya kuat, hingga pintu tersebut langsung terbuka.

Kepala pelayan memekik kaget. Dia menjerit memanggil tuan mudanya yang sudah lama tidak ia lihat. Awalnya dia senang, namun melihat apa yang tuan mudanya lakukan, kepala pelayan merasa takut.

" Tuan muda!"

Brakk

Jenar memasuki ruang kerja ayahnya. Mengacaukan apa yang ada di dalamnya. Seluruhnya ia obrak abrik, hingga tak berantakan.

Pemuda itu tak segan memecahkan kaca lemari untuk menyimpan berkas. Membiarkan tangannya terluka mengalirkan darah segar.

Nafasnya memburu, menatap sosok lain di sana yang meringkuk ketakutan.

" Ada apa ini?"

Jenar menarik sudut bibirnya, menatap sinis pria yang berdiri di depan pintu menatap ruang kerjanya yang berantakan.

" Puas kamu bikin keributan di rumah saya?" Ketus Haris menatap tajam Jenar.

Yang di tatap hanya terkekeh, dia membungkukkan badannya meraih sesuatu.

" Belum, ada yang ingin gue lakukan." Kata Jenar dan mengangkat satu tangannya ke belakang.

Srett

Dalam satu bantingan pecahan beling itu melayang menuju Haris sang ayah. Patuh baya itu terkejut, beruntung dia punya insting yang kuat hingga repleks menghindar.

Jika terlambat sedetik saja, kepalanya sudah tertancap beling itu.

" Kamu sudah gila?!" Bentak Haris. Dia membuka jasnya dan melemparnya sembarang.

" Bukannya sejak dulu gue udah gila? Lo mau liat gue gila lebih dari ini?" Jawab Jenar santai.

Haris segera memberikan bogeman mentah pada wajah pemuda itu. " Anak sialan!"

Tidak hanya satu, haris memberikan tiga bogeman di wajah Jenar. Begitu mundur, Jenar tak di sangka sangka mendorong tubuhnya hingga terjerembab kebelakang.

Jenar menindihnya, lalu tanpa aba aba membabi buta melayangkan pukulan pada pria paruh baya itu.

" Ini untuk ibu." Amarah Jenar sudah di batas yang hampir meledak seketika itu.

Dia langsung mengerahkan seluruh tenaga nya. " Ini untuk kak Jesi."

" Ini untuk Tante Dara."

Bugh

Melihat Haris terkapar tak bisa membalasnya, Jenar menghentikan aksinya. " Dan yang terakhir untuk Jatnika."

Jenar bangkit, menatap Haris yang menatapnya sayu. Ada rasa puas melihat wajah yang selama ini angkuh kini tidak berdaya karena ulahnya.

Pria itu meludah sembarangan, menatap penuh Haris. " Jika saja-" Jenar mengambil nafas pelan.

" Jatnika tidak bangun besok. Gue pastiin lo habis di tangan gue tuan Wijaya." Ancamnya tidak main main.

Setelah mengucapkan itu, Jenar meninggalkan tempat itu. Haris di bantu kepala pelayan menuju kamarnya dan mengobati lukanya.

Haris hanya diam saja, termenung memikirkan sesuatu.

" Tuan, saya sudah menyiapkan air untuk mandi."

Haris menatap datar kepala pelayan. Tangannya segera mengibas, " pergilah, cari tahu apa yang terjadi pada Jatnika." Perintah nya.

" Baik tuan." Kepergian pelayan, membuat lamunan Haris kembali tercipta.

" Sebenarnya apa yang terjadi sampai anak itu begitu marah?" Gumamnya.

...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...

" Multiple Sclerosis?" Jenar tertegun menatap dokter di hadapannya. " Dokter bohong kan?"

Mang Jamal menggenggam erat bahunya mencoba agar menenangkan Jenar.

" Itu sejenis penyakit apa dok?" Tanya mang Jamal memastikan.

" multiple sclerosis itu ketika sistem kekebalan tubuh menyerang lapisan lemak yang melindungi serabut saraf. Hal ini menyebabkan gangguan komunikasi antara otak dan seluruh tubuh." Jelas sang dokter.

Dokter itu menghela nafas, " Sampai sekarang, masih belum diketahui penyebab pasti dari multiple sclerosis, tetapi diduga penyebabnya adalah autoimun, yaitu ketika sistem kekebalan tubuh keliru menyerang jaringan tubuh sendiri."

Mendengar itu Jenar mengepal kuat. Apalagi ketika kalimat selanjutnya dari sang dokter.

" Jika tidak segera ditangani, multiple sclerosis dapat menyebabkan penurunan atau kerusakan saraf permanen."

" Saya mohon dok, tolong lakukan apapun untuk adik saya. Saya mohon!" Pinta Jenar dengan suara parau.

" Saya akan melakukan semaksimal mungkin, akan tetapi pasien masih belum sadar. Saya harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan gejala yang di alami pasien." Kata dokter.

Jenar menggeram tertahan, mengacakkan rambutnya dan keluar dari ruang tersebut dengan raut frustasi.

Mang Jamal menatapnya sendu. " Terima kasih dokter, saya pamit dulu."

" Iya silahkan."

Mang Jamal menyusul Jenar yang terduduk di depan ruangan Jatnika. Pria paruh baya itu duduk di sampingnya, menatap tangan kiri Jenar yang terbalut kain kasa.

Dia sudah menebak, namun tidak bisa berkomentar apapun. Disini mang Jamal tidak memiliki hak.

" Aden yang sabar, non pasti baik baik aja." Hibur mang Jamal. Jenar hanya menatap kosong kedepan.

" Dia gak mau sadar mang." Lirihnya. Mang Jamal menepuk punggungnya, " Anggap saja non sedang lelah, jadi ingin beristirahat sebentar. Aden tau kan non sedang lelah?"

Jenar tidak menjawabnya. Mang Jamal hanya bisa menghela nafas. Paruh baya itu menyadari keberadaan Reno yang ada di hadapannya.

Mang Jamal mendekat pada Reno, " mamang andelin kamu, Ren." Bisiknya sambil menepuk bahunya.

Reno mengangguk, menatap Jenar yang masih setia dalam lamunannya. Dia berdecak kesal, tanpa kata berjalan ke arah Jenar dan menendang tulang kering pemuda itu.

Jenar meringis, namun tidak mengatakan apa apa. Dirinya sedang tidak ingin meladeni temannya.

" Ikut gue." Titah Reno melangkah pergi. Namun Jenar tidak beranjak sama sekali, membuatnya mendengus.

Pria dengan gigi kelinci itu membalikan tubuhnya menatap sang teman dengan tajam.

" Jen." Tekan nya.

" Ck, iya iya. "

Terpaksa Jenar mengikuti langkah Reno yang membawanya entah kemana. Namun begitu menaiki tangga, dia langsung tahu tujuan temannya itu.

Mereka sampai di atap rumah sakit. Menatap bangunan tinggi lainnya. Dan duduk di tepian.

Reno merogoh sakunya dan melemparkan sebungkus rokok pada Jenar. Dengan sigap Jenar menangkapnya. Namun dia memilih menganggurkannya.

Melihat itu Reno menaikkan alisnya, " kenapa? Lo butuh pelampiasan sekarang." Herannya.

Jenar meredupkan pandangannya. Hati dan pikirannya sangat kacau saat ini. Dan ia yakin rokok tidak bisa meredakannya.

" Gue butuh lebih dari itu." Lirihnya. Reno melotot mendengarnya. " Jen! Lo jangan coba coba."

Jenar menjawabnya dengan senyuman tipis.

" Gue masih gak nyangka Ren. Dia bisa nyembunyiin rasa sakit itu selama ini." Katanya seraya menatap gamang ke depan.

" Gue bodoh banget ya?" Reno menggelengkan kepalanya begitu pertanyaan itu lolos dari mulut Jenar.

" Iya lo bodoh banget. Lo pikir dengan lo tau itu mengubah sesuatu?" Sinis Reno. Jenar menghela nafas berat.

Entah apa yang Jatnika rasakan selama ini, Jenar tak yakin. Hanya saja, dia sangat kecewa. Kenapa Jatnika tidak membagi rasa sakit itu dengannya?

Itu yang lebih membuatnya lebih terpukul.

" Bang Raken udah berangkat?" Tanya Jenar mengalihkan pembicaraan. Reno mengangguk, menatap jam tangan nya.

" Sekitar satu jam yang lalu. Dia sebenarnya ingin ke sini jenguk lo tapi gak sempat." Tutur Reno. Jenar mengangguk paham.

Hening selama beberapa saat, baik Reno maupun Jenar tidak ada yang ingin membuka pembicaraan.

Helaan nafas Reno terdengar lelah, pria itu melayangkan senggolan pada lengan Jenar.

" Udah! Lo jangan terlalu banyak pikiran. Senin kita ujian. Lo gak mungkin gak lulus kan?"

Jenar mengulum senyumnya, " iya ya." Jawabnya.

" Yaudah, kalo lo gak mau nyebat mending kita kebawah liat keadaan adek lo."

...-Bersambung-...

Terpopuler

Comments

Tahubulat8

Tahubulat8

SEMANGAT

2023-06-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!