Karena tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Akhirnya Aina memutuskan untuk pulang, berharap dengan begitu Erzan tidak perlu tahu kalau dia menemui kedua orang tuanya. Jadi, dia tidak akan mendapat amukan dari pria paruh baya itu.
"Bu, aku dan Gavin pamit pulang dulu yah. Kalau ada apa-apa dengan ayah tolong segera hubungi aku, aku akan usahakan untuk datang," ucap Aina seraya melirik ruangan ayahnya.
Sebenarnya dia tak tega, membiarkan Dina mengurus Bagaskara sendirian, tapi dia bisa apa? Setelah menjadi istri Erzan, dia seolah tak berhak atas kehidupannya sendiri.
"Iya, Aina. Ibu pasti akan menghubungi. Kamu jaga diri baik-baik ya," balas Dina, karena sudah paham bagaimana keadaan putrinya. Dia tidak ingin membuat Aina dalam masalah.
Keduanya kembali berpelukan dengan erat. Karena entah kapan lagi mereka bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama.
"Kalian hati-hati ya," ucap Dina untuk melepas kepergian Aina dan Gavin.
Kedua orang itu kompak menganggukkan kepala. Setelah menyalimi tangan Dina, mereka mulai berjalan untuk meninggalkan rumah sakit.
Langkah Aina benar-benar terasa berat, tetapi saat sudah tak terlihat oleh Dina, Gavin segera meraih tangan langsing itu. Hingga mereka saling menggenggam.
Aina melirik ke arah Gavin dan pemuda itu langsung berkata. "Kita akan melalui semuanya sama-sama. Jadi, kita harus saling menguatkan."
Hati Aina perlahan menghangat, dia mengangguk kecil dan mengikuti langkah Gavin hingga masuk ke dalam mobil.
Namun, sebelum menjalankan kendaraan roda empat itu. Gavin tiba-tiba mengeluarkan dompet untuk mengambil salah satu kartu ATM-nya.
Dia menyerahkannya pada Aina.
"Untuk keperluan Ayah dan Ibu," ujar Gavin, sebab dia tahu Erzan tidak memberikan benda itu pada Aina.
Aina sedikit terperangah. Karena merasa tak enak, dia pun menggelengkan kepala sambil mendorong tangan Gavin, sebagai tanda penolakan. "Aku tidak mau, Gav. Karena itu semua bukan kewajibanmu."
"Aku hanya ingin membantumu, Aina. Hanya ini yang bisa aku lakukan."
"Tapi, Gav. Aku benar-benar tidak bisa menerimanya."
"Berarti apa yang kamu ucapkan itu bohong?"
"Maksudmu?" Kening Aina langsung mengeryit mendengar ucapan Gavin.
"Kamu bilang ingin berjuang bersamaku. Itu artinya kamu juga tidak boleh sungkan terhadapku, Na. Kalau kamu masih seperti ini, yang ada aku malah berpikir secara negatif. Lagi pula mereka juga akan menjadi ayah dan ibu mertuaku. Kamu percaya 'kan kita akan bisa bersama?" jelas Gavin dengan gamblang.
Satu sisi Aina merasa terharu dengan usaha Gavin untuk membantu keluarganya. Namun, di sisi lain, dia merasa miris dengan hubungan terlarang mereka.
Pelan, Aina menganggukkan kepala, dia tidak ingin membuat orang yang dicintainya merasa kecewa. Melihat itu, Gavin langsung tersenyum. Dia menyerahkan kartu tersebut kepada Aina.
"Pakai sesukamu," ucap Gavin, karena dia tahu bahwa Aina bukanlah gadis yang suka berfoya-foya.
"Aku akan memakainya ketika ada hal mendesak," jawab Aina, dan Gavin langsung menganggukkan kepala. Mereka sama-sama melempar senyum.
Akhirnya roda mobil kembali berputar. Akan tetapi Gavin tidak mengantar Aina sampai di rumah utama. Seperti pertemuan mereka, Gavin menurunkan Aina di lampu merah pertama.
Dan dari sana Aina kembali menggunakan taksi.
*
*
*
Sebelum memasak makan malam. Aina lebih dulu membersihkan tubuhnya. Terlihat beberapa kali Aina menunjukkan senyum, mengingat tentang kenangan manisnya bersama dengan Gavin.
Hingga selesai mandi, dia keluar dengan menggunakan handuk yang hanya mampu menutupi bagian dada sampai pahanya saja.
Dia tidak tahu kalau di kamar itu, sudah ada Erzan yang menunggunya.
Deg. Jantung Aina seperti ingin lepas saat melihat pria paruh baya itu tengah menatapnya lekat. Apalagi saat ini tubuhnya nyaris telanjaang.
Tuan Erzan? Kenapa tiba-tiba dia ada di sini? Batin Aina dengan dada yang berdegup dengan kencang. Perasaan was-was dan gelisah langsung memenuhi dirinya.
Sementara Erzan tak memutus pandangannya. Bahkan dia nyaris tak berkedip. Dia baru sadar, kalau ternyata Aina adalah gadis yang sangat cantik.
Mata Aina selalu terlihat teduh, hidungnya mancung dengan bibir yang kecil. Sementara rambutnya yang panjang dikuncir tinggi-tinggi dan menyisakan anak rambut yang menjuntai tak beraturan.
Leher jenjang Aina terekspos bebas, bersama paha mulusnya.
Erzan melangkah mendekati istri kecilnya tersebut, membuat Aina semakin bertambah gusar. Sumpah demi apapun, dia takut Erzan meminta haknya.
Namun, yang bisa Aina lakukan sekarang hanyalah mencengkram handuknya dengan erat.
"Tuan, ada apa?" tanya Aina memberanikan diri membuka suara ketika Erzan sudah berada tepat di depannya.
***
Selama ini matanya ke mana, Pak 🙄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
IbuNaGara
hihhhh
2024-04-03
0
Pia Palinrungi
aduhh thor jgn sampai erzan minta haknya aq hanya kasian sm gqvin, kenapa sihh gavin tdk memcoba ngomong sm daddynya
2024-01-13
1
Ramlah Rato
hadeuhh,si Aina teledor jg sih , pintu kamar TDK dikunci ,itu sama ajah mengundang musibah ,.😀
2023-10-25
0