four

Untuk sementara waktu, Jatnika dan Jenar tinggal di rumah Reno selagi rumahnya masih di proses oleh aparat kepolisian. Mang Jamal dan Bi Rara juga sudah kembali sejak tadi pagi dan tengah melakukan investigasi bersama polisi.

Dan Jatnika juga di mintai keterangan tentang kronologi kejadian tersebut oleh salah seorang polisi. Dengan di temani abangnya, Jatnika menjelaskan semuanya dengan rinci.

" Dek?" Jenar masuk ke kamar tamu di rumah Reno dengan sekantong kresek hitam makanan di jinjing di tangannya.

Jenar baru sampai setelah membeli makanan kesukaan adiknya, kue pukis coklat karena tahu adiknya tidak makan apa apa sejak pagi.

Jatnika termenung tidak menyadari kedatangan Jenar, abangnya. Pemuda itu menatap adiknya dengan sayu.

Tangannya terulur memegang pundak adiknya, Jenar duduk disamping adiknya dan menyerahkan kresek pada adiknya.

Gadis itu tersentak kaget, " Abang? Sejak kapan masuk?"

" Sejak kapan ya, mungkin sejak kamu ngelamun."

Jatnika sedikit kikuk, menatap abangnya. Kemudian beralih pada kresek di hadapannya.

" Ini apa? Kue pukis? Kapan abang beli?" Tanya Jatnika.

Jenar menatap adiknya gemas, " Udah makan aja. Yang penting di belinya bukan hasil ngepet." Selorohnya.

Jatnika mendelik, tak urung membuka kresek dan menatap kue pukis di hadapannya. Sejenak dia masih diam, membuat Jenar heran.

" Kenapa di liat doang? Kue pukis ya gabakal habis kalo di liatin gitu. Ayo di makan, dek!" Titah Jenar mengelus kepala adiknya.

Tangan Jatnika terulur mengambil satu kue dan melahapnya. Satu suap, dua suap hingga yang terakhir, Jatnika tidak bisa merasakan apapun. Rasanya hambar seperti tidak memiliki rasa apapun.

Selalu seperti ini.

" Enak?" Jenar memastikan, setelah didapatnya anggukan dari Jatnika pria itu bangkit.

" Abang harus keluar dulu ya. Tidurnya jangan terlalu malam." Perhatian yang Jenar berikan tidaklah cukup untuk Jatnika.

Yang Jatnika inginkan hanyalah kehadiran sosok ayah, ibu dan keharmonisan sekeluarga. Gadis itu hanya ingin hal itu, tapi tentang abang nya yang tiba tiba membawanya pergi dari rumah beserta mang Jamal dan Bi Rara. Jatnika tidak pernah di beritahu apa alasannya.

Selama ini dia selalu diam akan masalah orang dewasa, tapi sekarang juga Jatnika sudah semakin besar. Setidaknya biarkan dia bertemu dengan ayah dan ibunya.

Jatnika menatap kepergian abang nya dengan hampa, meletakan kue pukis itu di nakas dan memilih membaringkan tubuhnya yang terasa lelah.

Sementara itu, Jenar keluar menemui paman-bibinya yang datang ke rumah pak Theo dengan sengaja bertujuan untuk menemuinya.

" Ika gak kenapa-kenapa?" Tanya bi Rara cemas. Jenar mengangguk, " Dia ada di dalam kamar tamu, lagi makan kue pukis soalnya sejak pagi gak mau makan."

Mendengar penjelasan Jenar, bi Rara memilih untuk menghampiri gadis remaja itu membiarkan kedua pria itu untuk bicara.

" Pelakunya sudah ditangkap kan, mang?" Tanya Jenar memulai pembicaraan. Mang Jamal mengangguk pasti.

" Mereka lagi di introgasi sama polisi di kantor polisi. Sekarang kamu gak usah khawatir," Ucap Mang Jamal.

" Tapi, ada yang mau mamang bilang sama aden." Sambungnya.

Jenar menaikkan alisnya, " Mang! Kan udah aku bilang, panggil aku Jenar kayak biasa." Gerutunya. Mang Jamal terkekeh.

Pria itu menepuk pundak Jenar membuat kebingungan remaja itu semakin bertambah.

" Emangnya apa yang mau dibicarain?" Tanya Jenar penasaran. Mang Jamal menghela, sebelum akhirnya menjelaskan maksudnya.

" Tuan meminta anda untuk pulang sama non. Semalam beliau meminta mamang untuk bujuk aden biar pulang kerumah-"

Mang Jamal menatap Jenar yang menatapnya dingin, pria paruh baya itu menghela kembali, " Sekarang, keadaannya tambah buruk karena rumah mamang kemalingan. Tuan makin gencar meminta mamang untuk bujuk kalian pulang ke rumah, meski mamang tau apa yang akan aden lakukan."

Jenar menepis tangan mang Jamal yang bertengger di pundaknya. " Mang Jamal sudah ngerti'kan? Aku gaakan pulang ke rumah itu sampai kapanpun." Ujarnya berjalan menuju pintu.

Tepat di pintu Jenar menghentikan langkahnya, memutar tumitnya menghadap mang Jamal yang memandangnya dalam diam.

" Begitu juga Jatnika. Dia gaakan pulang bersamaku, meski kami harus angkat kaki dari rumah mang Jamal sekali pun."

Itulah sepenggal yang ia tinggalkan sebelum dirinya benar benar pergi dari rumah Reno temannya. Bahkan Reno yang baru masuk dan menyapanya ia hiraukan.

" Jen, liat gue-" Jenar melewati Reno begitu saja. Pria pemilik gigi kelinci itu menatap bingung temannya, lalu berjalan ke dalam rumah menemukan mang Jamal yang termenung.

" Oh, mang. Jenarnya kenapa?" tanya Reno kepo. Mang Jamal hanya tersenyum lalu pergi keluar meninggalkan nya.

Reno menggaruk tengkuknya bingung, " Apa yang gue lewatin?" Monolognya.

...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...

Jenar menatap orang orang yang berseliweran di hadapannya. Namun jika di telisik lebih lanjut, matanya hanya tertuju pada seseorang yang duduk di kursi taman rumah sakit.

Orang itu di temani oleh seorang perawat yang nampaknya mengajak orang tersebut berbicara. Netra hitamnya menyorot sedih, mengepalkan tangan menutup mukanya menggunakan topi.

Pemuda itu sudah berdiri sejak satu jam yang lalu hanya untuk menatap seseorang itu. Tapi tidak ada niatan sama sekali untuk Jenar menghampirinya.

Bagi Jenar, sudah cukup dengan memperhatikannya dari jarak jauh dibandingkan harus menemuinya dan membuat orang itu semakin membencinya.

Jenar tidak ingin hal buruk seperti dulu terulang kembali.

Rasanya sakit, ketika tatapan benci itu menyorot ditujukan untuk nya.

" Mas? Jenguk lagi ya?"

Jenar menatap sosok perawat yang biasa melewati dirinya yang berdiam diri di dekat taman rumah sakit tersebut.

Jenar mengangguk, mengambil sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada perawat perempuan itu.

" Saya minta tolong lagi ya, titip coklat ini buat ibu saya." Ujarnya.

Perawat itu menerimanya dengan senang hati, " Baik mas, seperti biasa ya. Kalau gitu saya duluan ya mas," Ujarnya sambil berlalu.

Jenar menghela nafas, menatap sosok perempuan yang tertawa riang entah membicarakan apa.

" Ibu... Bisakah kamu juga tertawa seperti itu jika bersamaku?" Gumamnya lirih.

Disisi lain, Jatnika kedatangan sosok yang tak di sangka sangka olehnya. Ayahnya datang untuk menjemput dirinya pulang.

Gadis 15 tahun itu tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Apalagi senyuman hangat yang Haris berikan dan pelukan yang ia rasakan setelah sekian lama tidak ia rasakan kembali.

" Pulang ya, sayang. Ayah kangen sama kamu," Ujar Haris di angguki oleh Jatnika. Mereka duduk di rumah tengah rumah pak Theo bersama sang tuan rumah.

Jatnika duduk di samping Tante Rain dan Reno yang sedari tadi dia menatap ayahnya dengan tatapan yang tidak mengenakan.

" Tapi, bang Jenar masih diluar." Jatnika memberitahu, tapi ekspresi wajah Haris langsung keruh.

" Kita pulang sekarang aja, Oma nunggu kamu di rumah. Dia baru saja pulang dari Swiss dan banyak bawa oleh oleh buat kamu." Bujuk Haris. Reno mencibir dalam hati mendengarnya.

Pria itu mendekati ke arah Jatnika dns membisikkan sesuatu padanya. " Jenar dimana?"

Jatnika balas menggeleng karna dirinya juga tidak mengetahui keberadaan abang nya itu.

" Gatau bang, tadi pergi sehabis ngasih kue pukis. Sampai saat ini belum pulang pulang." Jawabnya balas berbisik.

Reno melamun, " Kemana tuh anak perginya? Di tongkrongan juga gaada." Gumamnya dalam hati.

" Pak Haris, kamu tidak perlu terburu buru. Jatnika pasti masih kaget karna insiden tadi malam, sebaiknya beri dia waktu sebentar." Ujar Pak Theo.

Haris berdecak, " Justru itu, saya tidak mau anak saya trauma dan akan membawanya pulang. Karna ini bukan tempat yang baik untuknya." Balasnya dengan sedikit ketus.

Reno menggeram, kesal dengan ayah temannya itu. Dia memilih bangkit dan pamit kekamar.

" Kamu gak perlu siapin apa apa. Kita langsung pulang saja, kasian Oma kamu di rumah sendirian. Abang kamu itu nanti akan susul kamu pulang."

Haris mengucapkannya dengan sedikit memaksa, Jatnika jadi berpikir. Rain tak habis pikir dengan pria paruh baya di depannya.

" Yaudah, Jatnika mau telpon abang dulu." Putusnya.

Belum dia menekan nomor abang nya, pintu di buka dengan tergesa. Nampak Jenar dengan penampilan yang acak-acakan.

" Gaada siapapun yang akan pergi kecuali tamu yang tidak di undang." Peringat Jenar menatap tajam Haris yang bangkit.

Jenar berjalan mendekat ke arah adiknya dengan aura yang tidak mengenakan. Pria itu menarik adiknya menuju kamar tamu.

" Abang, ayah mau jemput kita." Jatnika tentunya berontak.

Jenar melepaskan cekalanya, memegangi kedua bahu adiknya dan menatapnya dengan serius.

" Dengerin abang. Gak ada siapapun yang mau pulang, rumah kita disini, rumah mang Jamal. Entah itu kamu maupun abang." Katanya menatap mata Jatnika yang terkaca.

" Jenar!" Sentak Haris menarik tubuhnya. Pria itu melayangkan tamparan di wajahnya, tak main main, itu mengakibatkan bibirnya terluka.

Namun Jenar tidak peduli, menarik adiknya yang terkejut bersembunyi di balik tubuhnya.

" Dengar tuan Haris Wijaya! Lo ga bisa bertindak sejauh ini atau gue sendiri yang hancurin lo." Tatapan benci menyorot penuh pada pria di depannya.

Rasa benci dan emosi menumpuk di dadanya, rasanya Jenar ingin membanting wajah yang sayangnya mirip sekali dengannya.

" Baik! Kalau itu mau kamu. Jangan gunakan fasilitas apapun milik saya. Saya sudah tidak mau membiayai anak durhaka seperti kamu." Sentak Haris dingin. Matanya menatap anak perempuannya yang berada di belakang putranya.

" Jatnika? Kamu yakin mau tinggal sama abang kamu ini?' tanya Haris menuntut. Yang di tanya pun kebingungan, dia menatap seluruh wajah yang ada disini.

" Dek..." Jenar menatapnya dengan sayu.

Jatnika beralih menatap ayahnya yang tersenyum, dia menipiskan bibirnya merasakan keraguan dalam hatinya.

" Bang, maaf.." Jatnika melangkah menuju ayahnya, Haris tersenyum penuh kemenangan.

Gadis itu menatap abangnya yang terdiam memandangnya penuh kecewa. Menelan salivanya, gadis itu membuka suara.

" Selama ini, aku selalu bertanya tanya kenapa abang selalu larang aku. Dulu aku bisa menahannya, tapi sekarang. Aku tidak bisa lagi bang, aku butuh ayah. Bukan hanya abang, aku juga butuh ayah."

Penjelasan adiknya membuat hatinya teriris, dadanya terasa sesak. Jenar tidak mampu berkata-kata, rasanya sangat menyesakan.

Jadi, usahanya selama ini sia sia?

Dia berusaha keras mencoba menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi sang adik. Tapi nyatanya itu tidak cukup.

Jenar tersenyum miris.

Tenggorokannya tercekat. " Maaf.." remaja itu menatap sang adik yang menatapnya tidak enak. Kemudian ayah nya yang tersenyum penuh kemenangan.

Jenar berbalik menghembuskan nafas perlahan, mengambil langkah pelan dan meninggalkan Jatnika yang terasa hampa memandang kepergian abangnya.

" Ayo sayang.." ajak Haris merangkulnya.

Reno mengepalkan tangannya, menatap drama keluarga didepannya. Dalam hati, dia memaki gadis perempuan itu.

Pak Theo dan Bu Rain tidak berani untuk ikut campur, mereka hanya bisa bersimpati pada teman putranya.

Jenar yang malang.

...-Bersambung-...

Terpopuler

Comments

Tahubulat8

Tahubulat8

Kasian

2023-05-28

0

Tahubulat8

Tahubulat8

hajar aja jen

2023-05-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!