...“Apa anak orang kaya emang selalu seenaknya begini?! Kasian banget orangtua yang punya anak kayak kamu. Cape-cape di didik, tapi anaknya malah jadi parasit di keluarga sendiri!” – Sasha Rodrigoez...
...💨💨💨...
“Astaga! Austin!” seru Robert saat membuka pintu.
Pria tua bertubuh gempal itu melihat Austin yang tergeletak di depan pintu pagar dengan tubuh yang berdarah-darah. Seperti … habis dipukulin secara beramai-ramai. Ia langsung berlari meraih tubuh Austin yang sedang terkapar tak berdaya.
Wajah Robert begitu panik dan pucat pasi menatap Austin.
"Nak, bangun." Robert menepuk pipi Austin dengan pelan. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!"
"Shaaa!!! Telfon ambulance cepat!!!" perintah Robert pada anak gadisnya.
Sasha yang saat itu juga terkejut melihat peristiwa tersebut, ia kembali masuk ke dalam pagar menuju pos satpam. Pasalnya, ponselnya kala itu sedang di cas.
Brak!
Tiba-tiba saja sebuah motor melaju menabrak tubuh Robert yang tak ada sangkut paut sama sekali dengan geng motor Black Wolf.
Tanpa sadar, sesaat sebelum Robert tertabrak, ia memeluk tubuh Austin agar tubuh anak tersebut tak terluka lebih parah lagi.
"Ck! Dasar tua bangka! Satpam rendahan yang sok jadi jagoan buat anak majikannya!" umpat pria yang belum lama tadi menabrak Robert.
Broom... Broomm... Broommm...
Tak lama kemudian, beberapa motor melaju dan berhenti tepat di depan pintu pagar. Mereka berniat ingin menghabisi Austin, tapi Robert menghalangi dan mencoba menyelamatkan Austin yang ada dalam pelukannya.
"Sekalian aja habisi tua bangka yang udah bau tanah ini!" perintah pria yang menabrak Robert tadi kepada gerombolan motor yang baru saja tiba.
Mendengarkan perintah tersebut, sekitar sepuluh orang pria turun dari motor dan memukul tubuh Robert tanpa belas kasih. Tak hanya menendang, tubuh gempal pria tua itu juga di tendang berkali-kali. Bahkan diinjak-injak!
“Tolong! Tolong!” teriak Sasha.
Betapa terkejutnya Sasha saat ia kembali keluar setelah membuat panggilan menelefon ambulance. Matanya memanas dan darahnya mendidih melihat ayah yang ia cintai penuh luka dan mendadak sekarat akibat ulah pria binatang itu.
Meski begitu, Sasha yang saat itu seorang wanita dan hanya sendiri, ia bergidik ketakutan. Ia ingin berlari dan segera menolong ayahnya, namun ia sadar kekuatannya yang lemah tak mampu menolong ayahnya dari kebengisan anggota geng motor yang entah dari mana ia pun tak tahu.
"Cakep tuh," celetuk salah seorang pria. "Lumayan, buat dipake sampe bosen."
"Bajingan!" umpat Sasha kesal. "Pergi kalian! Kalau nggak aku teriak!"
Sesaat setelah Sasha mengatakan hal tersebut, tiba-tiba, beberapa satpam dari rumah mewah yang merupakan tetangga di sana pun keluar dan menghampiri insiden pemukulan membabi buta itu.
“Cabut!” teriak salah seorang dengan suara yang begitu lantang. Seluruh pria tadi langsung menaiki motor mereka dan bergegas pergi.
...💨💨💨...
Tit … Tit … Tit …
Bunyi elektrokardiogram atau biasanya dikenal dengan alat deteksi jantung, terdengar memenuhi ruangan yang kosong tersebut. Sasha yang sudah tujuh hari menangis tanpa henti itu, kini tak lagi mampu menangis karena stok airmatanya yang telah mengering.
“Ayah … ayo bangun,” tutur Sasha sambil memegang tangan Robert yang sudah tujuh hari koma akibat insiden mengenaskan malam itu.
Di ruangan ICU di salah satu rumah sakit umum di Jakarta tersebut, Sasha di datangi oleh seorang perawat.
“Maaf, Mba. Untuk pasien Robert Stockhorst harus dipindahkan ke ruang rawat inap. Tapi sebelum itu harus membayar biaya selama tujuh hari ini terlebih dahulu,” tutur perawat wanita tersebut.
Sasha langsung terbelalak kaget. Di tangannya saat ini tak ada sepeserpun uang. Bahkan, ia tak memiliki tabungan.
“Be-berapa … kira-kira, Sus?” tanya Sasha ragu-ragu.
“Mba bisa ke kasir dulu untuk mendapatkan rinciannya.”
...💨💨💨 ...
“Se-sebelas juta?!” seru Sasha dengan mata yang terbelalak.
Sasha menghadap ke arah petugas kasir di rumah sakit tersebut. Kemudian ia berkata dengan nada yang terkesan begitu memelas dan mengiba.
"Bu, tolong beri saya waktu. Saya bakalan cari uangnya dan jangan hentikan pengobatan pasien Robert Stockhorst, ya.”
Tak lama setelah itu, Sasha langsung keluar dari rumah sakit. Ia pulang ke rumah mewah di mana ia dibesarkan selama delapan belas tahun ini. Meskipun ia hanya tinggal di sebuah kamar pembantu di luar rumah, kamar yang yang lebih pantas disebut gudang, tetap saja ia memiliki kenangan masa kecil di sana.
Setibanya di rumah mewah tersebut, ia mencoba masuk ke dalam dan mencari keberadaan Nyonya pemilik rumah tersebut. Ia bermaksud ingin meminta gaji di awal untuk ayahnya, serta ia juga ingin meminta pinjaman untuk biaya rumah sakit.
Sasha melihat Austin yang saat itu sedang berada di dapur. Kedua matanya membulat.
"Ck! Udah sembuh?! Bajingan tengik yang menjadi penyebab Ayah koma sekarang!" umpat Sasha dalam hati.
"Haaa ... kalo nggak gara-gara mau nyariin orangtunya, aku nggak mau berurusan sama cowo dingin itu!" rutuknya lagi dalam hati.
“K-Kak … Austin,” Sasha yang semula menyumpahi Austin, mendadak suaranya menjadi lembut dan terbata-bata. Pasalnya, aura dari pria itu saja sudah mengerikan. Apalagi berususan langsung dengannya. “M-maaf, Bu Diana ada di rumah nggak, ya?”
Austin tak bergeming. Ia hanya diam dan tak menggubris pertanyaan Sasha. Menyadari Sasha yang saat itu ada di dapur bersamanya, Austin langsung menegak air putih digelasnya dengan sekali teguk.
Lalu, pria dengan luka yang sudah membaik itu berlalu pergi meninggalkan Sasha di dapur. Ia berlari-lari kecil menapaki tangga dan menuju ke kamarnya dengan wajah yang dingin dan datar.
“Cih! Arrogant banget. Kalo bukan gara-gara dia, ayah nggak bakalan kayak gini sekarang!” gerutu Sasha dalam hati.
Gadis itu berjalan menuju pintu dapur sambil bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia tak henti-hentinya mengutuki Austin, anak dari pemilik rumah mewah itu. Meskipun terpaut jarak usia lima tahun, ia tak dapat mengerti kenapa sifat pria itu begitu kekanakan dan dingin.
“Tunggu!”
Suara bariton seorang pria tiba-tiba menghentikan langkah kaki Sasha. Sasha menoleh ke arah suara tersebut berasal.
“Nih, untuk biaya rumah sakit Pak Robert,” Austin memberikan amplop coklat ke arah Sasha.
Sasha menatap ke arah Austin yang kerap kali ia kutuk di dalam hati sejak tadi. Ia mengerutkan keningnya sambil menatap ke arah amplop coklat yang disodorkan oleh Austin.
“Hah!” Austin menghela nafasnya. Ia merasa muak karena berlama-lama di depan gadis itu. Ia pun mengambil tangan kanan Sasha dan meletakkan amplop tadi ke atas tangan Sasha. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan Sasha yang masih mematung.
“Kamu pikir, uang bisa ngembaliin kesehatan Ayah?! Apa anak orang kaya emang selalu seenaknya begini?! Kasian banget orangtua yang punya anak kayak kamu. Cape-cape di didik, tapi anaknya malah jadi parasit di keluarga sendiri!”
Sesaat setelah Sasha melihat isi dari amplop tersebut, dengan lantang ia mengatakan kalimat tersebut kepada Austin yang langsung pergi setelah memberikannya uang.
Sedikitpun tak ada kata maaf atau penyesalan yang ia dengarkan dari mulut pria yang menjadi penyebab ayahnya terkapar di rumah sakit saat ini. Sejak peristiwa malam itu, ia benar-benar membenci anak dari majikan orangtuanya.
“Kalau bukan gara-gara geng motor, Ayah nggak bakalan kayak sekarang!” imbuhnya meluapkan rasa sesalnya.
Austin menghentikan langkah kakinya. Ia memutar tubuh menghadap ke arah Sasha. Kemudian ia berjalan mendekat ke arah gadis yang setinggi bahunya.
“Heh, aku akan bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit Pak Robert! Nggak usah takut” hardik Austin dengan mata hazelnya yang menatap tajam ke arah Sasha.
“Nggak usah brisik. Bilang kalo uangnya kurang!” imbuhnya dengan nada yang pelan namun penuh penekanan.
...💨💨💨...
BERSAMBUNG…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments