Kebiasaan Jatnika yaitu selalu merasa haus ketika malam hari. Ketika memeriksa air minum di gelas ternyata sudah kosong. Dengan lunglai, gadis itu terpaksa keluar dari kamarnya menuju dapur.
Setelah menghilangkan dahaganya, Jatnika kembali ke kamarnya. Sebelum itu dia sudah mengisi gelas dengan air yang penuh.
Melewati ruang tengah, Jatnika melihat bayangan seseorang di balik jendela. Karena lampu sengaja di matikan membuatnya bisa melihat bayangan seseorang tersebut dari luar jendela. Gadis itu sejenak terdiam, memicingkan matanya kembali memastikan apa yang dia lihat.
Namun melihat orang itu memaksa masuk lewat jendela, Jatnika langsung yakin dan segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Gadis itu menyimpan air minumnya dengan panik, tangannya pun ikut bergetar hebat.
" A-abang. Iya aku harus telpon Abang!" Jatnika mengambil ponselnya dan langsung menekan nomor abang nya.
Berdering, namun tidak diangkat sama sekali. Dan berulang kali, ia coba telpon tetap tidak di angkat. Lalu beralih pada yang lain, tapi tidak ada satupun yang mengangkat telepon nya.
Terdengar suara rusuh dari luar, Jatnika semakin panik dan cemas. Gadis itu menatap jendela kamarnya dengan lamat, dapatkah dia masuk kedalam sana?
Tapi bagaimana dengan rumahnya?
Jatnika sedikit takut bilamana mereka membawa senjata tajam. Dengan membulatkan tekad, gadis itu akhirnya memutuskan untuk berani.
" Keluar dari sini, cari bantuan dari orang lain udah itu selamatkan barang-barang yang ada di rumah." Jatnika mengulang kembali perkataannya hingga berkali-kali sambil menguatkan keberaniannya.
Sebelum keluar, dia menghalangi pintu kamarnya dengan kursi. Jatnika berjalan menuju jendela kamarnya, sebelum itu dia mengambil sesuatu untuk jaga jaga. Keputusannya,
Jatnika mengambil tongkat billiar milik kakaknya.
Membuka jendela dengan sangat perlahan, Jatnika mulai keluar dari kamarnya di mulai dari kakinya terlebih dahulu. Dengan hati hati, dia turun dari sana dan menutupnya perlahan. Gadis itu bersorak dalam hati, berbalik untuk berlari mencari bantuan.
Bukannya mendapatkan bantuan, Jatnika malah mendapatkan sumber masalahnya. Gadis itu terkejut melihat sosok lain di depannya.
" Bodoh! Harusnya aku tahu kalo yang maling ga sendirian." Makinya dalam hati.
" Mau kemana lo ha??" Pria dengan penutup wajahnya itu menghadang Jatnika.
Jatnika mundur ketakutan, dia memeluk tongkat billiar di dadanya. " Jangan takut Jatnika! Kata bang Jen kamu harus berani. Anggap aku itu Na Hee Do yang lawan preman itu." Ucapnya dalam hati.
Gadis itu berdiri dengan tegak, menghembuskan nafas perlahan-lahan dan mengambilnya dengan rakus.
" Ngapain lo hah?? Diem atau gue bun4h lo!" Ancam pria itu sedikit ketar ketir.
Jatnika mengambil posisi kuda kuda. " Bersedia." Gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan.
" Siap." Jatnika mengarahkan tongkat billiar itu kearah maling tersebut. Pria itu menatapnya kebingungan.
" Ya!" Teriaknya lalu mulai memukul pria itu, seluruh tenaganya ia keluarkan.
Dengan ingatannya tentang drakor kesukaannya, Jatnika terus memukul pria tersebut menggunakan tongkat billiar layaknya pemain anggar.
Pria itu mengaduh, memundurkan tubuhnya dan mencoba menghentikan pukulan yang dilayangkan Jatnika. Tepat begitu maling itu menangkap ujung tongkatnya, Jatnika menajamkan matanya.
" Dapet lo!" Seringai maling tersebut. Tanpa kata, Jatnika langsung menendang di sela kedua kaki pria itu.
" Arghhh!!!"
Pria itu terpaku, memegang masa depannya kemudian luruh ke bawah merasakan ngilu yang luar biasa itu. Jatnika yang mendapatkan kesempatan tidak menyia-nyiakan nya.
Gadis itu mengambil langkah cepat meninggalkan sampai rumahnya sebelum teman maling itu keluar dan menangkapnya.
Jatnika keluar dari pekarangan rumah milik pamannya dan berlari kearah pos ronda yang berjarak sekitar 100 meter. Dia terus berlari dengan sekuat tenaga, sambil sesekali menoleh kebelakang memang tidak ada yang mengikutinya.
" To-long! Pak! Ma-ling!" Teriaknya melihat kerumunan bapak bapak di pos ronda itu.
" Ada apa neng ika?" Tanya salah satu tetangganya. Jatnika ngos-ngosan mencoba bernafas dengan normal.
" Dirumah saya, ada maling pak. Saya kabur.. tadi mereka berdua, masuk kedalam rumah, saya keluar lewat jendela-" Jelasnya dengan cepat.
" Ada maling! Ayo kita kesana. Ambil kentongannya pak, lalu panggil pak RT!" Sebagian dari mereka dengan cepat bergerak menuju ke arah rumah Jatnika. Yang lainnya bergerak ke arah lain dengan segala keributannya.
Jatnika di bantu duduk oleh pak Theo, pria paruh baya itu memberinya segelas air putih. " Duduk yang tenang dulu ya. Biar itu, urusan bapak bapak disini." Ucapnya.
Jatnika mengangguk, " makasih om." Ucapnya lega.
" Kalo udah tenang, ikut bapak ke rumah aja yuk. Sama Tante Rain di rumah, rumah pak Jamal biar kami yang urus." Ujar pak Theo.
Jatnika setuju, selang beberapa menit dia di antar ke rumahnya pak Theo dan di sambut oleh Bu Rain. Mereka berdua adalah orang tuanya Reno.
" Yaampun Ika. Kamu pasti ketakutan, Alhamdulillah kamu tidak kenapa kenapa. Yuk ikut Tante masuk ke dalam," Ucap Tante Rain.
Pak Theo menatap istrinya, " Titip Ika dulu ya Bun, kasian dia sendirian di rumahnya pasti terkejut waktu kemalingan."
" Iya, ayah bantuin warga yang lain aja. Ika sama bunda di rumah."
" Yaudah ayah pergi dulu, assalamualaikum." Pamit Pak Theo. Selepas kepergian sang suami, Bu Rain masuk kedalam menatap Jatnika yang duduk di kursi tamu sambil melamun.
Bu Rain berjalan kedapur membuatkan teh hangat untuk Jatnika.
" Ika, minum dulu ini. Biar kamu lebih tenang." Ucapnya menyerahkan tehnya di depan Jatnika. Gadis remaja itu tersadar menatap Bu Rain dengan penuh terimakasih.
" Makasih Tante, maaf ngerepotin."
Bu Rain mengelus kepalanya dengan lembut, " Tidak apa apa, sekarang kamu istirahat aja dulu. Pasti kamu ketakutan tadi, kamu udah hebat bisa melarikan diri kayak gini." Ucapnya menenangkan.
Jatnika tersenyum miris, " Makasih Tante."
" Kamu bisa gunakan kamar itu untuk tidur, yuk ikut Tante." Ajaknya. Jatnika mengekori Bu Rain, begitu masuk ke kamar tamu, gadis itu bisa melihat kemewahan yang ada didalamnya.
" Maaf ya, kamar ini udah jarang di pake karna jarang di pake. Jadi sedikit berdebu," Jatnika menggeleng, " Gak apa apa Tan. Ini udah lebih dari cukup." Ucapnya merasa tidak enak.
Bu Rain mengusap pundaknya pelan, " Gak apa-apa, kamu pasti bisa. Kalau begitu Tante tinggal dulu ya."
Jatnika mengangguk, menatap kepergian Bu Rain yang menghilang di balik pintu. Gadis itu menghela nafas berat, membaring tubuhnya di kasur yang empuk itu dengan posisi tengkurap.
Dia memilih memeluk bantal dengan menenggelamkan wajahnya di sana. Jatnika merenung, lama kelamaan tubuh gadis itu bergetar kecil.
Menangis merasakan ketakutan yang luar biasa, dan menganggap semua yang baru saja dia alami adalah mimpi.
Mau setangguh apapun, Jatnika tetaplah remaja yang masih kecil. Dia tetap akan ketakutan dihadapkan dengan hal yang seperti ini.
Terlebih lagi, dia tidak memiliki siapapun termasuk Abangnya itu entah pergi kemana dan susah di hubungi. Abang yang katanya sayang kepadanya, hanyalah bualan semata.
Nyatanya, Jenar tidak ada saat adiknya membutuhkan sosoknya di samping sang adik.
Untuk kesekian kalinya. Jatnika di patahkan oleh rasa kepercayaan yang ia berikan secara cuma cuma pada orang itu.
Jatnika kecewa dengan Abangnya yang kini mungkin tengah menikmati malamnya sedangkan dirinya di landa ketakutan yang hebat.
...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...
Jatnika terganggu karna suara keras yang berasal dari luar. Tidak tahu kemana perginya Tante Rain, Jatnika terpaksa membuka matanya yang terasa susah akibat semalaman menangis.
Gadis itu berjalan membuka pintu, Jatnika melongo kaget menatap keberadaan Abangnya. " Dek..." Panggil Jenar lemah. Pria itu berkaca kaca menatapnya. Jatnika tiba tiba merasa malu dengan penampilannya yang baru bangun tidur.
Jatnika memilih diam, menatap dingin abangnya. Tangannya tergerak segera menutup pintu. Sebelum pintu tertutup, Jenar menahannya terlebih dahulu menggunakan tangannya.
" Dek. Maafin abang."
Suara Jenar bergetar. Pria itu tidak langsung membukanya namun menahannya tetap seperti itu. Tangannya terkepal kuat, Jatnika sedikit shock melihatnya.
" Ini salah abang."
" Seharusnya abang gak pergi, seharusnya abang temenin kamu di rumah. Seharusnya abang diem di rumah, abang.." Jenar menelan salivanya dengan susah, pria itu menanggahkan kepalanya berusaha menahan air matanya.
" Maaf."
Jatnika menahan air matanya, tak kuasa lagi, gadis itu berlari kearah Jenar dan menghamburkan pelukan yang erat.
" Abang jahat! Tinggal aku sendiri di rumah-" Jatnika memukul bidang dada Jenar yang keras itu. Namun Jenar tidak menghentikannya, pria itu mengeratkan pelukannya pada sang adik dengan rasa bersalah di dalam hatinya.
Jenar terus menggumamkan kata maaf berkali kali, membiarkan adiknya meluapkan semua yang di alaminya.
" Aku takut bang..." Jatnika terisak pelan. Jenar mengelus kepala adiknya yang tingginya hanya sebatas bahunya.
" Abang disini. Maaf, maafin abang." Jatnika melepaskan pelukannya, menatap Jenar yang ternyata sama sama mengeluarkan air matanya.
Jatnika mengusap sisa air mata di wajahnya, dengan sesegukan dia menatap Jenar kesal. " Kenapa Abang nangis??" Sebalnya.
Jenar terkekeh, mengusap pelan pipi adiknya menggunakan jari tangannya. " Karna adik abang lagi sedih, dia ketakutan. Abang juga jadi sedih liatnya." Kata Jenar dengan gummy smile nya.
Jenar memperhatikan setiap tubuh Jatnika dan memeriksanya. " Sini lihat! Kamu ga luka kan? Ada yang sakit? Sini bilang sama abang."
Kekhawatiran Jenar begitu terlihat, Jatnika mengulas senyumnya tanpa diketahui pria itu.
" Aku gak papa berkat tongkat billiar abang." Balasnya. Jenar lega mendengarnya, obrolan keduanya terhenti akibat kedatangan beberapa motor memasuki pekarangan rumah Reno.
Itu teman temannya yang menyusul.
" Ayang Ika! Kamu ga papa kan?" Teriakkan Kaidar yang pertama kali terdengar. Jatnika melemaskan bahunya menatap abang nya dengan melas.
" Abang bisa usir mereka?"
...-Bersambung-...
...Usir aja Jen, mereka mah pengganggu soalnya awokawok...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments