Hari itu Gavin dan Aina benar-benar menikmati waktu mereka berdua. Bahkan senyum sama sekali tak tertanggal dari bibir masing-masing.
Namun, saat di perjalanan pulang, Aina mendapat sebuah panggilan. Dan ternyata itu dari Dina.
"Siapa?" tanya Gavin penasaran, berpikir bahwa orang yang menelpon kekasihnya adalah Erzan.
"Ibu, Gav. Aku angkat yah," balas Aina, lalu tanpa menunggu jawaban Gavin dia segera menerima panggilan dari Dina.
Terdengar helaan nafas dari ujung sana. Namun, tiba-tiba disusul oleh isak tangis kecil yang membuat perasaan Aina mendadak kalut.
"Bu, ada apa?" tanya Aina dengan raut cemas. Dia tidak bisa menerka-nerka, karena hal itu hanya akan membuat perasaannya semakin tak karuan.
"Ayah masuk rumah sakit, Na. Tiba-tiba penyakit ayah kambuh," jawab Dina apa adanya. Kini Bagaskara sedang ada dalam ruang pemeriksaan, sementara Dina menunggu dengan rasa takut sekaligus cemas yang menggunung.
Semula dia hanya bisa mondar-mandir, tetapi dia teringat dengan anaknya yang sampai saat ini belum pernah dia temui lagi. Ya, sebab Erzan melarang Aina pulang.
Akhirnya Dina duduk di kursi tunggu, lalu menghubungi Aina.
Kabar itu memang sudah tidak asing bagi Aina, tetapi dia akan selalu memberikan reaksi yang sama. Kedua alis Aina bertautan.
"Apa? Kambuh? Di mana ayah dirawat, Bu?"
Mata Aina langsung berubah berkaca-kaca. Sebab dia sangat merindukan keluarganya. Mumpung dia sedang di luar, dia berencana untuk menggunakan kesempatan untuk menjenguk Bagaskara.
"Di rumah sakit Puri Medika, Na. Memangnya kamu bisa datang?" tanya Dina dengan ragu. Karena dia tahu, suami Aina yang tidak bisa dibantah.
Aina menganggukkan kepala, seolah Dina melihat gerakan refleknya, lalu melirik ke arah Gavin yang sedang menyetir. Pemuda itu tak dapat memberikan respon, karena belum paham dengan pembicaraan Aina di telepon.
"Aku akan datang, Bu. Tunggu aku di sana," ucap Aina dengan yakin. Kemudian panggilan itu pun terputus, membawa secercah harapan kepada satu keluarga kecil itu untuk bisa berkumpul dengan utuh.
"Apa yang kalian bicarakan, Na?" tanya Gavin saat melihat Aina memasukkan ponsel ke dalam tas jinjing miliknya.
Aina lebih dulu mengusap sudut matanya yang basah. Karena sumpah demi apapun, dia takut terjadi sesuatu pada Bagaskara. Sosok cinta pertamanya yang kini tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Penyakit Ayah kambuh, Gav. Aku ingin menjenguknya barang sebentar, bisakah kamu menemaniku? Aku benar-benar merindukan mereka" ujar Aina dengan tatapan memohon.
Sementara Gavin terkejut bukan main. Dia jelas tahu bahwa selama ini Aina bagai dipenjara. Tidak mampu ke mana-mana.
"Tentu saja, di mana alamat rumah sakitnya. Kita ke sana sekarang," balas Gavin, Aina langsung menyebutkan alamat yang sempat Dina berikan.
Dan kendaraan roda empat itu terus membelah jalan raya. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, karena mereka ingin cepat sampai.
*
*
*
Begitu mereka sampai di rumah sakit Puri Medika, Aina langsung berlari ke arah ruangan Bagaskara. Kata Dina, pria paruh baya itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Akan tetapi belum bisa dijenguk.
"Ibu!" panggil Aina dengan bibir bergetar.
Mendengar namanya dipanggil, Dina langsung mengangkat kepalanya. Dan tepat pada saat itu, Aina menghambur memeluk tubuh Dina sambil menangis. Mereka sama-sama menguapkan rindu dan kesedihan di hati masing-masing.
"Bagaimana keadaan Ayah, Bu?" tanya Aina setelah puas memeluk ibunya.
"Kata dokter ayah sudah melewati masa kritis, Na. Tapi dia belum bisa dijenguk. Mungkin perlu beberapa pemeriksaan lagi," jawab Dina, sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Dokter Derrick, orang yang menangani Bagaskara.
Tangis Aina semakin pecah setelah mendengar penjelasan Dina mengenai kondisi ayahnya. Lantas dia bangkit, lalu melangkah ke arah pintu ruangan Bagaskara.
Dari sana dia bisa melihat pria paruh baya itu tengah terbujur lemah dengan berbagai alat medis yang menancap di beberapa anggota tubuhnya.
"Ayah, ayah harus cepat sembuh, ayah tidak boleh lama-lama di sini," ratap Aina, sementara di sampingnya Dina pun tak kalah sedihnya.
Mereka sampai melupakan sosok yang ada di belakang. Yaitu Gavin, yang senantiasa mengekor pada Aina.
Melihat Aina yang terpuruk, membuat Gavin semakin merasa iba. Andai dari awal Erzan tidak pernah menikahi Aina, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.
"Na, ngomong-ngomong itu siapa?" tanya Dina, saat menyadari keberadaan Gavin.
Aina sedikit terperangah, dengan mata yang membola, dia menoleh ke belakang dan mendapati Gavin yang berdiri seperti orang kebingungan.
Astaga, bisa-bisanya aku melupakan dia.
"Dia—"
"Gavin, Bu. Aku putra Daddy Erzan," potong Gavin seraya menyalimi tangan Dina.
Dan tentunya hal tersebut membuat Dina melongo.
"Jadi, kamu anak tiri Aina?" tanya Dina dengan tatapan tak percaya. Sebab dibandingkan Erzan, Gavin lebih cocok menjadi pasangan Aina.
Dengan terpaksa Gavin pun mengangguk, berbeda dengan tatapan Aina yang entahlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
IbuNaGara
pacar ku ank tiriku🤭
2024-04-03
0
Carolina Amul
eh ada ada ayang dokteru De🥰
2024-01-26
1
Alexandra Juliana
Tuuhh kan dokter Derrick yg menangani ayah Aina..Salah satu anak kembar Phyton yg jadi dokter
2024-01-16
0